Tanggungjawab atas ganti kerugian.Â
Pasal 11 PP No. 27 Tahun 1983 negara melalui departemen keuangan dibebani tanggung jawab untuk menyelesaikan pembayaran tuntutan ganti kerugian yang dikabulkan pengadilan.
Tuntutan KeperdataanÂ
Bahwa Pelapor yang termasuk sebagai aparat penegak hukum (Pengawas), dapat dikenakan juga Tuntutan GR dengan dasar Pasal 1365 KUHPer. Â Dalam hal ini sering terjadi inkonsistensi putusan, sehingga Mahkamah Agung perlu mengatur ketentuan khusus mengenai pemeriksaan perkara tersebut agar tidak terdapat putusan yang saling bertentangan.
Pasal 1365 KUHperdata menentukan bahwa tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut. Putusan yang sudah BKHT yang membebaskan Terdakwa dapat menjadi dasar adanya perbuatan melawan hukum.
Putusan tersebut sebagai hukum mengikat pihak-pihak yang bersangkutan yaitu para pemohon sebagai terdakwa dan juga termohon sebagai aparat penegak hukum, apakah selama proses penyidikan, penuntutan dan persidangan, adanya kekeliruan sehingga mengakibatkan kerugian kepada pemohon/terdakwa.
Ada pun dalam peradilan perdata, ganti kerugian lebih luas, karena dapat mencakup tuntutan kerugian immateril. Â Pemenuhan tuntutan kerugian (immateriil) diserahkan kepada Hakim dengan prinsip ex aquo et bono berdasarkan putusan PK. MA No. 650/PK/Pdt/1994 ganti kerugian immateril hanya dapat diberikan dalam hal tertentu saja seperti perkara kematian, luka berat, dan penghinaan, dalam hal ini harus dibuktikan ada hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.
Berikut mekanisme yang seharusnya dilakukan oleh terdakwa yang dinyatakan bebas/lepas menurut hukum dalam rangka memperoleh kembali hak-haknya atas adanya putusan bebas/lepas (pidana). Â
Upaya hukum yang bisa dilakukan adalah: Tuntutan GR
Setiap tersangka, terdakwa, atau terpidana yang telah dituntut dan diadili pasca putusan yang membebaskannya, berhak untuk mengajukan upaya penetapan ganti kerugian. Bahwa pemeriksaan tuntutan ganti kerugian setelah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap menggunakan acara praperadilan. Selanjutnya penetapan atas permohonan ganti kerugian tersebut disamakan dengan penetapan praperadilan.
Dengan demikian upaya keberatan terhadap penetapan ganti kerugian mengikuti upaya hukum sebagaimana terhadap penetapan praperadilan. Berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, terhadap putusan praperadilan tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun. Namun demikian, sesungguhnya antara praperadilan dengan prosedur ganti kerugian mengandung substansi yang berbeda. Oleh karena itu seharusnya hukum acara pidana di Indonesia mengatur mengenai adanya upaya keberatan bagi penetapan yang menolak permohonan ganti kerugian.Â