"Ya!" jawab Ardinah kepada Kadiroen.
Kadiroen langsung berwajah pucat. Dunia jadi gelap gulita, seperti dihantam pukulan berat di kepala. Langsung tidak enak badan. Sebenarnya Ardinah juga memiliki rasa yang sama seperti yang dirasakan oleh Kadiroen. Namun Ardinah berusaha menahan perasaannya kepada Kadiroen karena menjaga statusnya.
Kendati sudah menikah, Ardinah tidak suka dikawinkan. Dia takut dengan Kromo Nenggolo. Tapi di satu sisi dia tidak berani melawan ayahnya yang sedang sakit. "Selain itu, sudah adatnya kita bumiputra, seorang gadis harus menurut kemauan orang tua." Kata-kata Ardinah yang tidak lagi punya daya.
"Tapi kodrat Tuhan Allah tidak boleh dilawan dengan adat manusia," sambung Ardinah kepada Kadiroen dengan nada suara sedikit naik. Ini seperti protes bahwa tradisi tidak boleh mengalahkan kodrat.
Setelah ayahnya meninggal, Ardinah dibawa ke rumah suaminya. Ardinah lebih tidak menyukai suaminya ketika tahu bahwa Kromo Nenggolo sudah menikah dan Ardinah hanya dijadikan sebagai selir. Ardinah telah ditipu!
Ardinah memang tidak dilibatkan dalam pembicaraan pernikahannya. Apalagi menanyakan keputusannya mengenai perjodohan. "Perempuan biasanya tidak ditanya pendapatnya lebih dahulu dan hanya dianggap sebagai benda yang tidak kuat dan kuasa,"Â kata Ardinah.
Karena mengetahui lurah telah menikah, Ardinah ingin meminta cerai. Namun perceraian pada masa itu haruslah dimulai oleh laki-laki. Perceraian ini adalah cara untuk membantu istri tua dari Kromo Nenggolo, namun Ardinah tidak punya kuasa.
Setelah mendengar semua cerita Ardinah, Kadiroen pulang ke rumah dengan perasaan dan pikiran yang kacau. Sehabis peristiwa itu, Kadiroen mengambil cuti kerja selama 14 hari untuk pulang ke rumah orang tuanya. Dan mungkin ingin menghibur pikiran yang hancur.
Kisah di Bab II berakhir dengan menyisakan berbagai macam pertanyaan yang belum terjawab. Yang terjawab hanyalah patah hati Kadiroen, seorang lelaki gagah terlihat bisa menyelesaikan segalanya namun takluk di bawah semesta rasa. Serta Ardinah yang mengalami kesengsaraan hidup akibat menjadi seorang perempuan dalam kebudayaan laki-laki.
Tapi jangan dulu berkesimpulan. Kisah mereka akan hadir lagi di Bab selanjutnya. Termasuk romansa yang belum dituntaskan dalam Bab II.
Novel Hikayat Khadiroen ditulisnya semasa di penjara. Di masa itu, kekuatan Islam dipadu dengan tradisi kerajaan membuat perempuan menjadi bunyi yang tidak punya suara. Ketegangan ini yang hadir melalui tidak berdayanya Ardinah menghadapi Islam dan kebudayaan Nusantara.