Mohon tunggu...
فظوسف
فظوسف Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - wargabuana (cosmopolitan)

∀x (x ∈ ∅ ⇔ x ≠ x)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Membaca Epistemologi Barat (Kant-Frege) melalui Dalil Burhan dalam Ilmu Mantiq

30 November 2024   09:08 Diperbarui: 31 Desember 2024   06:32 652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Justified True Believe (Sumber: https://www.learnreligions.com/what-is-epistemology-250526)

1. Al-Awwaliyyât (الأوليات): putusan-putusan yang referensinya dapat dipastikan kebenarannya oleh akal, cukup hanya dengan membayangkan makna dari kedua bagiannya (maudhû‘-mahmûl dalam qadhiyyah hamliyyah atau muqaddam-tâlî dalam qadhiyyah syarthiyyah) secara konseptual (tashawwurât). Karena itu nilai-kebenaran dari putusan awwalî dapat dicerna tanpa memerlukan perantara term tengah (hadd al-awsath) seperti dalam silogisme (qiyâs). Contoh putusan-putusan awwalî berikut ini akan disajikan seperti cara Kant dalam mengorganisir kategori-kategori Intelek (verstand), yaitu berdasarkan kemungkinannya dibentuk dari macam-macam putusan dalam logika Aristotelian dengan tetap tidak menyimpang dari permisalan yang disediakan dalam ilmu Mantiq;

a. “Keseluruhan lebih besar daripada sebagian” [Maqûlât al-Kammiyyah: kulliyyah (al-kâmilah), juz’iyyah (al-katsrah), syakhshiyyah (al-wahdah)]

b. “Dua hal yang bertentangan tidak dapat saling terhimpun” [Maqûlât al-Kayfiyyah: mûjibah (al-Itsbât), sâlibah (al-Nafî), muhmalah (al-mutanâhî)]

c. “setiap sifat inheren di dalam zat” [Maqûlât al-Idhâfah: al-Mâhiyyah (hamliyyah: al-jawhar wa al-‘aradh)]

d. “setiap akibat butuh kepada sebab” [Maqûlât al-Idhâfah: al-‘Illiyyah (syarthiyyah muttashilah: al-‘illah wa al-ma‘lûl)]

e. “Sesuatu adalah suatu hal atau hal lain” [Maqûlât al-Idhâfah: al-Tafâ‘ul (syarthiyyah munfashilah: al-fâ‘il wa al-maf‘ûl)]

f. “setiap asal hanya dapat memperkirakan hasilnya” [Maqûlât al-Muwajjahât: al-Ihtimâliyyah (qadhiyyah musykilah: al-imkân wa al-imtinâ‘)]

g. “Keberadaan tidak mungkin berasal dari ketiadaan”, “sesuatu adalah dirinya sendiri” [Maqûlât al-Muwajjahât: al-Dzâtiyyah (qadhiyyah haqîqah: al-wujûd wa al-‘adam)]

h. “segala sesuatu yang baharu ada yang mengadakan” [Maqûlât al-Muwajjahât: al-Lâzimiyyah (qadhiyyah dharûrah: al-wujûb wa al-shudfah)]

Putusan pada permisalan yang pertama (al-Kammiyyah), kedua (al-Kayfiyyah), keenam (al-Ihtimâliyyah) dan kedelapan (al-Lâzimiyyah) termasuk ke dalam kategori sekunder logika (Ma‘qûl al-Tsâny Manthiqî) sementara putusan pada permisalan yang ketiga (al-Mâhiyyah), keempat (al-‘Illiyyah), kelima (al-Tafâ‘ul), dan ketujuh (al-Dzâtiyyah) termasuk ke dalam kategori sekunder filsafat (Ma‘qûl al-Tsâny Falsafî). Keduanya merupakan konsepsi yang terjadi pada mental dan bersumber dari mental itu sendiri (a priori). Namun dalam ilmu Mantiq, kuiditas (al-Mâhiyyah) yang terdiri dari substansi (jawhar) dan aksidensi (‘aradh) tidaklah termasuk dalam konsepsi yang terjadi pada mental dan bersumber dari mental itu sendiri (ma‘qûl al-tsânawî), melainkan konsepsi yang tetap terjadi pada tingkat mental meskipun sumber dan objeknya bersifat eksternal (ma‘qûl al-awwalî). Karena masing-masing dari substansi dan aksidensi memainkan peran dalam penyusunan lima predikabel (kulliyyah al-khamsah) yang terdiri dari spesies (nau‘), genus (jins), diferensial (fashl), umum (‘âm), dan khusus (khâsh) melalui suatu putusan kategoris (hamliyyah) sehingga predikasinya terarah pada objek eksternal/material (wujûd khâriji), meskipun konstruksinya hanya terjadi secara internal/mental (wujûd dzihnî).

Bahkan dalam ilmu Mantiq juga dikatakan bahwa aksidensi (‘aradh) tidak dapat disebut sebagai esensi (al-Mâhiyyah), karena aksidensi tidaklah termasuk dalam genus-genus superior (al-Ajnâs al-‘Ulyâ) sehingga bukan pula bagian dari kategori primer (ma‘qûl al-awwalî) layaknya substansi (jawhar) yang sumber dan objeknya bersifat eksternal/material. Misalnya seperti makna “yang berjalan” (mâsyin) dapat menjadi aksiden posisi (wadh‘) jika diberlakukan pada spesies “manusia” dari seluruh individunya seperti, “manusia adalah hewan yang berjalan”. Dalam pengertian itu, makna “yang berjalan” tidak dapat menjadi esensi bagi spesiesnya karena manusia bukanlah satu-satunya spesies “yang berjalan”. Selain itu “yang berjalan” (mâsyin) dapat pula menjadi properti (khâsshah) jika diberlakukan pada genus “hewan” dari seluruh spesiesnya seperti, “hewan adalah tubuh yang berjalan”. Dalam pengertian itu, makna “yang berjalan” menjadi properti atau kekhususan bagi hewan selama tidak ada kemungkinan lain bagi tubuh yang berjalan dalam pengertian biologisnya selain hewan. Karena itu baik aksiden (umum) maupun properti (khusus), keduanya bukanlah esensi yang merupakan pembeda (fashl) bagi spesies-spesies tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun