Kita bisa menganggap apa yang ditulis oleh Semaoen biasa saja. Tapi protes yang dilontarkan pada masa itu adalah hal yang tidak sanggup dilakukan. Semaoen telah mengajukannya sebagai problem eksistetnsial.
Jika kita menilai dari masa kini, apakah tulisan Semaoen adalah jenis "tulisan feminin" seperti yang disodorkan oleh feminis pascamodern Helene Cixous? Tidak juga. Meski kisah Jiwa yang Tergoda mewakili kemarahan dan kesengsaraan perempuan tapi "tulisan feminin" harus dihasilkan oleh tangan perempuan, karena ketertindasan perempuan adalah pengalaman kebertubuhannya yang khas dan unik. Dari situ dimungkinkan segala pembicaraan.
Sambil menyelesaikan tulisan pendek ini, melalui aplikasi Spotify, saya berulang kali mendengarkan Requiem in D Minor K. 626Â karya komposer hebat Wolfgang Amadeus Mozart. Dengan nada yang bergerak lambat, saya dipanggil hanyut, serasa sedang mengalami penderitaan, namun tidak tahu penderitaan jenis apa.
Kita tahu apa yang diderita oleh orang lain, meski kadang kita tidak paham betul.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H