Mohon tunggu...
fahmi karim
fahmi karim Mohon Tunggu... Teknisi - Suka jalan-jalan

Another world is possible

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Percakapan Awal Manado Utara

2 Juli 2024   23:24 Diperbarui: 2 Juli 2024   23:44 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumentasi Aksi

Jalesveva jayamahe!

Semboyan yang berarti "di lautlah kita jaya!" Ini bukti kekuatan maritim dalam sejarah panjang nusantara. Konon moto yang berasal dari era Majapahit ini digunakan untuk meningkatkan semangat; semacam suplemen makanan tapi dalam bentuk kalimat.

Laut memiliki kekuatan tersendiri jika dipantau dalam poros geostrategi, geopolitik, serta geoekonomi. Kekuatan ini yang jadi titik berangkat Perda RTRW Sulut 2014-2034 (katanya lagi direvisi): Sulut sebagai Pintu Gerbang ke Asia Pasifik. Hal ini karena ada pergeseran arah ekonomi dari Eropa ke Asia Pasifik. Secara strategis Sulut menguntungkan dalam peta lintas perdagangan dan jasa, terutama jalur laut pelabuhan Bitung atau melalui bandar udara Sam Ratulangi. Dari situ pintu masuk ke Asia Timur dan Pasifik. Ini yang membuat Sulut kuat secara politik teritori, juga berdaya dari segi ekonomi. Penjelasan yang lebih akademik bisa langsung baca buku Geostratgi karya Sarundajang.

Dalam posisi menguntungkankan itu, di era Gubernur Sarundajang, bahkan sampai sekarang, pariwisata dikembangkan secara cepat secepat kilat menjadi koridor utama ekonomi Sulut. Dari situ diharapkan ada percikan ekonomi pada sektor-sektor yang lain; maksudnya daya panggil. Ambisi itu membuahkan hasil dengan ditetapkannya Manado-Likupang sebagai Destinasi Pariwisata Perioritas. Atau Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Laut tetap saja menjadi jualan utama.

Di dalam tata kelola kota, laut juga dianggap sebagai potensi ekonomi untuk menambah pundi-pundi ekonomi kota. Terutama kota dengan pusat bisnisnya berada di tepi laut (waterfron city). Tidak jarang kita melihat pelebaran wilayah darat ke arah laut dalam perencanaan kota (urban planing) dan desain tata ruang kota (urban design). Pelebaran wilayah daratan diambil dengan jalan reklamasi pantai. Ini terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta dengan rencana proyek reklamasi 17 pulau buatan di Teluk Jakarta (meski beberapa izin telah dicabut), reklamasi pantai Kenjeran di Surabaya, Centre Point of Indonesia Makassar dengan megaproyek reklamasi 157 Ha, dan kini di sebelah Utara Manado, Boulevard II, dengan proyek reklamasi 90 ha.

Yang menjadi eksekutor proyek reklamasi 90 ha adalah PT Manado Utara Perkasa (MUP) dengan Komisaris Utama Ir. Agus Abidin. Perusahaan ini bergerak di bidang reklamasi dan konstruksi. PT MUP merupakan anak perusahan dari PT Papan Perseda Indonesia. Perusahan ini terafiliasi dengan PT Paramount Enterprise Internasional, perusahan terkenal dan tajir di Indonesia, bergerak di bidang property dan real estate. Salah satu proyek terkenal yang dibuat oleh Paramount adalah hunian mewah Gading Serpong Tanggerang dengan luasan kurang lebih 1000 ha. Pada tahun 2006 didirikan PT Paramount Land Development, lalu perusahan ini berganti nama PT Paramount Enterprise Internasional pada tahun 2014. Perusahaan ini dimiliki oleh Elizabeth Sindoro, nama yang tidak asing dalam daftar perempuan terkaya di Indonesia. Jadi bisa kita bayangkan siapa pemain bisnis property yang ikut baku-hantam dan menunggu di ujung proyek reklamasi Manado Utara.

Dalam kajian ekonomi politik, biasanya kapitalis-kapitalis besar ini yang menentukan ritme perkembangan kota dan menggerogoti model kebijakan rezim melalui koalisi bagi kue antara penguasa dan pengusaha.

Pembagian Segmen dalam dokumen Amdal PT MUP
Pembagian Segmen dalam dokumen Amdal PT MUP

Kepentingan Swasta atau Pariwi(swasta)sata

Boulevard II, atau Manado Utara, adalah garis pantai terakhir dalam kota yang dimiliki Kota Manado setelah garis pantai Manado Selatan ditimbun (kawasan Bahu Mall, Manado Town Square, Megamass, M-Walking dan Marina Plaza). Proyek reklamasi Manado Selatan juga motifnya sama: melayani kepentingan pasar konsumsi: business as usual. 

Lahan reklamasi Manado Utara direncanakan akan dibangun kawasan pusat bisnis dan pariwisata, dengan durasi pembangunan selama 19 bulan, berlokasi di sepanjang Kelurahan Sindulang I, Sindulang II, Bitung Karang Ria, Maasing, Tumumpa I, Tumumpa II. Ini tertera dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) PT MUP (dokumen Amdal ini saya dapat dari LBH Manado melalui e-mail). Diperkirakan nilai proyek reklamasi sebesar 1,5 Triliun. Untuk tahap pembangunan berkisar di atas 5 Triliun.

Pariwisata memang menjadi kata unggulan pemerintahan Sulut maupun Manado. Sejak 2005, pariwisata telah terdengar bunyinya dalam dokumen RPJPD: "Manado Pariwisata Dunia". Bertolak dari situ difokuskanlah pariwisata di tiga pulau luar Manado, yaitu Pulau Bunaken, Siladen, dan Manado Tua.

Kini, melalui Perpres No. 16 Tahun 2024 tentang Rencana Induk Destinasi Pariwisata Nasional Manado-Likupang Tahun 2023-2024, fokus utama pengembangan ladang ekonomi wisata ada di zona Manado-Likupang serta KSPN Bunaken dan sekitarnya, Bitung-Lembeh dan sekitarnya, serta Tomohon-Tondano dan sekitarnya. Demi mendukung semua niat-niat itu, pemerintah terus berupaya membuka wilayah-wilayah baru untuk kemudahan konektifitas antar lokasi pariwisata, tidak jarang di atas tanah warga. Kawasan penyangga terus diciptakan sebagai representasi ruang. Semisal pembangunan infrastruktur perhotelan, sekolah yang berkaitan untuk mendukung ideologi, atau tempat belanja yang dekat dengan kawasan pariwisata. Kemudahan dan kenyamanan turis adalah yang utama.  

Sumber: Perpres 16/2024
Sumber: Perpres 16/2024

Proyek PT Minahasa Permai Resort Development (MPRD) di Likupang yang sedang bersengketa tanah dengan warga Kinunang dan Pulisan, pembuatan kampus Politeknik Pariwisata Kalasey II (yang sampai sekarang warga sedang berjuang mempertahankan tanahnya), dan kini reklamasi Manado Utara, tidak bisa dipisahkan dari agenda besar DPN Manado-Likupang.  Proses akumulasi kapital dalam model neoliberalisasi lingkungan tetap akan memakan korban. Nasib rakyat selalu bergantung pada rambut sehelai: serba dalam keadaan menyiksa.

Singkat cerita, proyek reklamasi Manado Utara harus dibaca dari ambisi pemerintah untuk terus menggenjot agenda pemerintah pusat sembari membuka karpet merah untuk program-program swastanisasi di dalam kota. Agenda bahu-membahu ini bisa juga kita lihat dari visi masa pemerintahan Andrey Angouw-Richard Sualang: "Manado Maju dan Sejahtera sebagai Beranda Sulawesi Utara dan Indonesia Ke Asia Pasifik". Di sini terlihat sinkronisasi program Walikota dengan Pemerintah Provinsi.

Menjadi masuk akal jika warga bertanya: sebenarnya pembangunan ini untuk siapa?

Izin yang Digampangkan

Beberapa tahun terakhir kita menyaksikan orkestra hukum mengikuti irama politik rezim yang berkuasa. Secepat kilat Undang-Undang bisa berubah bahkan melalui Mahkamah Konsititusi. Irama rezim politik yang tampil di publik suaranya bising, bahkan mengganggu telinga. Payahnya kita sulit keluar dari rezim yang menyengat ini. Ini dimulai dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui MP3EI lalu diteruskan oleh Jokowi dengan UU Cipta Kerja (Ciptaker): birokrasi mesti ramping, izin usaha mesti cepat; deregulasi. Lembaga kepolisian pun disuruh mengawal hatajan pembangunan infrastruktur. Di belakang semua itu ada agenda neolib yang memberikan asupan gizi secara terus-menerus ke kapitalis-kapitalis rakus untuk terus mengeksploitasi manusia dan lingkungan.

Jangan heran jika izin proyek di darat maupun laut berhamburan. Memang usah menganalisa UU, tapi ritme perizinan berusaha mesti dilihat sebelum dan sesudah UU Ciptaker. Terutama beberapa pasal yang diubah dalam UU 1/2024.

Meski demikian, tetap saja dokumen Amdal merupakan dasar kelayakan Lingkungan Hidup untuk rencana usaha. Kelayakan ini didukung oleh ekosistem bawah laut, misalnya keberadaan terumbu karang tidak boleh dianggap tidak ada. Selain itu kepentingan dan kehidupan masyarakat pesisir mesti didengar. Dan memang dokumen Amdal PT MUP dianggap bermasalah. Di antaranya partisipasi kelompok nelayan, penjelasan keberadaan ekosistem bawah laut serta potensi banjir yang akan menimpa Kecamatan Tuminting.

Akibat-akibat

Dalam proyek reklamasi 90 ha, dampak lingkungan tidak cuma ke warga Tuminting, tapi juga daerah yang menjadi sumber pengambilan material batu dan tanah untuk menimbun pantai. Lokasi quarry material tanah diambil dari Talawaan Bajo, Kec. Wori, Minahasa Utara. Untuk lokasi pengambilan batu di Kec. Mandolang dan Kec. Pineleng. Proses penggarukan dan pengangkutan batu dan tanah berarti ada yang dikurangi lagi dari alam.

Pada tahap konstruksi, kegiatan mobilisasi material dan peralatan berpotensi menyebabkan kualitas udara memburuk. Mobilitas tidak hanya di kawasan reklamasi. Batu dan tanah perlu digiring menggunkan truk dari lokasi. Kualitas udara ini yang bisa terganggu lalu menimbulkan gangguan pernapasan masyarakat sekitar.

Beberapa daerah di Kecamatan Tuminting sudah seperti bersahabat dengan banjir. Tiap volume dan durasi hujan tinggi, tamu langganan pasti banjir. Jika 90 ha jadi ditimbun, artinya volume air bisa naik ke arah daratan (sesuai prinsip Archimedes), sementara sistem drainase dari wilayah pemukiman akan lebih jauh ke arah laut. Di sinilah potensi banjir.

Bagaimana dengan penyerapan tenaga kerja? Ada di dokumen Amdal. Tercantum Penerimaan Tenaga Kerja (h. 2-3). Di situ tertulis diperkirakan tenaga kerja lokal yang akan terserap sekitar 70% dari total jumlah tenaga konstruksi kurang lebih 420 orang. Artinya sekitar 315 orang dari jumlah penduduk 5 kelurahan yang akan bekerja pada tahap konstruksi menjadi buruh kasar. Untuk pngawas proyek adalah Lurah Sindulang sampai Tumumpa dan Camat Tuminting. Jadi jelaslah kenapa kelurahan dan kecamatan tidak teribat dalam Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan Tolak Reklamasi.

Apa lagi yang bermasalah dalam dokumen Amdal? Unsur "pembohongan"! Pada halaman 2-6 mengenai gangguan aktivitas nelayan dalam kegiatan reklamasi pantai diterangkan bahwa "Aktivitas nelayan tidak terganggu". Siapa bilang? Begitupun keterangan konflik sosial yang ditimbulkan dalam kegiatan reklamasi pantai. Diterangkan dalam dokumen Amdal bahwa "Tidak timbul konflik sosial akibat gangguan aktivitas nelayan". Padahal sampai sekarang tidak hanya nelayan dan pihak pengembang yang bersitegang tapi sesama warga juga ikut dipecah-belah.

Inilah proyek reklamasi dengan gudang masalahnya.

Simpulan: BATALKAN REKLAMASI MANADO UTARA!

Dalam salah satu wawancara yang terekam di Youtube, Marco Kusumawijaya mengatakan persoalan utama perencana kota adalah terlalu banyak merencana namun sedikit pengetahuan. Misalnya ide penambahan luas daratan melalui reklamasi. Paradigma ini adalah cara pandang yang dari dulu sudah keliru. Selain tidak ramah lingkungan, proses ini bisa memakan orang-orang kecil.

Kendati terus mendorong pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), tapi dengan menimbun pantai bagai menabur biji di atas batu: sia-sia. Yang ada tambah rusak ekosistem laut.
Apapun alasannya, laut tidak boleh ditimbun, alam tidak boleh dirusak. Dunia sudah berada di titik didih global akibat krisis iklim!

A Luta Contonua!

Perkamil, 30 Juni 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun