Isu lingkungan akibat aktivitas ekonomi yang berlebihan, telah didiskusikan dalam Konferensi Lingkungan Hidup Manusia PBB di Stockholm pada tanggal 5 Juni 1972. Meskipun tidak spesifik (abu-abu) karena beragamnya isu, seperti; limbah industri, polusi udara dan air, serta dampak ekologis pertumbuhan ekonomi. Dan pembahasan mengenai kelangkaan sumber daya dan dampaknya pada pertumbuhan ekonomi di masa mendatang. Satu hal yang pasti, isu lingkungan bukanlah perbincangan baru di abad ini.
Tawaran Idealnya
Kabar baik datang dari The World Commission On Environment And Development pada tahun 1987. Konsep pembangunan berkelanjutan di tingkat global dicanangkan melalui dokumen laporan yang dikenal dengan "Brundland Report". Konsep tersebut diterima dan diimplementasikan sejak "Eart Summit" di Rio De Janeiro, Brazil, dari 3-14 Juni 1992.Â
Selama kurung waktu lebih dari 20 tahun, konsep tersebut dikaji dan dievaluasi terkait pelaksanaan penghapusan kemiskinan, pengurangan disparitas standar hidup, pola konsumsi dan produksi yang selaras dengan daya dukung ekosistem, pengelolaan secara berkelanjutan dari sumber daya terbarukan maupun cara yang disepakati untuk mencapai keberkelanjutan sumber daya terbarukan. Namun, hasilnya belum nyata.
Atas dasar itulah, konsep ekonomi hijau ditawarkan sebagai paradigma baru. Sebagai kendaraan dalam mencapai pembangunan berkelanjutan, ekonomi hijau diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan umat manusia tanpa mengakibatkan dampak lingkungan, kelangkaan ekologi maupun kesenjangan sosial.Â
Pada prinsipnya, ekonomi hijau bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memberi kesempatan yang adil dan meminimalkan kerusakan lingkungan dan pembangunan ekonomi yang sesuai dengan daya dukung lingkungan. Penerapan ekonomi hijau dapat lihat dalam pembangunan rendah karbon, efisiensi sumber daya alam, dan inklusif secara sosial.
Tidak seimbangnya Etika, Prinsip Dan Tujuan
Dunia hari ini bekerja atas dominasi kapitalisme yang didukung oleh etika antroposentris. Etika yang menempatkan manusia sebagai pusat alam semesta dimana keberadaan alam hanya diperuntukan bagi hidup manusia dan sumber daya alam dieksploitasi untuk memenuhi keinginan manusia.Â
Di sisi lain, etika ekosentrisme atau deep ecology, menekankan semua makhluk merupakan fokus utama yang berkonflik dengan hubungan manusia yang berdampak pada lingkungan hidup.
Perbedaan mendasar antara antroposentrisme dan ekosentrisme adalah posisi manusia dalam pusat perhatian. Antroposentrisme mempercayai manusia sebagai makhluk yang paling penting, sedangkan ekosentrisme menyatakan bukan hanya manusia yang memiliki keistimewaan untuk menaklukkan alam.
Hal serupa juga dikemukakan oleh seorang aktivis Lingkungan hidup asal Amerika Serikat, pada tahun 1995. Judi Bari dalam artikelnya yang berjudul "Revolutionary Ecology" menuliskan bahwa kapitalisme pada dasarnya tidak sejalan dengan lingkungan hidup karena sistem tersebut tidak sesuai dengan prinsip biosentrisme (deep ecology) yaitu sebuah prinsip di mana alam tidak tercipta untuk manusia, dan justru manusia merupakan bagian dari alam.Â