Kami memilih meja kosong di luar, dekat colokan listrik. Baterai drone dan handphone kami yang mulai lemah butuh diisi ulang. Bro Pandu segera menyorotkan kamera ke sekeliling, mengabadikan setiap sudut cafe yang penuh karakter. Lampu-lampu yang bergelayut di atas kepala kami seolah berbisik, "Ini adalah tempat yang tepat untuk mengakhiri hari."
"Wah, tampaknya teman-teman ke sini benar-benar mau ngafe. Pesanannya hanya kopi saja," celetukku saat Bro Pandu mengarahkan kamera ke meja kami. Kami memesan beberapa jenis Kopi Nusantara. Man Supri memilih Kopi Aceh Gayo, Bro Pandu memesan Kopi Toraja, Bro Toni memilih Kopi Kintamani, dan saya, yang lebih menyukai kopi robusta, memesan kopi tubruk. Harganya terjangkau, namun rasa yang ditawarkan tak kalah dengan cafe-cafe besar di kota.
Tak lama kemudian, seorang anak muda berpakaian rapi dengan celemek hitam mendekati meja kami. Dia membawa baki berisi kopi pesanan kami. Aroma kopi segar langsung memenuhi udara, seolah mengundang kami untuk segera menikmatinya.
"Wah, rasa di Aceh," ujar Man Supri sambil menyeruput kopi Aceh Gayo-nya. Bro Pandu pun tertawa saat mendengar penuturan Man Supri. Bro Toni pun tak kalah antusias, "Kintamani-nya juga nendang!" Saya sendiri menikmati kopi tubruk dengan pelan, merasakan kekentalan dan kekhasan rasa robusta yang kuat.
Percakapan kami mengalir begitu saja. Dari cerita tentang liputan sebelumnya hingga rencana untuk episode-episode mendatang. Bro Pandu sesekali beranjak dari meja untuk mengambil gambar di sudut-sudut lain cafe. Drone pun diterbangkan, mengabadikan keindahan cafe dari atas. Dari ketinggian, cafe ini terlihat seperti permata kecil di kaki Gunung Kapur, dikelilingi oleh hijau pepohonan dan sawah serta langit senja yang mulai berubah warna.
Senja di Puger sore itu begitu memesona. Langit berubah warna dari jingga keunguan, seolah melukiskan akhir hari yang sempurna. Kami duduk di meja, menikmati setiap tegukan kopi sambil memandang Gunung Kapur yang megah. Suara tawa dan obrolan dari meja-meja lain menciptakan suasana yang hangat dan bersahabat.
"Ini benar-benar tempat yang tepat untuk menikmati senja," ujar Bro Toni sambil memandang ke arah langit. Saya mengangguk, setuju. Cafe Dira Puger bukan sekadar tempat untuk ngopi, melainkan sebuah ruang di mana waktu seolah berhenti sejenak, mengizinkan kami untuk bernapas dan menikmati momen.
Bro Pandu pada pukul 18.10 WIB kembali menerbangkan drone. Kali ini, drone mengangkasa lebih tinggi, menangkap pemandangan cafe dari sudut yang lebih luas. Dari layar monitor, kami bisa melihat bagaimana cafe ini berdiri harmonis dengan alam sekitarnya. Gunung Kapur yang menjulang di belakangnya menjadi latar yang sempurna. Drone terbang selama sekitar 7 menit sebelum akhirnya mendarat kembali di tangan Bro Pandu.
"Ini benar-benar pemandangan yang menakjubkan," ujar Bro Pandu sambil memeriksa hasil rekaman. Kami semua setuju. Cafe Dira Puger bukan sekadar tempat nongkrong biasa, melainkan sebuah pengalaman yang mengajak kami untuk lebih menghargai keindahan alam dan momen-momen kecil dalam hidup.
Setelah Bro Pandu mengemasi drone, akhirnya kami memutuskan untuk beranjak dari cafe. Baterai drone dan handphone sudah penuh, dan kami siap melanjutkan petualangan. Sebelum pergi, Man Supri sempat melirik ke arah Gunung Kapur sekali lagi. Senja itu seolah berbisik, "Sampai jumpa lagi."
Kami meninggalkan Cafe Dira Puger dengan perasaan puas. Kopi yang kami nikmati bukan sekadar minuman, melainkan sebuah cerita tentang senja, persahabatan, dan keindahan alam Puger. Perjalanan kami masih panjang, dan malam di Puger menanti dengan cerita-cerita baru yang siap diungkap.