Tidur adalah bagian paling misterius dari hidup ini. Bagaimana tidak, kita tak tahu jam, menit, ataupun detik ke berapa kita tertidur.Â
Tiba-tiba tidak sadarkan diri. Begitu bangun, tiba-tiba saja. Ini bagian yang penuh tanda tanya. Seolah ada keterputusan antara pengetahuan kita akan waktu tidur dengan tidur itu sendiri.
Meski demikian, tidur merupakan cara efektif untuk menunda sementara hasrat akan pencarian kebahagiaan yang tak kunjung tiba, adalah cara untuk sejenak melewati hidup yang payah ini; serupa melakukan skorsing pada kenyataan hidup yang begitu kacau dengan tubuh yang tak berhenti berharap; tubuh juga perlu sejenak tidak melayani tuntutan hidup yang sombong ini.
Memilih untuk tidur tidak sekadar untuk melayani tuntutan tubuh, terutama mata. Tidur bagian dari pelarian akan kenyataan yang menjengkelkan, memuakkan, menghancurkan, menjijikan! Inilah alasan kenapa Asep menghabiskan hari-harinya untuk tidur; mencari sejenis kebahagian dan kepastian harapan, tidak di tanah Nusantara ini, namun di dunia mimpi.
Lelaki berusia 23 tahun, tubuh kurus, tinggi badan 170 cm dengan berat badan 51 kg. Kulit putih-pucat, rambut acakan dan mata yang selalu bengkak, petanda penidur.
Tidak punya pekerjaan tetap. Kerja serabutan, tergantung ada yang memanggil. Meski sebenarnya dia memang muak bekerja. Baginya bekerja hanya untuk kebutuhan makannya, dan sedikit untuk bayar listrik. Asal bisa untuk bertahan selama 3 hari, satu hari bekerja sudah cukup. Sisanya adalah waktu tidur; lebih banyak tidur dibanding bekerja.
"Seandainya manusia tidak butuh makan saya tidak mau susah-susah untuk berpanas-panasan mengeluarkan keringat di bawah terik matahari untuk bekerja. Apalagi upahnya tidak menentu. Lebih bahagia saya tidur." Begitulah yang selalu diulang-ulang Asep. Tubuh memang selalu pasrah pada ruang dan waktu.
Namun apa yang membuat ia ingin selalu tidur padahal kebutuhan hidup dan tuntutan kehidupan mempersyaratkan kerja? -- meski kerja mengambil waktu luang dan waktu tidur yang seharusnya.
Ini dikarenakan ia mampu mendesain mimpinya sebelum tidur. Tinggal dipikirkan: apa yang dipikirkan sebelum tidur adalah apa yang akan dialami dalam tidur; jalan-jalan, pacaran, jadi dermawan, pembunuh, ataupun menghancurkan bumi yang ditinggali oleh tubuh konkretnya. Ia menyadari hal ini, bahwa ia sedang mimpi. Kapan ia terbangun? Saat tubuh konkretnya ingin kencing atau lapar.
"Ah, sial! Tubuh sialan! Padahal sedikit lagi," keluhnya saat perut keroncongan sehingga menganggu mimpinya.
Meski bisa melakukan apa saja dalam mimpi, namun tubuh membatasinya. Tubuh memiliki kebutuhan sendiri yang tidak bisa tidak terpenuhi. Ini di luar kapasitas manusia. Melakukan sugesti seolah-olah tidak lapar akan tetap lapar. Tidak ada yang mampu mengontrolnya. Inilah kendala Asep.
"Bukan main.... Bisa tidak kasi gratis 1 bulan saja? Lagian saya kurang memakai listrik, hanya rice cooker dan kipas angin untuk kebutuhan saya tidur," gumam Asep di balik jendela kamar saat mengintip pesuruh dari PLN mengetok dengan keras pintu rumahnya.
Tinggal sebatang kara di rumah warisan orang tuanya yang telah meninggal. Kira-kira model rumah tahun 1970an. Jika difoto hasilnya seperti arsip sejarah yang baru ditemukan. Rumah dengan tembok yang banyak ditempeli lumut.Â
Cat yang tidak lagi jelas antara warna putih atau hijau kehitaman. Seng yang penuh karat dengan rumput di halaman setinggi perut, ada pula yang merayap sampai atap. Di dalam rumah tidak sedikit cahaya matahari yang berhasil menerobos seng sampai lantai.
"Yang penting bisa dipakai berteduh, untuk tidur. Dan itu sejatinya fungsi rumah," yang diulang-ulang Asep ke teman kerja lain ketika mereka mulai menguliti bentuk rumahnya, mengatakan tidak layak huni.
Para tetangga jarang melihat Asep. Kecuali saat dia bekerja. Ia dikenal sebagai seseorang yang ketika bekerja sangat sungguh-sungguh: rajin. Meski jarang bekerja, namun masyarakat sekitar sering memanggilnya untuk bekerja karena alasan demikian, tapi tidak sedikit juga kerja yang ditolaknya.Â
Rupa-rupa pikiran masyarakat pada Asep karena dia sangat jarang berinteraksi dengan tetangga sekitar: memelihara tuyul, teroris, gila, anti-sosial, atau orang yang sering ke luar kota. Padahal dia hanya tidur: suatu pencarian kebahagiaan di dunia lain.
Asep hidup dengan realitas kehidupan yang makin timpang, seolah tidak mungkin ada perbaikan kenyataan; selalu tetap. Kesenjangan makin nampak. Belum juga model kehidupan masyarakat yang makin sendiri-sendiri. Ini membuatnya muak menyaksikan kehidupan.
Asep orang yang pintar menilai situasi, minimal dia pernah merasakan kuliah meski memilih berhenti karena keterbatasan ekonomi.
Kenyataan yang menjengkelkan membuatnya mencari suatu pelarian. "Hidup yang sementara ini, yang saya tak tahu apakah akan ada kehidupan setelah ini, mestinya dimanfaatkan dengan baik. Meski ada kehidupan setelah mati, yakin kita akan bahagia di sana?Â
Mencari kebahagiaan di dunia nyata itu percuma saja, apalagi orang miskin seperti kita! Berhentilah berharap pada dunia nyata ini. Selain kemarahan dan kecemburuan, tidak ada yang akan kalian peroleh," tegas Asep kepada teman-teman waktu sedang istirahat saat bekerja menggali kubur.
Meski Asep bisa memperoleh kebahagiaan di dunia mimpi sesuai dengan apa yang dia inginkan, namun justru kebahagiaan itulah yang membuatnya makin kecewa dengan dunia nyata, makin terasingkan.
Meski asing dari dunia nyata, ia perlahan memahami apa itu yang nyata: apa benar kehidupan yang konkret benar-benar nyata? Ataukah yang nyata sebenarnya adalah yang tidak nyata? Yaitu kehidupan dalam mimpi?
"Siapa yang menjamin bahwa mimpi itu tidak nyata dan yang nyata itu bukanlah mimpi?" Pertanyaan yang sering diajukan Asep ketika orang-orang mulai mengunjing hidupnya.
"Kamu hanya tidak mampu mengalami hidup ini. Nyatanya kamu tidur. Itu saja," tegas temannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H