Mohon tunggu...
Alkindus
Alkindus Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - wargabuana (cosmopolitan)

∀x (x ∈ ∅ ⇔ x ≠ x)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Membaca Epistemologi Barat (Kant-Frege) melalui Dalil Burhan dalam Ilmu Mantiq

30 November 2024   09:08 Diperbarui: 2 Desember 2024   16:52 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam ilmu Mantiq pernyataan Masyhûrât berdasarkan lingkup ketenarannya ada yang terkenal di semua kalangan tanpa terkecuali dan ada juga yang terbatas pada kalangan tertentu, misalnya pernyataan seperti, “mustahil terjadinya rantai sebab-akibat yang tak berujung” atau biasa disebut dengan “kemustahilan regresi” (imtinâ‘ al-tasalsul) yang hanya terkenal di kalangan para teolog (mutakallimûn). Selain itu pernyataan Masyhûrât berdasarkan sebab-sebab ketenarannya dibagi kepada enam macam yaitu:

  • al-Wâjibât al-Qabûl (الواجبات القبول): pernyataan Masyhûrât yang ketenarannya disebabkan oleh kejelasan kebenarannya, sehingga semua orang berakal menerima dan mengakuinya. Contohnya adalah perkara-perkara apriori (awwaliyyât), perkara bawaan (fithriyyât), dan sejenisnya. Inilah yang disebut dengan pernyataan Masyhûrât dalam pengertian umum (bi al-ma‘nî al-a‘amma), sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, karena pengakuan terhadapnya bersifat universal.
  • al-Ta’addîbât al-Shalâhiyyah (التأديبات الصلاحيه): pernyataan Masyhûrât yang ketenarannya muncul karena dipandang membawa kemaslahatan umum, seperti keadilan itu baik (hasan) atau kezaliman itu buruk (qabih). Makna dari “keadilan itu baik” adalah pelakunya mendapat perhatian berupa pujian dari orang-orang yang berakal, sebaliknya makna dari “kezaliman itu buruk” adalah pelakunya mendapat perhatian berupa celaan dari mereka. Sementara maksud dari orang-orang berakal yang memuji ataupun mencela adalah, orang-orang yang telah memenuhi akal praktis (al-‘aql al-‘âmilah) sebagai basis bagi tindakan moral dalam membedakan antara perbuatan baik (al-tahsîn) dengan perbuatan buruk (al-taqbîh). Hal ini berbeda dengan pernyataan Masyhûrât al-Wâjibât al-Qabûl yang membasiskan dirinya pada akal teoretis (al-‘aql al-‘âlimah). Demikianlah manusia cenderung bertindak ketika menyaksikan perbuatan baik ataupun buruk menyangkut kemaslahatan umum atau kelangsungan hidup manusia. Pernyataan Masyhûrât dalam hubungannya dengan kemaslahatan umum ataupun kelangsungan hidup manusia tidaklah memiliki realitas lain di luar kesepakatan tersebut.
  • al-Khuluqiyyât (الخلقيات): pernyataan Masyhûrât yang ketenarannya muncul karena sifat dasar (khuluq) manusia. Sifat dasar manusia (khuluq) adalah kebiasaan jiwa yang terbentuk dari pengulangan perbuatan tertentu secara terus-menerus sehingga perbuatan tersebut dapat dilakukan dengan mudah, tanpa merasa terpaksa atau keberatan. Sebagai contoh, kemurahan hati tidak akan menjadi sifat dasar seseorang kecuali ia sering melakukan tindakan memberi tanpa mengharapkan imbalan hingga tindakan itu dilakukan dengan mudah tanpa rasa terpaksa. Pengertian sifat dasar manusia (khuluq) ini berasal dari kesepakatan para ahli Mantiq (manthiqiyyîn) berdasarkan pendapat bahwa tuhan telah menciptakan suatu indra dalam hati manusia sebagai bekal dalam membedakan perbuatan baik dan buruk. Indra itu dapat disebut sebagai hati nurani (al-dhamîr), akal praktis (al-‘aql al-‘amalî), akal lurus (al-‘aql al-mustaqîm), ataupun indra sehat (al-hiss al-salîm). Indra dalam hati manusia ini adalah suara tuhan yang menggema dalam batin ketika menghadapi pelaku kebaikan atau keburukan berbentuk pujian atau celaan.
  • al-Infi‘âliyyât (الانفعاليات): pernyataan Masyhûrât yang ketenarannya diterima oleh masyarakat umum karena dorongan emosional atau perasaan yang bersifat universal, seperti kelembutan hati (al-raqah), kasih sayang (al-rahmah), rasa simpati (al-syafaqah), rasa malu (al-hayâh), keengganan (al-anifah), keberanian (al-hamiyyah), kecemburuan (al-ghîrah), dan lain sebagainya dari berbagai afeksi yang pada umumnya ada dalam diri setiap manusia. Contohnya seperti menyiksa hewan tanpa sebab (al-raqah & al-rahmah), membantu orang lemah (al-rahmah & al-syafaqah), membuka aurat (al-hayâh & al-anifah), membela tanah air (al-hamiyyah & al-ghîrah).
  • al-‘Âdiyyât (العاديات): pernyataan Masyhûrât yang ketenarannya diterima oleh masyarakat umum karena terbentuknya kebiasaan di antara mereka, seperti kebiasaan menghormati tamu dengan berdiri, menjamu tamu dengan keramahtamahan, atau mencium tangan seorang tokoh agama atau raja. Kebiasaan-kebiasaan umum ini sangat beragam. Sebagian mungkin menjadi kebiasaan hanya di satu daerah, wilayah, atau bangsa tertentu, sementara yang lain bisa menjadi kebiasaan di seluruh dunia.
  • al-Istiqrâ’iyyât (الاستقرائيات): pernyataan Masyhûrât yang ketenarannya diterima oleh masyarakat umum berdasarkan pengamatan atau generalisasi yang lengkap (istiqrâ’ al-tâm) atau tak lengkap (istiqrâ’ al-nâqish). Contohnya adalah pernyataan bahwa pengulangan suatu aktivitas tertentu akan menimbulkan kebosanan, atau keyakinan bahwa seorang raja yang miskin pasti akan berlaku zalim. Seringkali, masyarakat umum merasa cukup dengan adanya satu atau beberapa contoh untuk mempercayai suatu pernyataan, asalkan mereka tidak menemukan bukti nyata yang bertentangan dengannya, seperti takhayul masyarakat Eropa terhadap angka 13, takhayul masyarakat Arab terhadap suara burung gagak atau bunyi burung hantu sebagai pertanda kesialan.

Salah satu alasan yang dapat mengeluarkan putusan Mutawâttirât dari Ushûl al-Yaqîniyyât adalah keberatan epistemologi Barat dalam menerima teks-teks keislaman sebagai sumber otoritatif keilmiahan. Karena epistemologi Barat tidak akan begitu saja dapat mengakui epistemologi Bayani (tekstual) yang mengharuskan keimanan sebagai syarat fundamental dalam tradisi keilmuan Islam. Padahal epistemologi Bayani dapat diikuti tanpa bergantung pada teks-teks keagamaan, misalnya seperti dalam ‘ilm al-hadîts, bagaimana hadis mutawattir dengan hadis masyhur itu dibedakan bukan dari segi kualitas (sifat) ingatan ataupun kecerdasan lain para perawinya terhadap teks-teks hadis, melainkan kuantitas (jumlah) orang-orang yang membawa berita dari suatu hadis.

Poin yang menarik dalam pembedaan kedua jenis pernyataan ini adalah kemampuan epistemologi Islam dalam memisahkan putusan Mutawâttirât dari pernyataan Masyhûrât. Putusan Mutawâttirât merupakan putusan Yaqîniyyât yang dihasilkan dari Epistemologi Bayani (tekstual) khas keilmuan Islam, meskipun epistemologi Barat akan menilai bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara putusan Mutawâttirât dengan pernyataan Masyhûrât. Selain itu poin menarik lainnya adalah bagaimana pernyataan terkenal karena kejelasan kebenarannya (al-Masyhûrât al-Wâjibât al-Qabûl) yang berasal dari akal teoretis (al-‘aql al-‘âlimah) dibedakan dari pernyataan terkenal karena dapat membawa kemaslahatan umum serta dapat menggambarkan sifat dasar manusia (al-Masyhûrât al-Ta’addîbât al-Shalâhiyyah) yang berasal dari akal praktis (al-‘aql al-‘âmilah).

Pembedaan antara akal teoretis dengan akal praktis dari epistemologi Islam terutama dalam filsafat Peripatetik (hikmah masysyâ’î) serupa dengan pembedaan antara rasio murni (reinen Vernunft) dengan rasio praktis (praktischen Vernunft) dalam epistemologi Barat (Kant-Frege). Rasio murni mencari syarat-syarat a priori yang dapat memungkinkan pengetahuan, sedangkan rasio praktis berupaya mengembangkan konsep di mana kehendak dapat diasalkan kepada perintah tak-bersyarat atau imperatif kategoris (maxim) dan pada akhirnya dapat digeneralisasi menjadi hukum moral yang berlaku secara universal. Sementara itu dari akal teoretis (al-‘aql al-‘âlimah), epistemologi Islam (masysyâ’î) dapat menunjukkan bagaimana pengetahuan diturunkan dari konsep-konsep apriori (awwalî), sedangkan dari akal praktis (al-‘aql al-‘âmilah), epistemologi Islam (masysyâ’î) dapat menunjukkan kecenderungan yang dapat menggambarkan sifat dasar manusia (khuluq).

Meskipun demikian poin yang problematik dari pembedaan ini adalah perbandingan antara putusan Awwaliyyât yang jelas kebenarannya dapat diterima tanpa memandang golongan sosial manapun, dengan putusan Masyhûrât dalam arti umumnya sebagai pernyataan-pernyataan yang diyakini oleh semua orang berakal secara keseluruhan. Karena perbandingan itu akan merusak perbedaan yang signifikan antara putusan Awwaliyyât dengan putusan Masyhûrât.

V. Al-Mazhnûnât (المظنونات) & Al-Wahmiyyât (الوهميات)

1. Al-Mazhnûnât (المظنونات): diambil dari istilah ‘zhann’ yang dalam bahasa Arab memiliki makna yang lebih luas daripada pengertian para ahli Mantiq (manthiqiyyîn). Dalam konteks ini, istilah ‘zhann’ dapat mengacu pada keyakinan terhadap sesuatu yang tidak tampak (ghâ’ib), yang diperoleh melalui dugaan atau tebakan tanpa pengamatan, dalil, atau bukti. Keyakinan ini dapat berupa;

  • Keyakinan yang pasti dan sesuai dengan kenyataan tetapi tidak didasarkan pada penyebab yang jelas, seperti keyakinan yang timbul karena mengikuti orang lain secara taklid (tanpa pendirian yang jelas).
  • Keyakinan yang pasti tetapi tidak sesuai dengan kenyataan, yang disebut sebagai kebodohan bertingkat (jahl murakkab).
  • Keyakinan yang tidak pasti, yaitu keyakinan yang mengunggulkan salah satu sisi dari sebuah proposisi (positif atau negatif), tetapi tetap memungkinkan sisi sebaliknya. Makna inilah yang disebut sebagai zhann dalam pengertian khusus menurut para ahli Mantiq (manthiqiyyîn), yang berlawanan dengan keyakinan (yaqîn) dalam pengertian umum.

Dari makna yang ketiga itu para ahli Mantiq mengartikan pernyataan Mazhnûnât sebagai pernyataan-pernyataan bersifat dugaan (al-zhann) yang diyakini lebih sering benar dengan tetap memungkinkan sisi kebalikannya, seperti seseorang yang memegang senjata diduga memiliki niat buruk, seorang pengangguran yang diduga memiliki tabiat jelek, seseorang yang memiliki cacat pada salah satu anggota tubuhnya tergolong kepada inferioritas.

2. Al-Wahmiyyât (الوهميات): pernyataan bersifat estimatif (al-wahm) yang menyalahi putusan awwalî sehingga dapat menghalangi jiwa dari realitas yang berlawanan atau sebaliknya. Pernyataan Wahmiyyât oleh para ahli Mantiq (manthiqiyyîn) juga dapat disebut sebagai pernyataan ilusif atau imajinatif (khayâlî), seperti orang yang meninggal itu menakutkan, kegelapan itu mengerikan, siklus bulan dibayangkan dalam bentuk geometris tertentu, setiap wujud memiliki ruang, dan alam semesta berakhir dalam ruang hampa. Pernyataan-pernyataan seperti ini dipahami oleh para ahli Mantiq sebagai pernyataan yang dapat menghalangi atau bahkan mengecoh jiwa dari wujud yang sebenarnya dari realitas. Karena nilai-kebenaran dari putusan awwalî yang dapat diterima oleh seluruh manusia tanpa pandang golongan sosial manapun, dapat disesatkan dengan pengandaian ilusif (khayâlî) yang berasal dari pernyataan Wahmiyyât.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam epistemologi Barat (Kant-Frege), kedudukan objek-objek spasial seperti ‘titik’ yang mencerminkan bentuk-bentuk geometris tidak lebih rendah daripada objek-objek temporal seperti ‘bilangan’ yang mencerminkan urutan aritmetis. Keduanya merupakan besaran ekstensif tak hingga yang dapat menjalankan penalaran terhadap putusan-putusan awwalî yang tercermin di dalam kategori intelek (al-Ma‘qûlât). Karena bagi epistemologi Barat (Kant-Frege), putusan awwalî itu sendiri bukanlah apa-apa (kosong) tanpa ketetapan (titik dan bilangan) sebagai besaran ekstensif yang berasal dari ruang-waktu intuitif (hadsiy). Maka dari itu putusan-putusan intuitif (hadsiyyât) sangat dekat dengan putusan-putusan bawaan (fithriyyât) dalam hal memuat perantara (hadd al-awsath) seperti dalam deduksi tersirat (qiyâs khâfy) sehingga tingkat kebenarannya dapat diterima oleh seluruh umat manusia. Namun yang dicontohkan epistemologi Islam (masysyâ’î) dalam putusan fithriyyât hanyalah putusan aritmetis (bilangan & himpunan) yang mengandung silogisme tersembunyi (qiyâs khâfy) dari putusan apriori kuantitatif (awwalî kammiyyah) berupa, “keseluruhan lebih besar daripada sebagian”. Sementara putusan geometris (titik, garis, bidang) terlempar ke dalam golongan pernyataan ilusif (wahmiyyât) yang dapat menyalahi kebenaran yang berasal dari putusan apriori kuantitatif.

Selain itu intuisi kuat berupa kejeniusan (al-hads) yang dicontohkan oleh para ahli Mantiq seperti pernyataan yang diciptakan para saintis, dalam epistemologi Barat (Kant-Frege) dapat digambarkan seperti penghubung formal antara representasi mental (al-Awwaliyyât) dengan referensi materialnya (al-Masyhûdât). Misalnya mustahil – menjustifikasi pernyataan seperti “cahaya bulan berasal dari cahaya matahari”, “bumi berputar pada porosnya (rotasi)”, “planet-planet termasuk bumi mengelilingi matahari (revolusi)”, dan bahkan “bintang-bintang mengelilingi pusat galaksi”, – tanpa memperhitungkan besaran ekstensif (titik dan bilangan) yang disediakan oleh ruang dan waktu intuitif dalam memastikan ketetapan yang dihasilkan dari pengamatan berulang (al-tajribî) terhadap benda-benda langit. Karena itu putusan-putusan seperti, “setiap wujud memiliki ruang” atau “alam semesta berakhir dalam ruang hampa” tidaklah setara (senilai) dengan pernyataan ilusif (wahmiy) seperti, “ketakutan terhadap kematian dan kegelapan” atau “kemenangan yang diperebutkan dalam suatu pertandingan”. Karena wujûd dan ‘adam bukanlah apa-apa (kategori kosong) jika tidak dihubungkan dengan titik (ruang) dan bilangan (waktu) sebagai besaran ekstensif yang dapat memastikan hubungan antara representasi mental dengan referensi materialnya. Justru dalam epistemologi Barat (Kant-Frege), mengasosiasikan kategori wujûd dengan konsepsi atau kategori sekunder (ma‘qûl al-tsâny) lainnya seperti sebab (‘illah), tunggal (wahdah), dan bahkan niscaya (wâjib) sekalipun, tanpa keterlibatan ruang-waktu intuitif (hadsiy) itulah yang imajinatif (takhayyul).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun