"Pertanyaannya adalah: kita makan apa?"
"Sudah jelas, sisa-sisa dari yang di atas."
Satu dialog pembuka dalam film The Platform yang menggambarkan inti film: soal makan. Film yang durasinya 94 menit ini membuat saya menyelam pada sisi-sisi gelap kenyataan. Mood saya pun dibuat naik-turun dari awal sampai akhir film.Â
Jika Anda belum nonton, saya sarankan untuk nonton agar lebih mengena. Soalnya, kata guru saya, yang menghubungkan antara seni dan kita adalah pengalaman. Nah, Anda disarankan nonton dulu biar terhubung. Jika sudah nonton, mari kita lanjutkan. Â
Film dari Negeri Matador ini adalah garapan sutradara Galder Gaztelu-Urrutia yang menceritakan mekanisme "penjara vertikal" (Lubang) -- pengelolah menyebutnya sebagai 'Pusat Menejemen Mandiri Vertikal', yang dibintangi oleh Ivan Massaque (Goreng), Zorion Eguileor (Trimagasi), Alexandra Masangkay (Miharu), Antonia San Juan (Imoguiri yang sekaligus bekerja pada pengelolah dan memilih masuk Lubang), serta Emilio Buale Coka (Baharat).
Film ini bergenre horor-thriller. Bisa dibaca dari beragam kacamata. Sesekali bikin tegang, kadang bikin jijik. Penggambaran kompleks: satire, parodi kenyataan, kritik sosial, kerakusan manusia, ambiguitas hasrat, dan seterusnya, dan seterusnya.
Meskipun akhir film ini membuka peluang dan spekulatif tak terarah, namun untuk alurnya, kira-kira, satu penggambaran realitas -- semacam tidak jauh-jauh dari apa yang aku lihat sehari-hari.
Apa yang Diperlihatkan Manusia Dalam Ruangan?
Film ini memberi gambaran perubahan sikap manusia setiap berganti ruangan. Tentunya semakin ke bawah jiwa semakin tertekan dan cenderung menggunakan segala cara untuk bertahan hidup ketika tidak memperoleh hidangan makanan di platform akibat kerakusan orang-orang di atas.Â
Saling memakan adalah konsekuensi terakhir untuk menyambung hidup. Kondisi objektif yang mendorong kesadaran untuk melakukan segala sesuatu.
Bisa dilihat perpindahan sikap Goreng dan Trimagasi dari ruangan 48, dengan persahabatan singkat, dan Goreng dengan tema-tema ideal, berganti sifat saling membunuh dan memakan teman sendiri untuk bertahan hidup di ruangan 171.Â
Goreng menjadi apatis saat berada di ruangan 33 (padahal Imoguiri sedang berusaha memperkuat solidaritas spontan), berpindah ke ruangan 202 dengan kefrustasian tingkat halusinasi, kemudian ke ruangan 6 dan menjalankan misinya untuk mengkondisikan solidaritas spontan demi merusak mekanisme kerja Lubang, sampai ke lantai paling dasar dengan mengirimkan pesan anak kecil (yang selalu dicari oleh Miharu) ke lantai 0.
Beberapa orang yang masuk Lubang memilih membawa benda yang kiranya memberi kegunaan bertahan hidup. Namun Goreng memilih buku. Buku yang dibawa juga berkelas, karya paling menonjol dalam sastra Spanyol, Don Quixote de la Mancha, karya Miquel de Carvantes Saavedra.Â
Petikan dalam novel ini menjadi kata-kata pamungkas untuk menyambung scene yang mungkin terputus dari imajinasi penonton, terutama bagian-bagian akhir film.
Ambiguitas hasrat yang dimaksud adalah pada momen di ruangan paling bawah, seperti saat Goreng dan Trimagasi di ruangan 171, sangat berharap makanan akan sampai di ruangan mereka.Â
Tentunya ini membutuhkan kepedulian dari tingkat atas. Namun, saat di atas, tidak memperdulikan yang ada di bawah. Justru ikut menghina yang ada di bawah tanpa mengandaikan semua orang yang berada di ruangan akan bergantian posisi di bawah. Tinggal masalah waktu melalui mekanisme Lubang.
Setiap orang dalam ruangan, meskipun dalam satu mekanisme pengelolah, tidak menganggap dirinya bagian dari orang lain dalam 333 ruangan. Menganggap dirinya adalah dirinya sendiri. Ini yang membuat mereka makan sesukanya tanpa sedikit memikirkan menyisakan kepada orang lain.
Sikap tidak adanya 'keugaharian; tahu-diri' (sophrosyne) yang membuat setiap manusia rakus. Ini adalah salah satu dari doktrin "kesatuan keutamaan" (unity of virtues) dalam dialog-dialog Sokretes yang mesti dimiliki setiap manusia bijaksana.
Sekilas film ini alur ceritanya mirip dengan film Snowpiercer, karya sutradara Korea Selatan yang naik daun dengan film Parasite, Bong Joon-Ho, yang menggambarkan ketimpangan kelas dalam gerbong kereta yang memuat spesies manusia terakhir di bumi. Gerbong belakang jangankan makan enak, membayangkan rasa steik saja sudah tidak bisa.Â
Gerbong di depan dipenuhi dengan segala kebutuhan hasrat. Gerbong di belakang makan kecoa yang diolah menjadi sejenis puding protein dan dikonsumsi selama 17 tahun.Â
Dari kondisi ini Curtis (tokoh utama) dan kawan-kawan di kelas gerbong belakang melakukan interupsi dengan kekerasan. Kenapa demikian? Karena kondisi objektiflah yang mendorong itu.
Namum bedanya dengan Snowpiercer, film The Platform tidak menggambarkan solidaritas sebagai langkah konkret dalam perubahan. Yang dilakukan Goreng dan Baharat hanyalah tindakan kekerasan tanpa membangkitkan kesadaran kelas.Â
Di dalam film Snowpiercer mencari jalan untuk pembebasan, namun di film The Platform hanya dua orang yang memikirkan jalan keluar dari mekanisme Lubang. Meskipun juga sama-sama di akhir film open ended.
Apa yang Menarik dari Film Ini dengan Konteks Hari Ini?
Tentunya konteks yang saya maksud adalah situasi darurat (state of emergency) penyebaran virus COVID-19.
Dalam film ini, digambarkan segala sisi gelap dari kenyataan jika melihat maksud dari film. Sistem Lubang tidak mengandaikan suatu kebenaran. Mekanisme Lubang tidak membuat manusia mengontrol pola makannya, hanya membiarkan platform berjalan dengan begitu saja mendistribusikan makanan tanpa ada pengawasan ketat.Â
Hasrat manusia terbentuk karena demikian: mekanisme Lubang. Meskipun sebenarnya hasrat manusia itu bisa melakukan interupsi jika mengandaikan, dan pernah berada, di posisi paling bawah. Â
Situasi sekarang dalam pencegahan virus COVID-19 membuat kita menyerahkan sepenuhnya keputusan yang lebih luas pada "negara". Mekanisme negara harus mencakup segala kebutuhan manusia agar tidak seperti keadaan dalam Lubang. Pertimbangan ekonomi dan kesehatan haruslah sejalan.
Banyak yang telah menulis tentang bagaimana dunia menghadapi COVID-19 dan bagaimana membayangkan dunia setelah COVID-19. Dominannya membaca dari pendekatan ekonomi-politik.Â
Saya lebih tertarik dengan tulisan Martin Suryajaya (bisa dilihat di sini). Dia melucuti asumsi-asumsi dasar dari demokrasi yang selama ini kita andaikan begitu saja terberi (given). Yang tersisa dari demokrasi hanyalah "semangat menolak kesewenang-wenangan politik oleh satu golongan atas golongan lainnya."Â
Mengenai hak-hak individu: pengetahuan-diri, kepemilikan-diri, dan pemerintahan-diri, semua runtuh oleh COVID-19. Dia membuat satu model perkawinan antara keadilan ekonomi (sosialisme) dan kebenaran politik (datakrasi), 'sosialisme datakratis', sebagai tawaran untuk membayangkan dunia yang benar setelah COVID-19.
Akhirnya... ada tiga poin yang dapat saya ajukan dalam film ini: pertama, kondisi objektif manusia selalu membentuk kesadarannya; kedua, keutamaan moral: keugaharian; tahu-diri manusia menjadi titik berangkat pengandaian setiap manusia merupakan bagian dari masyarakat.Â
Tulis Plato, "tidak mungkin seseorang menjadi baik sekaligus kaya-raya."; ketiga, suatu mekanisme mestilah dijalankan berdasarkan situasi-situasi objektif dari masyarakat yang hanya bertahan di tahap subsisensi.
"Pria hebat yang kejam akan menjadi contoh bagus, dan pria kaya yang kikir hanya akan jadi pengemis. Karena pemilik kekayaan tidak jadi bahagia dengan memilikinya melainkan dengan memakainya, bukan memakai dengan sesuka hati melainkan memakainya dengan bijak."--- Miquel de Carvantes Saavedra, dalam novel Don Quixote de la Mancha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H