Mohon tunggu...
Flutterdust
Flutterdust Mohon Tunggu... Mahasiswa - Muhammad Fa'iq Rusydi - Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Kecil Bergerak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rokok dan Kopi Ibarat Sambal, Ikan, dan Nasi

13 November 2022   21:30 Diperbarui: 21 April 2023   04:50 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan tak henti-henti membasahi jalan, kaki rasanya pegal menyangga badan. Satu sampai dua jam, angin menyusul. Aku memilih warung pecel lele menjadi tempat persembunyian dari hujan, bersama Ica yang kebetulan berpapasan setelah jam pelajaran. 

Kebetulan lagi, warung pecel lele ini berdekatan dengan toko yang tadinya menjadi payung teduh buat kami. Terasnya hanya selangkah kaki, oleh susulan angin, hujan yang datang dari tadi kemudian menerpa muka toko. 

Setelah saling bertatap mata dengan Ica, kami segera beranjak, seakan-akan telah mengerti barangkali sewaktu hujan angin turun, toko akan tutup. Ibu toko sudah dari awal menyapa kami, mempersilahkan masuk ke dalam, namun tidak kami iyakan karena sungkan. Kami pamit memilih beranjak ke warung pecel lele sembari mengisi pondasi untuk perut, supaya badan dan kaki tidak goyah.

                “Kamu mau pesen apa, Ca?”

                Nasi setengah sama pecel lele.”

                “Okeh. Minumnya?”

                “Teh anget, deh.”

Setelah pesan makanan yang sama, Aku duduk sebangku dengan Ica. Goyang lampu philip yang ditiup angin, sejenak memecahkan hening pandangan Ica.

                “Kamu bukanya dari Lamongan?”

                “Iya.”

                “Emang boleh makan lele?”

                “Boleh.”

                “Oh, gitu.”

                “Iya. Kamu kata siapa ngga boleh?”

                “Aku pernah baca di beberapa artikel, kalo orang Lamongan nggak boleh makan lele.”

                “Oh.. itu.. Legenda dan mitos, sih, kalo itu.”

                “Legenda dan mitos?”

“Iya, seperti yang kamu baca. Ada sebuah cerita yang diyakini benar-benar terjadi di masa lampau, kemudian menjadi mitos berupa pantangan untuk makan lele.”

“Trus?”

“Mungkin saja Aku tidak termasuk orang yang mempunyai pantangan makan ikan lele, hehe..” jawabku dengan sedikit senyum.

Makanan datang, bersamaan dengan teh hangat yang dalam hati lebih kami nanti-nanti. Setelah baca doa makan dengan lirih, tangan kanan selanjutnya menyambar lele, sambal dan nasi.

                “Aku baru kali ini makan lagi di luar,” celetuk Ica sembari mematahkan daun kemangi.

                “Oh iya? Emang terakhir kapan?”

                “Sewaktu SMA, itu pun karena lupa bekal ngga kebawa.”

                “Wah, sayang dong.”

                “Iyah. Tapi dari situ, Aku jadi punya pengalaman makan di kantin.”

                “Berarti emang dari dulu selalu makan makanan dari rumah?”

“Haha.. Iyah.. Tapi Aku becanda makan terakhirku di luar sewaktu SMA. Lebih tepatnya empat bulan terakhir.”

                “Beruntung, ya, kamu.”

                “Emang kamu enggak?”

“Pengalaman makanku di rumah kurang baik, mangkanya dari dulu lebih sering makan di luar.”

Ica hanya menganguk-anguk, sambil mengunyah printilan daging lele yang dioles sambal dan dilumatkan dengan nasi. Barangkali telah mengerti apa yang kubicarakan, batinku.

***

“Kamu tadi bilang, pengalaman makan di rumah kurang baik? Kenapa?” tanya Ica setelah menghabiskan makanan dan minuman sampai setengah gelas. “Iyah.. Soalnya.. jam terbang Ibu masak kurang,” jawabku sambil merunduk. Dengan tetap diam, Ica menaruh pandangan. “Ya.. gini, deh. Jadi kurang kangen masakan rumah, hehe..”  lanjutku.

“Aku ingat dulu sewaktu SMA, guru mata pelajaran Bahasa Jepangku pamit tidak mengajar lagi di sekolah. Saat itu Aku merasa aneh, Sensei pergi, acaranya makan-makan, kesanya seperti merayakan. Padahal Aku sebenarnya sedih, harusnya minum-minum,” sahut Ica untuk sedikit mencairkan suasana. “Sama seperti orang jadian dong, jadian makan-makan, putus minum-minum.” Ica tersenyum dan tertawa.

Setelah minum es teh, segera kuambil korek dan membakar sisa satu batang rokok Surya di saku depan. Untungnya, rokok ini tidak basah dan patah, hanya sebagian di dekat filter yang terkena air hujan. “Kamu ngerokok?” “Iyah.. Eh, maaf, keganggu asapnya ya? Ini Aku matiin, deh,” sambil segera menumpulkan bara rokok ke aspal. “Engga.. engga, nggakpapa, sok aja,” sahut Ica, mencegahku dengan menarik lengan tangan kiri. Meski demikian, kakiku gusar, takut mengganggu kenyamanan Ica.

Intensitas hujan semakin kecil, tinggal rintiknya yang tersisa. Setelah sampai setengah batang, sengaja kumatikan rokoknya tanpa bicara. “Kenapa dimatiin?” tanya Ica. “Nggak papa, tembakaunya agak basah jadi berat nariknya.” “Oh, gitu..” Aku menganguk dan sedikit tertawa.

***

“Emm.. Aku punya pertanyaan, sih, dari dulu. Kenapa pasangan kopi itu rokok? Padahal Aku suka minum kopi tapi enggak merokok, lebih suka minum kopi sambil nyemil kalau lagi nugas.”

“Sebentar-sebentar..” Aku menarik nafas sedikit panjang, sambil mempersiapkan jawaban kemudian mengeluarkanya pelan-pelan. “Jadi gini.. a.. mengapa setiap makan nasi dengan ikan, selalu dianjurkan dengan sambal? Padahal, misalkan, si B tidak terlalu suka sambal, dia tak tahan pedas. Lalu, apa fungsi sambal selain untuk pelengkap makan? Apakah memang sambal diciptakan berpasangan dengan ikan dan nasi?”

Ica tertawa, sesekali melihatku sambil memikirkan pertanyaan yang terlontar. “Emm.. Untuk pertanyaan yang pertama, jawabanya enggak juga, kalau kebetulan ada sambal aja biasanya ditawarin. Tapi emang, menurutku, sih, makan tanpa ada sambal kurang lengkap, hehe.. Untuk pertanyaan kedua, fungsi sambal selain untuk pelengkap makan, kalau yang dimaksud makan di sini adalah ikan dan nasi, ya bisa saja sambal untuk camilan atau bahkan obat. Untuk pertanyaan ketiga, jawabanya Iya, sambal diciptakan berpasangan dengan ikan dan nasi, buktinya rasanya cocok dan emang umumnya sambal dibuat untuk kebutuhan pelengkap. Tapi perlu diingat juga, sih, sambal bisa diciptakan berpasangan dengan yang lainya, selain ikan dan nasi.”

“Jadi?”

“Emm.. Rumit, tapi Aku sedikit paham sekarang,” jawab Ica sembari tersenyum dengan tawa.

“Haha.. ya, gitulah, Ca,” pungkasku.

Hujan akhirnya reda, kami kembali mencanangkan perjalanan untuk pulang. Ica menuju rumah dan Aku menuju kosan. Kami berpisah arah di pertigaan Tritant Point, seraya berkata sampai berjumpa lagi setelah liburan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun