Tak lama setelah Kaji dan teman-temannya mengajakku melanjutkan perjalanan, rupanya indera pendengaranku menangkap sebuah suara lirih yang tak kuketahui keberadaan penuturnya. "Ki... no... chan..." suara itu sungguh membuatku kembali mengingat sosok ular mati itu! Mustahil! Kupastikan dengan segenap pengelihatanku, penciumanku, bahkan tanganku sendiri yang membangun penutup antara tubuhnya dengan dunia ini. Tapi kini!! Dari mana asalnya tanah di tanganku ini?! Sebelum ke sini, aku sungguh sudah membersihkan diri dari jejak kengerian itu! Ini tidak nyata! Bagaimana mungkin tanganku masih sekotor ini?!
Dewa kecemasan rupanya menaburkan sedikit kebaikannya pada diri Kaji. Tak kuduga dia akan begitu perhatian padaku. Walau sesungguhnya gadis yang beruntung hari ini bukanlah aku. Lagipula tak ada satu pun yang menyadarinya. Realita memperlihatkan bahwa hanya aku gadis spesial hari ini. Tak sepantasnya aku berlarut dalam ketakutan yang tak berujung. Aku pun segera memasang senyuman pada Kaji untuk melanjutkan perjalanan keliling studio ini. Pesona ketiga pangeran Ren-Z sungguh hanya miliku seorang! Semuanya berjalan dengan baik! Kenapa aku harus khawatir?
"Bzzt!" alunan lagu yang dinyanyikan oleh tiga pangeran yang tengah berlatih di atas panggung itu tiba-tiba memperlihatkan sosok bayangan membawa cangkul di bawah cahaya bulan sabit. Tatapannya yang penuh dendam dan kebencian terlihat begitu jelas, namun raut mukanya hanya samar-samar gelap.
Diiringi oleh mata yang membelalak pada bayangan itu, terdengar suara serak yang menggema di seluruh auditorium itu, "Ceritakan perbuatanmu di depan semua orang... Akui dosa-dosamu!!" Suara itu hilang dalam sekejab. Kurang ajar! Berani-beraninya dia membawa kebahagiaanku yang berharga dengan Ren-Z! Jangan ganggu aku, Yuma! Aku dan kamu kini tak lagi sama! Inilah kenyataannya. Aku masih hidup. Silakan gigit jari di dunia sana!
Konser puncak Ren-Z tiba. Kebahagiaanku juga telah sampai pada puncaknya. Hanya aku yang mendapat kesempatan untuk mengukir kenangan secara khusus dengan mereka! Dengan segenap hati aku meneriakan nama mereka dari kerumunan penonton konser ini. Saking bahagianya, kelopak mataku juga merayakan kebahagiaannya yang tak sanggup dibendung dengan memejamkan diri. Kukira kebahagiaan ini dan kerumunan gadis tak beruntung ini membuatku kesulitan bernafas. Perasaan tertekan dan mencekik pada leherku menghambat seruan yang ingin kulayangkan pada mereka. Semakin ketat cengkraman yang diberikan pada leherku. Ini bukanlah tangan manusia. Ini kalung leher anjing itu. Shushu! Mustahil!!
Kali ini, sekali lagi, aku mengais pertolongan pada siapapun yang mau membebaskanku dari kesengsaraan ini. Suaraku terhentikan. Cengkraman ini semakin menerkam suara yang kukeluarkan. Seakan mendesakku untuk mengingat sesuatu yang sedari tadi menghantuiku. Tak mampu lagi aku menahan siksaan ini, tak ada lagi yang bisa kulakukan pada titik ini. Keputusasaan seakan ingin memberi jawaban atas penderitaanku. Sulit bagiku merendahkan egoku! Tapi tak ada pilihan lain. Hanya itu yang kuingat.
"Kaji... Kaji... Aku... yang membunuh Yuma... Aku yang..."
Pengakuan itu mencuri kesadaranku. Cengkraman kalung itu pun bernafas lega mendengarnya. Satu hal yang kuketahui sebelum kesadaranku benar-benar kabur, aku terduduk pada sebuah kursi dan jatuh tersungkur. Kutemui diriku berada di sebuah ruangan putih. Segalanya terlihat putih, bersih, dan tak bercela. Kukira aku telah menuju surga. Ah, rupanya ini rumah sakit.
Sekali lagi aku tak mampu bertahan hidup dalam sebuah kebohongan yang kuciptakan sendiri. Pengakuan ini masih berlanjut bahkan di hadapan ibuku dan segenap keluarga Yuma.
"Maafkan aku." Suara ini ternyata terdengar sampai ke sebuah kastil kuno yang berada jauh di kedalaman hutan.
"Cokelat untuk mengakui dosa. Palmier."