Mohon tunggu...
Akhmad Fourzan Arif Hadi P
Akhmad Fourzan Arif Hadi P Mohon Tunggu... Lainnya - Profesi saya sebagai Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat (TAPM) Kabupaten pada Kemendesa PDT

Saya adalah seorang pria disabilitas daksa yang memiliki kegemaran berkelana, berdiskusi, dan tentu saja ngopi di berbagai kedai formal (seminar, workshop, dan ruang-ruang diskusi lainnya) serta kedai non formal. Urusan menulis artikel tidak begitu mahir. Nama panggilan saya adalah ITONG.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Senja dan Legenda Malam: Kisah Perjalanan TV Desa Jember di Bumi Puger #KompasianaDESA

3 Februari 2025   10:39 Diperbarui: 3 Februari 2025   15:38 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover video berjudul Boemi Puger Senja dan Legenda Malam (Sumber: Channel YouTube TV Desa Jember)

Matahari masih tinggi di langit Jember ketika kami, tim TV Desa Jember, bersiap untuk memulai petualangan baru. Sabtu, 26 Januari 2025, dua mobil kami sudah siap mengarungi jalanan menuju Kecamatan Puger. Mobil pertama, dikendarai oleh Bro Pandu, membawa serta istri dan kedua anaknya. Di dalamnya, drone dan kamera aktif bersiap untuk mengabadikan setiap momen. Mobil ini seperti kuda yang setia, siap membawa kami menuju destinasi dengan segala perlengkapan yang dibutuhkan.

Mobil kedua, Kijang KF-80 keluaran tahun 1997 bertransmisi matic, saya kendarai bersama Man Supri dan Bro Toni. Kami membawa beberapa kebutuhan logistik, dua tripod, dan sepasang handy talky. Perjalanan ini adalah tentang cerita, bukan sekadar peralatan dan perlengkapan. Mobil ini, meski lebih sederhana, tetap setia menemani kami dengan segala keterbatasannya.

Jalan nasional sepanjang 11 km kami tempuh dalam 30 menit. Alun-alun Jember, Pasar Jompo, Perempatan Mangli, Terminal Tawang Alun, dan Alun-alun Rambipuji menjadi saksi bisu perjalanan kami. Setiap titik ini seolah berbisik, "Kalian sedang menuju petualangan yang tak terlupakan." Jembatan Kaliputih Sungai Dinoyo di Desa Rambipuji menjadi titik penting. Di sini, kami belok kiri menuju Puger. Jalan sepanjang 25,2 km ini memakan waktu 50 menit.

Di kiri dan kanan jalan, warung-warung makan berjejer, sementara di belakangnya, hutan jati milik Perhutani menjulang. Gumuk Gong, sebuah bukit kecil di tengah hutan jati, menyambut kami dengan diam-diam. Prasasti Batu Gong yang ditemukan oleh dua arkeolog Belanda pada tahun 1933 menjadi saksi bisu sejarah yang tersembunyi di baliknya. Gumuk Gong seolah berkata, "Selamat datang, kalian sedang memasuki wilayah yang penuh cerita."

Traffic Light Kaliputih dan Warung-Warung Makan

Di pertigaan jembatan Kaliputih Sungai Dinoyo, traffic light berkedip-kedip, mengatur lalu lintas dengan sabar. Di kiri dan kanan jalan, warung-warung makan dan minuman berjejer, menawarkan hidangan yang menggoda. Aroma makanan yang menggugah selera seolah mengundang kami untuk berhenti sejenak. Namun, kami terus melaju, menuju destinasi utama kami.

Di belakang warung-warung yang berjejer di kiri dan kanan jalan raya tersebut, terdapat tanaman jati yang dikelola Perhutani. Hutan jati ini seperti penjaga yang setia, melindungi tanah di sekitarnya dengan dedaunan yang rimbun. Di dalam kawasan tanaman jati yang berada di sebelah kanan jalan, terdapat bukit. Masyarakat di Jember biasanya menyebut dengan istilah gumuk. Nah, gumuk yang berada di kawasan jati di Dusun Kaliputih Desa Rambipuji itu bernama Gumuk Gong.

Gumuk Gong: Saksi Bisu Sejarah

Gumuk Gong berdasarkan Prasasti Batu Gong atau yang tertulis dalam papan nama yang dibuat oleh pihak Perhutani bisa dilihat di Dusun Kaliputih Desa Rambipuji Jember. Tepatnya di kanan jalan di wilayah jati milik Perhutani. Prasasti berupa batu yang diletakkan di sebuah gazebo atau pondok kecil. Prasasti batu gong pertama kali ditemukan di puncak bukit di dekat lokasi keberadaannya sekarang. Sehingga, tak heran jika masyarakat sekitar sering menyebutnya Gumuk Gong. Prasasti itu ditemukan oleh W.F. Stutterheim dan H.R. Heekeren berkebangsaan Belanda pada Desember 1933.

Gumuk Gong seolah berbisik, "Aku telah menyaksikan banyak cerita, dan sekarang aku akan menyaksikan petualangan kalian." Kami pun melanjutkan perjalanan, melewati beberapa titik penting seperti Rumah Sakit Daerah (RSD) Balung, Pasar Balung yang berada di Balung Lor, Balai Desa Jambearum Kecamatan Puger, Pasar Kasiyan di Desa Kasiyan Timur Kecamatan Puger, Pertigaan Kasiyan di Desa Kasiyan Timur Kecamatan Puger, Gunung Kapur di Desa Grenden, Koramil Puger, dan pertigaan Jl. Mayor Adi Dharma Dusun Manderan II, Puger Kulon, Kecamatan Puger.

Tidak terasa, android yang berada di genggaman Bro Toni telah menunjukkan pukul 16.00 WIB. Kami tiba di rumah Mas Anam, keluarga dari istri Bro Pandu, di Desa Mojosari, Kecamatan Puger. Rumah ini menjadi titik kumpul kami. Di teras mushola, kami beristirahat sejenak sambil menikmati kopi panas yang disuguhkan tuan rumah. Tak lama kemudian, Bung Dodot Supriyadi, putra asli Puger, bergabung. Suasana pun semakin hangat dengan canda tawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun