Beberapa orang yang masuk Lubang memilih membawa benda yang kiranya memberi kegunaan bertahan hidup. Namun Goreng memilih buku. Buku yang dibawa juga berkelas, karya paling menonjol dalam sastra Spanyol, Don Quixote de la Mancha, karya Miquel de Carvantes Saavedra.Â
Petikan dalam novel ini menjadi kata-kata pamungkas untuk menyambung scene yang mungkin terputus dari imajinasi penonton, terutama bagian-bagian akhir film.
Ambiguitas hasrat yang dimaksud adalah pada momen di ruangan paling bawah, seperti saat Goreng dan Trimagasi di ruangan 171, sangat berharap makanan akan sampai di ruangan mereka.Â
Tentunya ini membutuhkan kepedulian dari tingkat atas. Namun, saat di atas, tidak memperdulikan yang ada di bawah. Justru ikut menghina yang ada di bawah tanpa mengandaikan semua orang yang berada di ruangan akan bergantian posisi di bawah. Tinggal masalah waktu melalui mekanisme Lubang.
Setiap orang dalam ruangan, meskipun dalam satu mekanisme pengelolah, tidak menganggap dirinya bagian dari orang lain dalam 333 ruangan. Menganggap dirinya adalah dirinya sendiri. Ini yang membuat mereka makan sesukanya tanpa sedikit memikirkan menyisakan kepada orang lain.
Sikap tidak adanya 'keugaharian; tahu-diri' (sophrosyne) yang membuat setiap manusia rakus. Ini adalah salah satu dari doktrin "kesatuan keutamaan" (unity of virtues) dalam dialog-dialog Sokretes yang mesti dimiliki setiap manusia bijaksana.
Sekilas film ini alur ceritanya mirip dengan film Snowpiercer, karya sutradara Korea Selatan yang naik daun dengan film Parasite, Bong Joon-Ho, yang menggambarkan ketimpangan kelas dalam gerbong kereta yang memuat spesies manusia terakhir di bumi. Gerbong belakang jangankan makan enak, membayangkan rasa steik saja sudah tidak bisa.Â
Gerbong di depan dipenuhi dengan segala kebutuhan hasrat. Gerbong di belakang makan kecoa yang diolah menjadi sejenis puding protein dan dikonsumsi selama 17 tahun.Â
Dari kondisi ini Curtis (tokoh utama) dan kawan-kawan di kelas gerbong belakang melakukan interupsi dengan kekerasan. Kenapa demikian? Karena kondisi objektiflah yang mendorong itu.
Namum bedanya dengan Snowpiercer, film The Platform tidak menggambarkan solidaritas sebagai langkah konkret dalam perubahan. Yang dilakukan Goreng dan Baharat hanyalah tindakan kekerasan tanpa membangkitkan kesadaran kelas.Â
Di dalam film Snowpiercer mencari jalan untuk pembebasan, namun di film The Platform hanya dua orang yang memikirkan jalan keluar dari mekanisme Lubang. Meskipun juga sama-sama di akhir film open ended.