Mohon tunggu...
Akhmad Fourzan Arif Hadi P
Akhmad Fourzan Arif Hadi P Mohon Tunggu... Lainnya - Profesi saya sebagai Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat (TAPM) Kabupaten pada Kemendesa PDT

Saya adalah seorang pria disabilitas daksa yang memiliki kegemaran berkelana, berdiskusi, dan tentu saja ngopi di berbagai kedai formal (seminar, workshop, dan ruang-ruang diskusi lainnya) serta kedai non formal. Urusan menulis artikel tidak begitu mahir. Nama panggilan saya adalah ITONG.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Senja dan Legenda Malam: Kisah Perjalanan TV Desa Jember di Bumi Puger #KompasianaDESA

3 Februari 2025   10:39 Diperbarui: 3 Februari 2025   15:38 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover video berjudul Boemi Puger Senja dan Legenda Malam (Sumber: Channel YouTube TV Desa Jember)

Matahari masih tinggi di langit Jember ketika kami, tim TV Desa Jember, bersiap untuk memulai petualangan baru. Sabtu, 26 Januari 2025, dua mobil kami sudah siap mengarungi jalanan menuju Kecamatan Puger. Mobil pertama, dikendarai oleh Bro Pandu, membawa serta istri dan kedua anaknya. Di dalamnya, drone dan kamera aktif bersiap untuk mengabadikan setiap momen. Mobil ini seperti kuda yang setia, siap membawa kami menuju destinasi dengan segala perlengkapan yang dibutuhkan.

Mobil kedua, Kijang KF-80 keluaran tahun 1997 bertransmisi matic, saya kendarai bersama Man Supri dan Bro Toni. Kami membawa beberapa kebutuhan logistik, dua tripod, dan sepasang handy talky. Perjalanan ini adalah tentang cerita, bukan sekadar peralatan dan perlengkapan. Mobil ini, meski lebih sederhana, tetap setia menemani kami dengan segala keterbatasannya.

Jalan nasional sepanjang 11 km kami tempuh dalam 30 menit. Alun-alun Jember, Pasar Jompo, Perempatan Mangli, Terminal Tawang Alun, dan Alun-alun Rambipuji menjadi saksi bisu perjalanan kami. Setiap titik ini seolah berbisik, "Kalian sedang menuju petualangan yang tak terlupakan." Jembatan Kaliputih Sungai Dinoyo di Desa Rambipuji menjadi titik penting. Di sini, kami belok kiri menuju Puger. Jalan sepanjang 25,2 km ini memakan waktu 50 menit.

Di kiri dan kanan jalan, warung-warung makan berjejer, sementara di belakangnya, hutan jati milik Perhutani menjulang. Gumuk Gong, sebuah bukit kecil di tengah hutan jati, menyambut kami dengan diam-diam. Prasasti Batu Gong yang ditemukan oleh dua arkeolog Belanda pada tahun 1933 menjadi saksi bisu sejarah yang tersembunyi di baliknya. Gumuk Gong seolah berkata, "Selamat datang, kalian sedang memasuki wilayah yang penuh cerita."

Traffic Light Kaliputih dan Warung-Warung Makan

Di pertigaan jembatan Kaliputih Sungai Dinoyo, traffic light berkedip-kedip, mengatur lalu lintas dengan sabar. Di kiri dan kanan jalan, warung-warung makan dan minuman berjejer, menawarkan hidangan yang menggoda. Aroma makanan yang menggugah selera seolah mengundang kami untuk berhenti sejenak. Namun, kami terus melaju, menuju destinasi utama kami.

Di belakang warung-warung yang berjejer di kiri dan kanan jalan raya tersebut, terdapat tanaman jati yang dikelola Perhutani. Hutan jati ini seperti penjaga yang setia, melindungi tanah di sekitarnya dengan dedaunan yang rimbun. Di dalam kawasan tanaman jati yang berada di sebelah kanan jalan, terdapat bukit. Masyarakat di Jember biasanya menyebut dengan istilah gumuk. Nah, gumuk yang berada di kawasan jati di Dusun Kaliputih Desa Rambipuji itu bernama Gumuk Gong.

Gumuk Gong: Saksi Bisu Sejarah

Gumuk Gong berdasarkan Prasasti Batu Gong atau yang tertulis dalam papan nama yang dibuat oleh pihak Perhutani bisa dilihat di Dusun Kaliputih Desa Rambipuji Jember. Tepatnya di kanan jalan di wilayah jati milik Perhutani. Prasasti berupa batu yang diletakkan di sebuah gazebo atau pondok kecil. Prasasti batu gong pertama kali ditemukan di puncak bukit di dekat lokasi keberadaannya sekarang. Sehingga, tak heran jika masyarakat sekitar sering menyebutnya Gumuk Gong. Prasasti itu ditemukan oleh W.F. Stutterheim dan H.R. Heekeren berkebangsaan Belanda pada Desember 1933.

Gumuk Gong seolah berbisik, "Aku telah menyaksikan banyak cerita, dan sekarang aku akan menyaksikan petualangan kalian." Kami pun melanjutkan perjalanan, melewati beberapa titik penting seperti Rumah Sakit Daerah (RSD) Balung, Pasar Balung yang berada di Balung Lor, Balai Desa Jambearum Kecamatan Puger, Pasar Kasiyan di Desa Kasiyan Timur Kecamatan Puger, Pertigaan Kasiyan di Desa Kasiyan Timur Kecamatan Puger, Gunung Kapur di Desa Grenden, Koramil Puger, dan pertigaan Jl. Mayor Adi Dharma Dusun Manderan II, Puger Kulon, Kecamatan Puger.

Tidak terasa, android yang berada di genggaman Bro Toni telah menunjukkan pukul 16.00 WIB. Kami tiba di rumah Mas Anam, keluarga dari istri Bro Pandu, di Desa Mojosari, Kecamatan Puger. Rumah ini menjadi titik kumpul kami. Di teras mushola, kami beristirahat sejenak sambil menikmati kopi panas yang disuguhkan tuan rumah. Tak lama kemudian, Bung Dodot Supriyadi, putra asli Puger, bergabung. Suasana pun semakin hangat dengan canda tawa.

Tepat pukul 16.20 WIB, kami mulai beraksi di depan kamera. Saya membuka liputan dengan kalimat, "Teman-teman semuanya. Kita saat ini berada di kecamatan mana?" Man Supri, Bro Toni, dan Bro Dodot serempak menjawab, "Puger!" Saya melanjutkan, "Kali ini kita akan mengunjungi beberapa tempat yang sangat wow sekali. Apa saja, Man?" Man Supri menjawab dengan antusias, "Ada pantai, ada sungai, ada TPI, ada cafe." Bro Toni menambahkan, "Ada Pantai Cemara." Bro Dodot, sang putra asli Puger, pun kami perkenalkan. Sebelum mengakhiri pembukaan, saya mengajak penonton untuk mengikuti perjalanan kami sampai tuntas.

Senja di Sungai Besini: Nelayan dan Perahu yang Diam

Saat pukul 16.40 WIB, mobil Kijang KF-80 yang kami tumpangi meluncur pelan menuju Jalan Pantai Pancer yang bersebelahan dengan sungai Besini. Langit sore itu mulai berubah warna, seolah memberi isyarat bahwa senja akan segera tiba. Sungai Besini yang menjadi tujuan pertama kami, menanti dengan segala misterinya. Namun, yang kami temukan hanyalah sungai yang sepi, seolah sedang tertidur pulas.

Warung di bibir sungai tertutup rapat, seolah enggan dibangunkan dari tidurnya. Ribuan perahu berwarna-warni hanya diam bersandar di tepi sungai, seperti sedang beristirahat setelah seharian berlayar. Drone kami terbang tinggi, mengabadikan pemandangan dari atas. Gunung Watangan, Samudra Hindia, dan deretan rumah penduduk terlihat jelas. Namun, kegundahan menyelimuti kami. Di mana para nelayan? Mengapa mereka tak melaut hari ini?

Sungai Besini seolah berbisik, "Aku sedang beristirahat, teman-teman. Hari ini, aku tak ingin diganggu." Kami pun duduk di tepi sungai, menikmati keheningan yang menyelimuti. Beberapa orang terlihat sedang menguras air yang menggenang di perahu. Mereka bekerja dengan tenang, seolah tak ingin mengganggu ketenangan sungai.

Drone kami terbang tinggi, mengabadikan pemandangan dari atas. Dari ketinggian, sungai Besini yang beriringan dengan jalan pantai Pancer terlihat seperti motif batik tulis yang indah. Perahu-perahu dengan cat warna-warni bersandar rapi di tepi sungai, sementara deretan rumah penduduk yang tidak beraturan terlihat jelas. Sawah-sawah yang menghijau menjadi latar belakang yang sempurna. Gunung Watangan yang bertengger di bibir pantai terpotret jelas dalam balutan mendung yang menggelayut dari langit. Menjulangnya mercusuar berlatar birunya Samudra Hindia pun terekam sangat jelas melalui drone.

Meski belum puas melihat Puger dari angkasa, akhirnya drone pun landas di tangan Bro Pandu. Kami pun akhirnya berbincang-bincang di pinggir sungai Besini untuk menjawab teka-teki bersandarnya perahu dengan rapi di sore itu. Sambil melihat beberapa orang sedang menguras air yang menggenang di perahu, Bro Pandu akhirnya membidikkan kamera action-nya pada jalan setapak menuju ke tempat tambatan perahu yang terbuat dari bambu.

Tepat jam 17:15 WIB, akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju lokasi berikutnya dengan membawa kegundahan karena tidak melihat nelayan yang berangkat melaut. Jalan pantai Pancer yang bersebelahan dengan sungai Besini kami tinggalkan. Sungai Besini seolah berbisik, "Sampai jumpa lagi, teman-teman. Mungkin lain kali kalian akan melihatku dalam kesibukan yang berbeda."

Ngopi di Cafe Dira Puger: "Rasa di Aceh"

Kendaraan yang kami tumpangi melambat saat mendekati Cafe Dira Puger pada pukul 17.25 WIB. Cafe ini terletak bergandengan dengan pabrik semen yang mengeksplorasi Gunung Kapur. Dari kejauhan, bangunan cafe yang minimalis terlihat seperti oasis di tengah kesibukan industri. Tanaman kaktus yang tertata rapi di depan cafe menyambut kami dengan diam-diam, seolah berkata, "Selamat datang, nikmati senja di sini."

Tampak tempat parkir di depan cafe dipenuhi sepeda motor, sementara hanya satu mobil yang terparkir dengan manis. Kami memilih mengistirahatkan kendaraan di pinggir kiri, dekat trotoar. Suasana sore itu terasa hangat, dipenuhi oleh muda-mudi yang datang untuk menikmati waktu santai. Beberapa pasangan suami istri beserta anak-anak mereka duduk di meja-meja luar, menikmati camilan dan minuman sembari menikmati pemandangan Gunung Kapur yang megah.

Kami memilih meja kosong di luar, dekat colokan listrik. Baterai drone dan handphone kami yang mulai lemah butuh diisi ulang. Bro Pandu segera menyorotkan kamera ke sekeliling, mengabadikan setiap sudut cafe yang penuh karakter. Lampu-lampu yang bergelayut di atas kepala kami seolah berbisik, "Ini adalah tempat yang tepat untuk mengakhiri hari."

"Wah, tampaknya teman-teman ke sini benar-benar mau ngafe. Pesanannya hanya kopi saja," celetukku saat Bro Pandu mengarahkan kamera ke meja kami. Kami memesan beberapa jenis Kopi Nusantara. Man Supri memilih Kopi Aceh Gayo, Bro Pandu memesan Kopi Toraja, Bro Toni memilih Kopi Kintamani, dan saya, yang lebih menyukai kopi robusta, memesan kopi tubruk. Harganya terjangkau, namun rasa yang ditawarkan tak kalah dengan cafe-cafe besar di kota.

Tak lama kemudian, seorang anak muda berpakaian rapi dengan celemek hitam mendekati meja kami. Dia membawa baki berisi kopi pesanan kami. Aroma kopi segar langsung memenuhi udara, seolah mengundang kami untuk segera menikmatinya.

Man Supri sedang menyeruput Kopi Aceh Gayo (Sumber: YouTube TV Desa Jember)
Man Supri sedang menyeruput Kopi Aceh Gayo (Sumber: YouTube TV Desa Jember)
"Wah, rasa di Aceh," ujar Man Supri sambil menyeruput kopi Aceh Gayo-nya. Bro Pandu pun tertawa saat mendengar penuturan Man Supri. Bro Toni pun tak kalah antusias, "Kintamani-nya juga nendang!" Saya sendiri menikmati kopi tubruk dengan pelan, merasakan kekentalan dan kekhasan rasa robusta yang kuat.

Percakapan kami mengalir begitu saja. Dari cerita tentang liputan sebelumnya hingga rencana untuk episode-episode mendatang. Bro Pandu sesekali beranjak dari meja untuk mengambil gambar di sudut-sudut lain cafe. Drone pun diterbangkan, mengabadikan keindahan cafe dari atas. Dari ketinggian, cafe ini terlihat seperti permata kecil di kaki Gunung Kapur, dikelilingi oleh hijau pepohonan dan sawah serta langit senja yang mulai berubah warna.

Senja di Puger sore itu begitu memesona. Langit berubah warna dari jingga keunguan, seolah melukiskan akhir hari yang sempurna. Kami duduk di meja, menikmati setiap tegukan kopi sambil memandang Gunung Kapur yang megah. Suara tawa dan obrolan dari meja-meja lain menciptakan suasana yang hangat dan bersahabat.

"Ini benar-benar tempat yang tepat untuk menikmati senja," ujar Bro Toni sambil memandang ke arah langit. Saya mengangguk, setuju. Cafe Dira Puger bukan sekadar tempat untuk ngopi, melainkan sebuah ruang di mana waktu seolah berhenti sejenak, mengizinkan kami untuk bernapas dan menikmati momen.

Bro Pandu pada pukul 18.10 WIB kembali menerbangkan drone. Kali ini, drone mengangkasa lebih tinggi, menangkap pemandangan cafe dari sudut yang lebih luas. Dari layar monitor, kami bisa melihat bagaimana cafe ini berdiri harmonis dengan alam sekitarnya. Gunung Kapur yang menjulang di belakangnya menjadi latar yang sempurna. Drone terbang selama sekitar 7 menit sebelum akhirnya mendarat kembali di tangan Bro Pandu.

"Ini benar-benar pemandangan yang menakjubkan," ujar Bro Pandu sambil memeriksa hasil rekaman. Kami semua setuju. Cafe Dira Puger bukan sekadar tempat nongkrong biasa, melainkan sebuah pengalaman yang mengajak kami untuk lebih menghargai keindahan alam dan momen-momen kecil dalam hidup.

Setelah Bro Pandu mengemasi drone, akhirnya kami memutuskan untuk beranjak dari cafe. Baterai drone dan handphone sudah penuh, dan kami siap melanjutkan petualangan. Sebelum pergi, Man Supri sempat melirik ke arah Gunung Kapur sekali lagi. Senja itu seolah berbisik, "Sampai jumpa lagi."

Kami meninggalkan Cafe Dira Puger dengan perasaan puas. Kopi yang kami nikmati bukan sekadar minuman, melainkan sebuah cerita tentang senja, persahabatan, dan keindahan alam Puger. Perjalanan kami masih panjang, dan malam di Puger menanti dengan cerita-cerita baru yang siap diungkap.

Malam di Alun-alun Puger: Jajanan Tradisional dan Gemerlap Lampu

Setelah meninggalkan Cafe Dira Puger, kami melanjutkan perjalanan menuju alun-alun Puger. Malam telah tiba, dan langit hitam pekat mulai dihiasi oleh bintang-bintang yang berkelap-kelip. Alun-alun Puger, yang biasanya ramai di siang hari, kini berubah menjadi pusat kehidupan malam yang penuh warna dan cerita. Lampu-lampu yang bergantungan di pohon-pohon besar seolah menyambut kami dengan hangat, berkata, "Selamat datang, nikmati malam kami."

Alun-alun Puger malam itu masih sama dengan malam sebelumnya, dipenuhi oleh UMKM yang menjual berbagai produk makanan dan arena permainan anak-anak. Aroma jajanan tradisional yang menggoda seolah mengundang kami untuk mencicipi. Kami memilih untuk berhenti di depan sebuah lapak yang menjual makanan basah tradisional seperti latok, lupis, cenil, sawut, ketan, getuk, dan lainnya. Lapak ini dikelola oleh Ibu Umaroh, seorang perempuan tangguh yang telah menjual jajanan ini selama 10 tahun.

Tim TV Desa Jember menikmati jajanan tradisional Ibu Umaroh (Sumber: YouTube TV Desaj Jember)
Tim TV Desa Jember menikmati jajanan tradisional Ibu Umaroh (Sumber: YouTube TV Desaj Jember)
"Bendul singkong itu berapa harganya, Bu?" tanya saya dalam bahasa Jawa. Ibu Umaroh tersenyum ramah dan menjawab dengan harga yang terjangkau. Kami pun memesan beberapa jajanan dan mulai mengobrol dengannya. Ibu Umaroh bercerita tentang perjuangannya menjaga tradisi jajanan yang hampir punah ini. "Aku hanya ingin melestarikan jajan warisan leluhur," ujarnya dengan mata berbinar diterpa bola lampu berukuran 15 watt.

Kami pun mulai menyantap jajanan tradisional itu. Setiap gigitan seolah membawa kami kembali ke masa kecil, ketika jajanan seperti ini masih mudah ditemui di setiap sudut kampung. Lupis yang manis, cenil yang kenyal, dan latok yang segar membuat kami larut dalam kenangan. Bro Pandu sambil merekam momen ini berkata, "Ini benar-benar seperti kembali ke masa kecil."

Ibu Umaroh, dengan senyum yang tak pernah pudar, terus bercerita tentang pengalamannya menjual jajanan ini. "Aku mulai buka jual jajanan ini sejak sore dan tutup jam 9 malam. Ini adalah caraku menghidupi anak-anakku sambil menjaga kelestarian jajanan tradisional," ujarnya dengan suara lembut namun penuh tekad. Kami semua terdiam sejenak, meresapi ketangguhan dan keuletan perempuan ini.

Selepas adzan isya' berkumandang di masjid yang bersebelahan dengan minimarket berjejaring di Indonesia, Bro Pandu kembali menerbangkan drone untuk mengabadikan suasana malam di alun-alun Puger. Dari ketinggian, gemerlap lampu di alun-alun terlihat seperti permata yang bersinar di tengah kegelapan. Warna-warni lampu yang bergantungan di pohon-pohon besar menciptakan suasana yang magis. Drone terbang selama sekitar 10 menit sebelum akhirnya mendarat kembali di tangan Bro Pandu.

"Ini benar-benar pemandangan yang menakjubkan," ujar Bro Pandu sambil memeriksa hasil rekaman. Kami semua setuju. Alun-alun Puger malam itu bukan sekadar tempat nongkrong biasa, melainkan sebuah pengalaman yang mengajak kami untuk lebih menghargai keindahan malam dan kekayaan budaya lokal.

Saat beberapa orang keluar dari masjid yang masih direhab itu, kami memutuskan untuk beranjak dari alun-alun. Perut kami sudah kenyang, dan hati kami penuh dengan cerita-cerita baru. Sebelum pergi, saya sempat mengabadikan diri melalui kamera ponsel duduk bersama Ibu Umaroh di depan jajanan yang tinggal sedikit. Perempuan tangguh ini seolah berbisik, "Terima kasih telah mengingatkan kembali betapa berharganya warisan leluhur."

Kami meninggalkan alun-alun Puger dengan perasaan puas. Malam ini bukan sekadar tentang jajanan tradisional, melainkan sebuah cerita tentang ketangguhan, keuletan, dan keindahan budaya yang harus terus dilestarikan. Perjalanan kami masih panjang, dan malam di Puger menanti dengan cerita-cerita baru yang siap diungkap.

Eks Lokalisasi Rehabilitasi Prostitusi: Berbincang dengan Warga Besini

Setelah meninggalkan alun-alun Puger, kami melanjutkan perjalanan menuju Eks Lokalisasi Rehabilitasi Prostitusi di Besini. Malam semakin larut, dan jalanan yang kami lalui terasa lebih sepi. Mobil Kijang KF-80 yang kami tumpangi meluncur pelan, seolah menghormati ketenangan malam. Langit hitam pekat dihiasi oleh bintang-bintang yang berkelap-kelip, seolah menjadi saksi bisu perjalanan kami menuju tempat yang penuh cerita.

Saat jam digital di handphone Bro Toni menunjukkan pukul 20.00 WIB, kami tiba di gerbang lokalisasi. Gerbang besar itu seolah berkata, "Selamat datang, kalian sedang memasuki wilayah yang penuh sejarah." Kami pun masuk ke dalam, melewati jalan berukuran 2 meter yang berbatu putih dengan aspal yang terkelupas. Jalan ini seolah menceritakan kisahnya sendiri, tentang bagaimana ia telah lama terlupakan oleh tangan-tangan yang seharusnya merawatnya. Batu-batu putih yang tersebar di permukaannya seperti gigi yang patah, sementara aspal yang terkelupas menampakkan tanah di bawahnya, seolah luka yang tak kunjung sembuh. Di samping kanan terlihat sebuah masjid yang dibangun warga eks lokalisasi rehabilitasi prostitusi. Di samping kiri terlihat beberapa pria duduk di pos penjagaan untuk membuka dan menutup portal pintu gerbang. Pos penjagaan yang berukuran 1,5 meter persegi ini menjadi teman setia tempat penitipan sepeda motor dan mobil seluas lapangan voli. Kami pun akhirnya memilih untuk berhenti bersebelahan dengan sebuah mobil box yang sudah berhenti manis.

Penjaga tempat parkir pun kemudian menghampiri kami. "Itong, Pak!" ujarku memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan. "Oh, Mas Itong. Kendaraannya langsung dibawa masuk saja, Mas!" ujarnya mempersilahkan kami untuk parkir di rumah yang akan dituju. Tiba-tiba, seseorang yang berusia sekitar 60 tahun datang dan memanggil nama saya. "Mas Itong, ya! apa kabar?" suaranya ramah namun penuh makna. Setelah ngobrol beberapa saat, akhirnya kami dipersilahkan untuk masuk dan parkir di dekat garasi rumah Pak Didik. Kami pun akhirnya dipersilahkan masuk ke rumah Pak Didik Wahyudi, Ketua RW 001 di Dusun Krajan Desa Puger Kulon.

Di dalam rumah Pak Didik, suasana terasa hangat dan bersahabat. Kami duduk di ruang tamu yang sederhana, sambil menikmati kopi panas yang disuguhkan. Kepulan asap rokok menjadi teman perbincangan tentang riwayat Besini sejak dari Dusun Kaliputih Desa Rambipuji hingga direlokasi menjadi awalan obrolan kami. Pak Didik bercerita dengan penuh semangat, seolah ingin membagikan setiap detail sejarah yang ia ketahui.

"Besini ini dulunya adalah tempat yang ramai, penuh dengan kehidupan. Tapi sekarang, kami berusaha untuk membangun kembali citra kami," ujar Pak Didik dengan mata berbinar. Kami semua terdiam sejenak, meresapi setiap kata yang diucapkannya. Suasana kekerabatan terasa hangat, meski cerita yang tersimpan di baliknya begitu berat.

Konflik Tanah dan Harapan untuk Masa Depan Besini

Didik Wahyudi dan Ahmad Subairi menceritakan sejarah Eks Lokalisasi Rehabilitasi Prostitusi Besini (Sumber: YouTube TV Desa Jember)
Didik Wahyudi dan Ahmad Subairi menceritakan sejarah Eks Lokalisasi Rehabilitasi Prostitusi Besini (Sumber: YouTube TV Desa Jember)
Perbincangan kemudian beralih ke konflik tanah yang sedang digugat oleh warga di luar lokalisasi. Pak Didik dan Pak Ahmad Subairi menjelaskan dengan bersemangat. "Kami hanya ingin hidup damai di sini. Tanah ini adalah satu-satunya yang kami punya." Suaranya terdengar parau namun penuh harap. Kami semua merasakan betapa beratnya perjuangan warga Besini untuk mempertahankan tempat tinggal mereka. Rumah warga eks lokalisasi yang berderet bak desain bangunan perumahan dari ujung ke pangkal yang menempati lahan seluas 19,9 hektar itu kini berstatus sengketa. Padahal tanah itu merupakan hasil pembelian Pemerintah Kabupaten Jember pada tahun 1988 silam dari 6 pemilik tanah.

Man Supri yang merekam momen ini berkata, "Ini benar-benar cerita yang menyentuh hati." Kami semua setuju. Besini bukan sekadar tempat, melainkan sebuah cerita tentang perjuangan, harapan, dan keinginan untuk hidup damai.

Tepat pukul 22.15 WIB, akhirnya kami undur diri untuk berpamitan. Pak Didik, Pak Subairi, beserta warga melepas kami hingga di pintu gerbang. "Terima kasih telah mendengarkan cerita kami," ujar Pak Didik dengan suara lembut. Kami pun meninggalkan lokalisasi dengan perasaan yang campur aduk. Besini telah memberikan kami cerita yang tak akan pernah terlupakan.

Kami kembali ke rumah Mas Anam untuk beristirahat. Malam ini bukan sekadar tentang liputan, melainkan sebuah pengalaman yang mengajak kami untuk lebih menghargai setiap cerita dan perjuangan yang tersimpan di baliknya. Besok, petualangan baru menanti.

Boemi Puger di Channel TV Desa Jember

Kisah liputan tim TV Des Jember yang kami lakukan pada hari pertama di Puger dapat disaksikan pada channel youtube TV Desa Jember. Berdurasi 22 menit 28 detik kami suguhkan kepada para penonton untuk mengetahui beberapa sudut liputan hari pertama. Jantung Samudra Hindia memiliki sebuah permata bernama Puger telah memamerkan keindahan pantainya yang berbisik, gunung kapurnya yang menjulang gagah, dan kehidupan nelayan yang sederhana namun penuh warna. Malam alun-alun berdansa dalam cahaya UMKM yang menggoda selera. Sementara sudut-sudut Besini berjuang mempertahankan identitasnya. Inilah kisah tentang Puger, bumi yang berdenyut antara keindahan alam denyut nadi ekonomi dan perjuangan hidup yang tak pernah padam.

Untuk MENIKMATI SENJA DAN MALAM DI PESISIR SELATAN - Bumi Puger Hari-1 || Sorot Desa #Eps-20 simak liputan kami pada link 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun