Subuh-subuh Kadiroen sudah pergi ke Desa Meloko. Suara burung dan kokokan ayam saling balas-balasan pertanda bahwa dunia akan mulai sibuk oleh aktivitas manusia. Dalam perjalanan, Kadiroen bertemu dengan seorang gadis yang sedang berjalan menuju pasar. "Perawakannya sedang. Penampilan dan tingkah lakunya tampak lembut, begitu menarik hati; berwajah cantik dengan rambut hitam mengkilat menambah sempurna kecantikan wajahnya. Wajah yang berkulit kuning bersemu putih serta halus, sehalus sutera layakya. Hidungnya mancung dan indah. Pipinya padat berisi. Dagunya klimis, alis atau keningnya bersemu hitam manis ayu dengan bulu mata yang lebat dan panjang. Dan matanya, O, matanya, begitu elok-tajam, begitu terang."
"Siapakah gerangan orang itu?"
Seorang bujang yang terlalu sibuk melayani rakyat wajar saja jika bertemu dengan gadis elok dan sopan kemudian bertanya-tanya penasaran. "Inilah kodrat Allah," Kadiroen berucap dalam dada. Setelah kunjungannya pagi itu, Kadiroen melihat tidak ada yang aneh. Orang-orang di Desa Meloko bangun pagi dan mulai beraktivitas seperti warga di desa lain. Namun, Kadiroen terus penasaran akan gadis yang bertemu dengannya pagi itu.Â
Kesokan harinya, setelah matahari mulai tinggi, Kadiroen pergi lagi ke Desa Meloko dengan alasan belum ada jawaban apa sebab kemiskinan dan siapa gerangan gadis pagi itu. Tak diduga, Kadiroen kembali bertemu dengannya, hendak baru pulang dari pasar sambil menggendong tas berisi belanjaan dan terlihat berat. Sontak saja, Kadiroen ingin meringankan beban gadis itu dengan cara membantu membawa bawaannya. Tapi dia tidak ingin dibantu.
Biar rasa penasarannya pelan-pelan terkurang, Kadiroen menanyakan namanya. "Ardinah, Tuanku," jawab gadis itu. Kadiroen pun mulai mencari keterangan Desa Meloko. Setelahnya, Kadiroen balik pulang. Di perjalanan dan sampai rumah jiwa Kadiroen serasa kupu-kupu yang baru lepas dari kepompong; terbang tidak karuan. Kadiroen sangat menyukai Ardinah.
Di usia 24 tahun, Kadiroen tidak ingin menikah meski telah dihujani pertanyaan kedua orang tuanya. "Tidak, sebab saya tidak mau terikat dengan perempuan. Saya mau merdeka terus," jawab Kadiroen kepada orang tuanya ketika ditanyai kapan akan menikah. Namun prinsip kemerdekaan yang dipegang olehnya seketika hancur-lebur setelah pertemuannya dengan Ardinah. Prinsipnya dipermainkan oleh perasaan. Awalnya ingin mengetahui kesusahan Desa Meloko malah Kadiroen yang mengalami kesusahan batin.
Ketiga kalinya Kadiroen bertemu dengannya, Ardinah sedang menangis di pinggir jalan. Kadiroen yang begitu mengagumi Ardinah langsung menghampirinya dan bertanya ada apa gerangan menangis di pinggir jalan. "Sebab mau menolong orang lain, tetapi hamba tidak mampu," jawab Ardinah dengan mata yang memerah dan pipi yang masih basah.
Karena tidak enakan dengan Kadiroen, Ardinah menceritakan apa yang membuatnya merasa tidak berdaya dan menangis. Ardinah menceritakan kepada Kadiroen mengenai apa yang dialami Ardinah dan siapa yang ingin dia tolong.
Sewaktu umur 18 tahun ibu Ardinah meninggal. Setelahnya, dia hanya tinggal berdua dengan ayahnya. Mereka tidak mempunyai keluarga lain juga hidup dalam kesusahan. Dia anak tunggal. Karena memiliki paras yang cantik, Ardinah sudah sering dilamar, namun dia menolak. Ayahnya tidak ingin meninggal sebelum melihat anaknya menikah. Lalu ayahnya jatuh sakit.
Setelah beberapa hari sakit, seorang laki-laki datang ke rumah Ardinah. Ia hendak ingin bicara dengan ayah Ardinah empat mata. Lelaki itu adalah seorang lurah di Desa Meloko. Namanya Kromo Nenggolo, seorang yang berpunya. Tujuannya ingin melamar Ardinah. Dan tanpa menanyakan keputusan kepada Ardinah, ayahnya menyetujui lamaran Bapak Lurah. Keesokan harinya Ardinah langsung dipinang.
"Jadi, Ardinah sekarang sudah kawin dan sudah punya suami?"Â