1. Al-Mujarrabât (المجربات): putusan-putusan yang referensinya selain butuh kepada gambaran kedua sisi dan hubungan di antara keduanya, juga membutuhkan pengalaman yang terjadi secara berulang-ulang (al-tajribî) sehingga kebenarannya dapat dipastikan oleh akal melalui argumen yang cukup (qiyâs khâfy), seperti setiap benda akan memuai jika dipanaskan, setiap benda akan menyusut jika didinginkan, dan setiap akibat memiliki sebab yang tidak mungkin terpisah.
Permisalan terakhir yang dapat berbunyi, “setiap ada sebab pasti ada akibat” merupakan pembalikan dari putusan awwalî al-‘illiyyah berupa, “segala akibat butuh kepada sebab”. Namun epistemologi Barat cenderung dengan permisalan yang terakhir ini, “setiap akibat memiliki sebab yang tidak mungkin terpisah” sebagai putusan awwalî al-‘illiyyah daripada putusan, “segala akibat butuh kepada sebab” yang masih memungkinkan sebab (transenden) dapat terpisah daripada akibatnya (imanen). Dalam epistemologi Barat (Kant-Frege), sebab-akibat merupakan dua hal yang tak mungkin dipisah (a priori) sebagai kategori intelek (verstand) dalam membicarakan objek-objek indrawi yang terpisah secara maknawi (synthetic).
2. Al-Hadsiyyât (الحدسيات): putusan-putusan yang referensinya dipastikan kebenarannya oleh akal melalui perantara intuisi yang kuat (al-hads), seperti bulan memancarkan cahaya yang berasal dari cahaya matahari, bumi berbentuk bulat, planet-planet mengelilingi matahari dan daya tarik matahari terhadap mereka, sesuatu yang berubah (habis) itu baharu (hadîts), sesuatu yang tetap (awet) itu dahulu (qadîm). Intuisi (hadsiyyât) berjalan sejalan dengan eksperimen (tajribiyyât) dalam dua hal yang telah disebutkan, yaitu pengulangan pengamatan dan adanya argumen yang cukup (qiyâs khâfy). Perbandingannya adalah demikian bahwa, intuisi dapat mengetahui hakikat dari penyebab, sementara eksperimen hanya dapat mengetahui penyebab sebagai sebab itu sendiri.
Putusan yang dicontohkan dalam kedua prinsip Yaqîniyyât ini termasuk ke dalam pengalaman (al-tajribî atau erfahrung) dan intuisi (al-hads atau anschauung). Sebetulnya dalam ilmu Mantiq, istilah ‘al-hads’ itu sendiri lebih diartikan sebagai insting atau naluri daripada intuisi. Karena mengingat bahwa intuisi telah mendapat padanannya sebagai pengetahuan hudhuri atau esoteris (‘irfân atau gnosis). Namun dalam uraian berikut ini al-hads akan diartikan sebagai intuisi (persepsi langsung) untuk mendekati pengertian epistemologi Barat (Kant-Frege).
Dalam epistemologi Kant-Frege, intuisi merupakan kognisi langsung yang memastikan hubungan formal (ruang-waktu) antara representasi mental (kategori) dengan referensi material-nya (fenomena). Karena itu intuisi (anschauung) merupakan bagian dari pengalaman objektif (erfahrung) selain konsepsi (begriff). Sementara dalam epistemologi Islam, putusan Mujarrabât dihasilkan dari pengalaman berulang-ulang (al-tajribî) atas persepsi inderawi yang dapat dipastikan ketetapannya oleh akal. Karena itu hubungan antara putusan intuitif (al-Hadsiyyât) dengan putusan eksperimental (al-Mujarrabât) ini adalah demikian bahwa, objek dari pengalaman berulang yang ditangkap dengan putusan eksperimental, ditetapkan oleh putusan intuitif yang menyediakan forma bagi penampakan (erscheinungen), seperti titik di dalam Geometri ataupun bilangan di dalam Aritmetika sebagai ketetapannya. Karena titik-titik yang dikaji di dalam Geometri merupakan besaran ekstensif yang tak hingga dari ruang, sementara bilangan-bilangan yang dikaji di dalam Aritmetika merupakan besaran ekstensif yang tak hingga dari waktu.
Ruang (titik dalam Geometri) dan waktu (bilangan dalam Aritmetika) bukanlah abstraksi yang diperoleh dari hubungan antara tempat yang satu dengan tempat yang lain atau hubungan antara dahulu dengan kemudian dan bukan pula representasi mental yang terkandung di dalam jiwa (ma‘qûl awwal/tsâny), melainkan kognisi langsung yang disediakan oleh intuisi secara a priori (mendahului pengalaman) dalam memastikan bahwa konsep-konsep apriori (awwalî) yang terkandung di dalam jiwa sebagai representasi mental (vorstellung) itu dapat meresapi seluruh referensi materialnya (erscheinung) secara indrawi (hiss & wijdân). Karena itu pengetahuan apriori (awwalî) yang masing-masing dari permisalannya mencerminkan kategori intelek (al-Ma‘qûlât), sangat bergantung kepada pengetahuan intuitif (hadsiy) yang diperoleh melalui ruang-waktu untuk dapat disebut sebagai bentuk atau konsep (tashawwur) sehingga membedakannya dari imaji (takhayyul) yang dapat menyimpang dari realitas.
Tanpa titik dan bilangan intuitif, kategori (bestehenheit/al-Ma‘qûlât) dan fenomena (existierenheit/al-Mawjûdât) tidak dapat dipastikan hubungannya. Karena kategori atau skema (schematismus) sebagai representasi mental itu sendiri, yang tidak dapat dipastikan hubungannya dengan fenomena sebagai referensi materialnya tidaklah memiliki realitas (gegebenheit/al-Ma‘dûmât). Seperti ungkapan terkenal (masyhûrât) dari Epistemologi Kant-Frege, bahwa konsep apriori (Awwaliyyât) tanpa intuisi (Hadsiyyât) itu kosong sebagaimana intuisi (Hadsiyyât) tanpa konsep apriori (Awwaliyyât) itu buta. Dengan demikian titik dalam ruang dan bilangan dalam waktu yang masing-masing memiliki besaran ekstensif (extensive Grössen) tak hingga itu berperan secara krusial dalam menentukan keilmiahan dari sains.
Demikianlah sains modern terjadi, pengalaman yang terjadi berulang-ulang (al-tajribî) hanyalah justifikasi atas klaim-klaim yang telah diturunkan dari konsep-konsep awwalî melalui ruang-waktu (raum-zeit) yang tersedia secara intuitif (hadsiy). Tanpa melalui ruang-waktu yang tersedia secara intuitif (hadsiy), konsep-konsep awwalî bukanlah apa-apa (kosong). Sementara putusan intuitif (al-Hadsiyyât) itu sendiri dekat dengan putusan fithriyyât yang mengandung deduksi tersirat (qiyâs khâfy) sehingga tingkat kebenaran dari pengetahuan ilmiah ini dapat menembus batas-batas kelompok sosial tertentu (suku, ras, agama, budaya).
IV. Al-Mutawâttirât (المتواترات) () & Al-Masyhûrât (المشهورات)
1. Al-Mutawâttirât (المتواترات): pernyataan-pernyataan yang membuat jiwa merasa tenang dengan ketenangan yang menghilangkan keraguan dan menghasilkan keyakinan mutlak. Hal ini diperoleh melalui berita dari sekelompok orang yang mustahil bersepakat untuk berbohong dan mustahil pula secara kebetulan mereka salah dalam memahami suatu peristiwa (al-tawâtur), seperti keyakinan kita tentang keberadaan kota-kota jauh yang belum pernah kita saksikan (kota al-Quds di Palestina), tentang keberadaan beberapa bangsa terdahulu atau tokoh-tokoh tertentu (suku Quraisy di Hijaz dan Abu Bakar adalah khalifah pertama kaum Muslim), dan bahkan berita-berita seperti Muhammad ibn ‘Abd-llâh al-Amîn menerima wahyu dan mengaku sebagai nabi.
2. Al-Masyhûrât (المشهورات): pernyataan-pernyataan yang telah terkenal di kalangan manusia (al-masyhûr) dan keyakinan terhadapnya tersebar luas di antara semua orang berakal; mayoritas mereka, atau kelompok tertentu saja. Pernyataan ini memiliki dua makna (bukan pembagian kategori);
- Al-Masyhûrât dalam arti umum: pernyataan-pernyataan yang diyakini oleh semua orang berakal secara keseluruhan, meskipun alasan yang mendorong keyakinan terhadapnya adalah sifatnya yang awwalî (apriori) dan bersifat dharûrî (harus) dalam dirinya sendiri, serta memiliki realitas di luar kesepakatan pandangan atasnya. Pernyataan ini mencakup al-Masyhûrât dalam arti khusus (yang akan dijelaskan berikutnya), dan mencakup pula jenis putusan seperti al-Awwaliyyât dan al-Fithriyyât, yang termasuk dalam kategori proposisi Yaqîniyyât Badîhiyyah (keyakinan yang bersifat aksiomatis). Oleh karena itu sebuah pernyataan seperti “Keseluruhan lebih besar daripada sebagian”, di satu sisi dapat termasuk dalam kategori al-Yaqîniyyât (putusan yang meyakinkan), dan di sisi lain dapat pula termasuk dalam kategori al-Masyhûrât (proposisi yang terkenal).
- Al-Masyhûrât dalam arti khusus: pernyataan-pernyataan yang diyakini oleh semua orang berakal karena alasan-alasan psikis sehingga tidak mesti menceritakan realitas yang sebenarnya. Pernyataan jenis ini lebih layak disebut sebagai “konvensional (masyhûr)” secara murni karena mencakup pernyataan-pernyataan yang satu-satunya alasan diterimanya adalah kepopuleran dan pengakuan umum atasnya, seperti keadilan itu baik, kezaliman itu buruk, wajib membela kehormatan, menyiksa binatang tanpa tujuan itu tercela. Berdasarkan hal ini, perbedaan antara al-Masyhûrât (pernyataan terkenal) dan al-Yaqîniyyât (pernyataan meyakinkan), meskipun keduanya menghasilkan keyakinan yang tegas, terletak pada kriteria yang digunakan:
- Pada pernyataan al-Yaqîniyyât, kriteria utamanya adalah kesesuaiannya dengan kenyataan dan keadaan sebenarnya, yang disebut sebagai kebenaran dan kepastian.
- Pada pernyataan al-Masyhûrât, kriteria utamanya adalah kesesuaiannya dengan kesepakatan pandangan umum, karena proposisi ini tidak memiliki realitas yang lain selain itu.