Mohon tunggu...
fahmi karim
fahmi karim Mohon Tunggu... Teknisi - Suka jalan-jalan

Another world is possible

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Tidurnya Kenyataan

12 Februari 2021   23:42 Diperbarui: 14 Februari 2021   01:35 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bukan main.... Bisa tidak kasi gratis 1 bulan saja? Lagian saya kurang memakai listrik, hanya rice cooker dan kipas angin untuk kebutuhan saya tidur," gumam Asep di balik jendela kamar saat mengintip pesuruh dari PLN mengetok dengan keras pintu rumahnya.

Tinggal sebatang kara di rumah warisan orang tuanya yang telah meninggal. Kira-kira model rumah tahun 1970an. Jika difoto hasilnya seperti arsip sejarah yang baru ditemukan. Rumah dengan tembok yang banyak ditempeli lumut. 

Cat yang tidak lagi jelas antara warna putih atau hijau kehitaman. Seng yang penuh karat dengan rumput di halaman setinggi perut, ada pula yang merayap sampai atap. Di dalam rumah tidak sedikit cahaya matahari yang berhasil menerobos seng sampai lantai.

"Yang penting bisa dipakai berteduh, untuk tidur. Dan itu sejatinya fungsi rumah," yang diulang-ulang Asep ke teman kerja lain ketika mereka mulai menguliti bentuk rumahnya, mengatakan tidak layak huni.

Para tetangga jarang melihat Asep. Kecuali saat dia bekerja. Ia dikenal sebagai seseorang yang ketika bekerja sangat sungguh-sungguh: rajin. Meski jarang bekerja, namun masyarakat sekitar sering memanggilnya untuk bekerja karena alasan demikian, tapi tidak sedikit juga kerja yang ditolaknya. 

Rupa-rupa pikiran masyarakat pada Asep karena dia sangat jarang berinteraksi dengan tetangga sekitar: memelihara tuyul, teroris, gila, anti-sosial, atau orang yang sering ke luar kota. Padahal dia hanya tidur: suatu pencarian kebahagiaan di dunia lain.

Asep hidup dengan realitas kehidupan yang makin timpang, seolah tidak mungkin ada perbaikan kenyataan; selalu tetap. Kesenjangan makin nampak. Belum juga model kehidupan masyarakat yang makin sendiri-sendiri. Ini membuatnya muak menyaksikan kehidupan.

Asep orang yang pintar menilai situasi, minimal dia pernah merasakan kuliah meski memilih berhenti karena keterbatasan ekonomi.

Kenyataan yang menjengkelkan membuatnya mencari suatu pelarian. "Hidup yang sementara ini, yang saya tak tahu apakah akan ada kehidupan setelah ini, mestinya dimanfaatkan dengan baik. Meski ada kehidupan setelah mati, yakin kita akan bahagia di sana? 

Mencari kebahagiaan di dunia nyata itu percuma saja, apalagi orang miskin seperti kita! Berhentilah berharap pada dunia nyata ini. Selain kemarahan dan kecemburuan, tidak ada yang akan kalian peroleh," tegas Asep kepada teman-teman waktu sedang istirahat saat bekerja menggali kubur.

Meski Asep bisa memperoleh kebahagiaan di dunia mimpi sesuai dengan apa yang dia inginkan, namun justru kebahagiaan itulah yang membuatnya makin kecewa dengan dunia nyata, makin terasingkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun