Mohon tunggu...
fahmi karim
fahmi karim Mohon Tunggu... Teknisi - Suka jalan-jalan

Another world is possible

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ekonomi yang Pergi

24 Oktober 2023   22:36 Diperbarui: 24 Oktober 2023   22:39 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Untuk waktu yang cukup lama, kali ini saya pulang kampung naik mobil penumpang jurusan Inobonto-Manado. Biasanya saya memilih naik sepeda motor, jika bukan menumpang teman, pinjam sepeda motor teman. Selain penghematan, naik sepeda motor bisa merasakan langsung perubahan suhu udara serta bangunan. Bisa juga singgah-singgah santai sejenak menunggu matahari larut di pantai. 

Saya termasuk jarang pulang kampung, kecuali ada urusan sangat mendadak, seperti kepulangan saya kali ini. Memangnya Manado membuat saya betah? Untuk alasan-alasan kenyamanan dan kebahagiaan, Manado tidak memilikinya. Keterpaksaanlah yang membuat pilihan-pilihan untuk bertahan di Manado.

Malam itu, saya dijemput mobil penumpang. Biasanya penumpang mesti ke Pangkalan, namun ada hal yang kadang-kadang membuat para sopir menghindar masuk Pangkalan, karena punya biaya tambahan Pangkalan yang mesti dibayar sopir. Lagian, termasuk saya, banyak penumpang yang malas ke Pangkalan karena butuh biaya angkot lagi untuk ke sana. Makanya para penumpang lebih memilih untuk menelpon Sopir Penumpang dan minta dijemput, tanpa biaya tambahan. Untuk upah mobil penumpang Rp. 85.000. Akan naik sampai seratus lebih jika memasuki lebaran.

Malam itu, awalnya penumpang hanya saya seorang. Saya pun dihajar dengan beberapa pertanyaan, layaknya Sopir Online yang mengejar rating, "Sekolah atau kerja? Kerja di mana?" Pertanyaan ini lumrah, karena orang dari desa dan menetap di Manado jika bukan sekolah pasti kerja. Manado cuma punya ingatan itu: lalu-lalang urusan privilese dan cari uang.

Setengah jam kemudian, penumpang lain dijemput. Berjumlah 3 orang. Dua laki-laki dewasa, satu lagi ibu-ibu. Satu laki-laki dewasa sedang mengikuti pelatihan ASN-P3K. Lelaki satunya lagi tidak tahu sedang apa di Manado karena diamnya minta ampun. Yang meramaikan mobil dengan percakapan malam itu adalah ibu-ibu yang sedang sibuk bertaruh keberuntungan kerja di Manado dengan segala keluhannya dan kerumitan rumah tangganya karena gempuran ekonomi. Malam itu, semua kerumitan dimulai dari ibu-ibu ini. Dia mulai bercerita sepanjang jalan. Tidak tanggung-tanggung, emosi juga dilibatkan dalam keluhannya. Mulai dari empat anak yang mesti dihidupi, suami yang mulai jadi pemabuk sejak ditinggalnya di kampung, perselingkuhan ibu-ibu dan bapak-bapak, sampai hutang-hutang yang melilitnya dan teman-teman sekampungnya. Saya menjadi pendengar yang baik malam itu sebagai orang yang belum merasakan pahitnya menjalani ekonomi rumah tangga sungguhan.

Sopir meladeni dengan sungguh pembicaraan ibu-ibu ini. Kali ini bukan soal rating, tapi memang kelihatannya di juga gelisah. Baginya, segala kerumitan manusia sekarang, mulai dari ekonomi sampai cara menjalani hidup yang kian sengsara adalah buah dari tidak diterapkannya agama secara sungguh-sungguh dalam hidup. "Agama sekarang hanyalah tameng manusia. Bukan sebagai jalan untuk hidup. Akibatnya manusia tetap akan jatuh secara terus-menerus tanpa akhir. Coba lihat orang tua kita di masa lalu? Tentram saja. Kita sekarang, semakin maju, semakin canggih, justru semakin rusak moral kita. Semakin berantakan hidup kita. Inilah maksud orang Barat, yaitu merusak akidah kita."  Kita semua hanya diam saja seperti sedang mendengar khotbah Jum'at.

Ibu-ibu itu mulai mengganti topik tentang hutang-piutang yang merajalela di desa. Mereka menyebutnya duel. Yaitu satu sistem pinjam-meminjam disertai bunga yang tinggi dengan jatuh tempo yang singkat. Saya tidak tahu kenapa istilahnya duel, tapi dikatakan duel  mungkin karena mereka bertaruh apakah akan terbayar atau tidak dalam waktu dekat dengan jumlah bunga yang tinggi. Kata kakak saya duel artinya kelipatan.

"Oh, rentenir!", saya sambung pelan-pelan percakapan malam itu. "Seperti itulah," sambung Sopir.

Cara kerjanya begini: durasi peminjaman untuk pengembalian hutang, atau jatuh tempo (Japo), beda-beda. Ada yang satu minggu jangka waktu hutang ada juga yang satu bulan. Untuk duel Japo waktu satu minggu (7 hari), jika Anda meminjam Rp. 500.000 maka Japo 7 hari kemudian harus dikembalikan sebesar Rp. 750.000. Jadi jika bunga ditotal dalam bentuk uang dalam 7 hari adalah Rp. 250.000. 

Bagaimana jika setelah Japo belum bisa dikembalikan secara utuh hutangnya beserta bunganya? Anda diwajibkan membayar bunganya sebesar Rp. 250.000 per 7 hari. Jika minggu pertama kamu tidak bisa membayar bunga sampai minggu kedua maka minggu ketiga Anda mesti membayar bunga selama 3 minggu sebanyak Rp. 750.000. Belum ditambah hutang pokok. Dan seterusnya.

Untuk duel per-bulan, bunganya ditagih mingguan. Jadi jika Anda meminjam Rp. 1.000.000, setiap minggu Anda diwajibkan membayar bunga Rp. 50.000 sampai minggu ke empat. Lalu dilunasi. Jadi total pengembalian adalah Rp. 1.400.000. Jika belum bisa melunasinya bagaimana? Anda mesti membayar lagi bunganya per-minggu sampai bisa dilunasi secara keseluruhan. Jika dalam sebulan tidak bisa membayar bunga, maka bulan berikutnya Anda mesti membayar juga bunga yang tidak terbayar bulan sebelumnya beserta bulan yang berjalan. Jadi kebanyakan orang yang terlibat duel terjerat pembayaran bunga, entah per-minggu atau per-bulan.

Inilah yang sedang melilit banyak warga. Sampai-sampai ada yang menjual rumah, sampai-sampai ada yang bertengkar di media sosial dengan cara si pemberi hutang membuat viral si penerima hutang, atau dibuat malu di media sosial.

Kenapa juga orang mau meminjam dengan bunga yang sangat tinggi? Bukannya ada koperasi atau bank? Kan terlihat tidak masuk akal dan mau-maunya dieksploitasi?

Memangnya yang masuk akal itu akan menolong dapurmu?! 

Duel menjamin kepraktisan dan cepat saji -- dan kita menghadapi dunia yang inginnya serba instan. Jika ke bank atau koperasi masih banyak tetek-bengek administrasi, lalu tidak juga menjamin akan dicairkan pinjaman. Orang-orang juga semakin bosan dengan rasionalitas birokrasi Weber. Kalau ikut duel, malam ini ke rentenir sekejap itu pula dicairkan.

Ini yang dimaksud makhluk rasional dalam ekonomi. Segala aspek dihitung dalam transaksi, meski menjual resiko yang sangat tinggi. Para spekulan di Wall Street juga begitu. Yang main property juga begitu. Bedanya yang jelata bermodalkan keyakinan besar, kapitalis bermodalkan kapital besar. Persoalan adil atau tidak bukan urusan. Yang penting transaksi telah rasional dalam hitung-hitungan. Ini pula yang dijamin oleh Negara, yaitu pasar berjalan dengan kesepakatan-kesepakatan serta kebebasan dalam berekonomi. Itu yang disebut adil dalam Negara Liberal dan mesti dilindungi secara mutlak tanpa tawar.

Meminjam uang mungkin bukanlah pilihan, namun hanya itu yang tersedia. Dunia lagi kering-keringnya, panen hampir-hampir gagal, beras bisa pecah sejarah, lautan makin kering rezeki. Pekerjaan makin tidak tersedia.

Kenapa orang-orang ingin mengambil resiko sangat tinggi yang sangat jelas ketidakadilan bunganya melebihi suku bunga? Inilah kodrat manusia di bumi, harus bertahan hidup, harus makan. Dalam kondisi terjepit, apapun dihalalkan asal besok masih bisa makan dan bertahan hidup. Saat orang terdesak langkah apa saja bisa diambil kendati resikonya membunuh diri sendiri. Orang lapar tidak perlu diberikan teori eksploitasi atau humanisme jargon, yang dibutuhkan adalah nasi di atas piring serta listrik rumah yang mesti diisi. Persoalan jadi apa setelah nanti akan dipikir belakangan. Asal masalah dapur teratasi dulu hari ini.

Terus kamu mau menyalahkan orang yang lagi tersedak ekonomi dan lapar? Kenapa tidak disalahkan orang yang punya kemewahan lebih? Atau sistem yang menjamin kesenjangan ini?

Ekonomi makin pergi. Ekonomi artinya bagaimana orang bisa survive menggunakan sumber daya alam yang tersedia, atau melalui faktor-faktor produksi yang ada. Tapi yang tersedia hanyalah sistem rente, dari skala internasional antar negara sampai skala desa-desa antar keluarga. Masyarakat tampil dalam situasi natural ala hobbesian: perang satu melawan yang lainnya (bellum omnium contra omnes) yang akan berakhir dengan homo homini lupus.

Bolaang, 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun