Pm) “Segitiga” merupakan “bagian dari sisi tegak bangun ruang (tiga dimensi) yang disebut limas”
PM) Dan setiap “bagian dari sisi tegak bangun ruang (tiga dimensi) yang disebut limas” adalah “bangun datar (dua dimensi) yang mengandung tiga sudut”
K) Oleh karena itu, “segitiga” adalah “bangun datar (dua dimensi) yang mengandung tiga sudut”
Premis kedua adalah premis mayor (muqaddimah kubra) yang secara awwalî (a priori: mendahului pengalaman) telah menyediakan penalaran bagi silogisme tersirat di dalam putusan fithrî (innātus: bawaan) seperti yang telah dicontohkan sebelumnya. Misalnya, setiap “bilangan yang dapat dibagi kepada dua bagian yang sama” adalah “bilangan genap” atau “sisi tegak limas” mengandung “bangun datar tiga sudut” dibenarkan melalui putusan awwalî berupa, “keseluruhan lebih besar daripada sebagian (Kammiyyah)”. Keseluruhan yang dimaksud lebih besar itu adalah “bilangan genap” atau “limas”, dan sebagian yang dimaksud lebih kecil itu adalah “empat, enam, delapan, sepuluh,... dll” atau “tetrahedron, pentahedron, oktahedron, ikosahedron... dll”.
Sebetulnya dalam ilmu Mantiq tidak dijelaskan bagaimana hubungan antara putusan awwalî dengan putusan fithrî. Dalam uraian ini hubungan itu dijelaskan dalam rangka memenuhi tuntutan dari epistemologi Kant-Frege, yaitu bagaimana silogisme tersirat (qiyâs khâfy) itu mungkin di dalam putusan fithrî. Apa yang mensyaratkan terjadinya silogisme tersirat di dalam putusan fithrî sehingga dapat membedakannya dari putusan awwalî? Penisbatan itu diterangkan demikian bahwa putusan fithriyyât dimungkinkan oleh putusan awwaliyyât sebagai syarat a priori bagi pengetahuan Yaqîniyyât. Oleh karena itu tanpa putusan awwalî, putusan fithrî tidaklah mungkin.
II. Al-Musyâhadât (المشاهدات) & Al-Mahsûsât (المحسوسات)
1. Al-Musyâhadât (Bâthinî/Wujdâniyyât: المشاهدات): putusan-putusan yang referensinya dapat dipastikan kebenarannya oleh akal melalui indra batin (al-wijdân), namun tidak cukup hanya dengan membayangkan kedua sisi pernyataan beserta hubungan di antara keduanya, seperti mengetahui bahwa kita mempunyai pikiran, ketakutan, kesakitan, kesenangan, lapar, dan haus.
2. Al-Mahsûsât (Zhâhirî/Hissiyyât: المحسوسات): putusan-putusan yang referensinya dapat dipastikan kebenarannya oleh akal melalui indra lahir (al-hiss), namun tidak cukup hanya dengan membayangkan kedua sisi pernyataan beserta hubungan di antara keduanya, seperti ‘matahari’ ‘yang cerah’ (warna), ‘api’ ‘yang panas’ (raba), ‘buah’ ‘yang manis’ (rasa), ‘bunga mawar’ ‘yang harum baunya’ (aroma), ‘nyanyian’ ‘yang merdu’ (suara).
Putusan yang dicontohkan dalam kedua prinsip Yaqîniyyât ini mengandung konsepsi primer (Ma‘qûl al-Awwal). Konsepsi Primer merupakan konsepsi yang terjadi pada tingkat mental akan tetapi sumber dan objeknya bersifat eksternal. Dalam epistemologi Kant-Frege, kita mengenal sensasi (empfindung) sebagai persepsi yang sangat bergantung pada modifikasi subjek dalam mempersepsi (sinnlichkeit). Sensasi yang terjadi pada subjek memiliki besaran intensif (intensive Grösse) sebagai derajat kualitatif yang hanya dapat diakses secara privat. Karena itu dalam epistemologi Kant-Frege, sensasi bukanlah bagian dari kognisi sebagai persepsi yang dapat memungkinkan pengalaman objektif (erfahrung). Sementara itu proses kognitif hanya terjadi secara intuitif dan diskursif yang dapat diakses secara publik. Meskipun intuisi (forma) dan sensasi (materi) sama-sama berkontribusi dalam kemungkinan terjadinya penampakan (erscheinungen), sensasi itu sendiri telah keluar dari proses kognitif, karena penampakan itu sendiri adalah objek tak tentu (der unbestimmte Gegenstand) dari suatu intuisi empiris dan empiris yang dimaksud merupakan intuisi yang berhubungan dengan objek melalui sensasi. Misalnya ‘merah’ sebagai sensasi yang diwujudkan oleh penglihatan. Secara indrawi, objek yang dimaksud tidak dapat ditentukan kualitasnya secara publik, karena pencerapan (sinnlichkeit) itu sendiri bergantung pada bagaimana individu memodifikasinya secara subjektif, bukan bagaimana masyarakat menyepakatinya secara intersubjektif, dan bukan pula bergantung pada bagaimana suatu substansi memunculkan sendiri sifatnya (aksidensi) secara objektif sehingga ini bukan lagi ranahnya persepsi subjektif (sensasi).
Bahkan kognisi bukanlah satu-satunya gejala jiwa, mungkin sensasi dapat dimasukkan ke dalam gejala jiwa yang lain seperti afeksi. Namun uraian ini bukan tempatnya membahas gejala jiwa yang merupakan bidang kajian psikologi. Jadi dalam epistemologi Kant-Frege, Konsepsi (begriff) merupakan representasi (vorstellung) yang lebih kompleks daripada sensasi (empfindung). Walaupun istilah ‘ma‘qûl’ itu sendiri diartikan dalam epistemologi Burhânî sebagai apapun yang dapat ‘dikatakan’ atau ‘diberlakukan’ kepada segala sesuatu yang berwujud di alam semesta, wujud yang dapat diakses secara publik haruslah dibedakan dari wujud yang hanya dapat diakses secara privat. Karena itu apapun yang ditangkap oleh sensasi tidaklah dapat disebut sebagai konsepsi (ma‘qûl) sehingga tidak ada putusan logis (urteil) yang semata-mata hanya dihasilkan dari sensasi.
III. Al-Mujarrabât (المجربات) & Al-Hadsiyyât (الحدسيات)