Untuk waktu yang cukup lama, kali ini saya pulang kampung naik mobil penumpang jurusan Inobonto-Manado. Biasanya saya memilih naik sepeda motor, jika bukan menumpang teman, pinjam sepeda motor teman. Selain penghematan, naik sepeda motor bisa merasakan langsung perubahan suhu udara serta bangunan. Bisa juga singgah-singgah santai sejenak menunggu matahari larut di pantai.Â
Saya termasuk jarang pulang kampung, kecuali ada urusan sangat mendadak, seperti kepulangan saya kali ini. Memangnya Manado membuat saya betah? Untuk alasan-alasan kenyamanan dan kebahagiaan, Manado tidak memilikinya. Keterpaksaanlah yang membuat pilihan-pilihan untuk bertahan di Manado.
Malam itu, saya dijemput mobil penumpang. Biasanya penumpang mesti ke Pangkalan, namun ada hal yang kadang-kadang membuat para sopir menghindar masuk Pangkalan, karena punya biaya tambahan Pangkalan yang mesti dibayar sopir. Lagian, termasuk saya, banyak penumpang yang malas ke Pangkalan karena butuh biaya angkot lagi untuk ke sana. Makanya para penumpang lebih memilih untuk menelpon Sopir Penumpang dan minta dijemput, tanpa biaya tambahan. Untuk upah mobil penumpang Rp. 85.000. Akan naik sampai seratus lebih jika memasuki lebaran.
Malam itu, awalnya penumpang hanya saya seorang. Saya pun dihajar dengan beberapa pertanyaan, layaknya Sopir Online yang mengejar rating, "Sekolah atau kerja? Kerja di mana?" Pertanyaan ini lumrah, karena orang dari desa dan menetap di Manado jika bukan sekolah pasti kerja. Manado cuma punya ingatan itu: lalu-lalang urusan privilese dan cari uang.
Setengah jam kemudian, penumpang lain dijemput. Berjumlah 3 orang. Dua laki-laki dewasa, satu lagi ibu-ibu. Satu laki-laki dewasa sedang mengikuti pelatihan ASN-P3K. Lelaki satunya lagi tidak tahu sedang apa di Manado karena diamnya minta ampun. Yang meramaikan mobil dengan percakapan malam itu adalah ibu-ibu yang sedang sibuk bertaruh keberuntungan kerja di Manado dengan segala keluhannya dan kerumitan rumah tangganya karena gempuran ekonomi. Malam itu, semua kerumitan dimulai dari ibu-ibu ini. Dia mulai bercerita sepanjang jalan. Tidak tanggung-tanggung, emosi juga dilibatkan dalam keluhannya. Mulai dari empat anak yang mesti dihidupi, suami yang mulai jadi pemabuk sejak ditinggalnya di kampung, perselingkuhan ibu-ibu dan bapak-bapak, sampai hutang-hutang yang melilitnya dan teman-teman sekampungnya. Saya menjadi pendengar yang baik malam itu sebagai orang yang belum merasakan pahitnya menjalani ekonomi rumah tangga sungguhan.
Sopir meladeni dengan sungguh pembicaraan ibu-ibu ini. Kali ini bukan soal rating, tapi memang kelihatannya di juga gelisah. Baginya, segala kerumitan manusia sekarang, mulai dari ekonomi sampai cara menjalani hidup yang kian sengsara adalah buah dari tidak diterapkannya agama secara sungguh-sungguh dalam hidup. "Agama sekarang hanyalah tameng manusia. Bukan sebagai jalan untuk hidup. Akibatnya manusia tetap akan jatuh secara terus-menerus tanpa akhir. Coba lihat orang tua kita di masa lalu? Tentram saja. Kita sekarang, semakin maju, semakin canggih, justru semakin rusak moral kita. Semakin berantakan hidup kita. Inilah maksud orang Barat, yaitu merusak akidah kita."Â Kita semua hanya diam saja seperti sedang mendengar khotbah Jum'at.
Ibu-ibu itu mulai mengganti topik tentang hutang-piutang yang merajalela di desa. Mereka menyebutnya duel. Yaitu satu sistem pinjam-meminjam disertai bunga yang tinggi dengan jatuh tempo yang singkat. Saya tidak tahu kenapa istilahnya duel, tapi dikatakan duel  mungkin karena mereka bertaruh apakah akan terbayar atau tidak dalam waktu dekat dengan jumlah bunga yang tinggi. Kata kakak saya duel artinya kelipatan.
"Oh, rentenir!", saya sambung pelan-pelan percakapan malam itu. "Seperti itulah," sambung Sopir.
Cara kerjanya begini: durasi peminjaman untuk pengembalian hutang, atau jatuh tempo (Japo), beda-beda. Ada yang satu minggu jangka waktu hutang ada juga yang satu bulan. Untuk duel Japo waktu satu minggu (7 hari), jika Anda meminjam Rp. 500.000 maka Japo 7 hari kemudian harus dikembalikan sebesar Rp. 750.000. Jadi jika bunga ditotal dalam bentuk uang dalam 7 hari adalah Rp. 250.000.Â
Bagaimana jika setelah Japo belum bisa dikembalikan secara utuh hutangnya beserta bunganya? Anda diwajibkan membayar bunganya sebesar Rp. 250.000 per 7 hari. Jika minggu pertama kamu tidak bisa membayar bunga sampai minggu kedua maka minggu ketiga Anda mesti membayar bunga selama 3 minggu sebanyak Rp. 750.000. Belum ditambah hutang pokok. Dan seterusnya.
Untuk duel per-bulan, bunganya ditagih mingguan. Jadi jika Anda meminjam Rp. 1.000.000, setiap minggu Anda diwajibkan membayar bunga Rp. 50.000 sampai minggu ke empat. Lalu dilunasi. Jadi total pengembalian adalah Rp. 1.400.000. Jika belum bisa melunasinya bagaimana? Anda mesti membayar lagi bunganya per-minggu sampai bisa dilunasi secara keseluruhan. Jika dalam sebulan tidak bisa membayar bunga, maka bulan berikutnya Anda mesti membayar juga bunga yang tidak terbayar bulan sebelumnya beserta bulan yang berjalan. Jadi kebanyakan orang yang terlibat duel terjerat pembayaran bunga, entah per-minggu atau per-bulan.