Immanuel Kant (1724–1804) adalah seorang filsuf berkebangsaan Prussia-Jerman yang dianggap sebagai salah satu pemikir paling berpengaruh dalam sejarah filsafat Barat. Kant dikenal luas atas karyanya dalam bidang epistemologi (teori pengetahuan), etika, dan metafisika. Karya-karya Kant memberikan pengaruh besar pada perkembangan filsafat modern, dan pemikirannya membantu menjembatani perdebatan antara rasionalisme dan empirisisme pada masanya.
Proyek utama dari Filsafat Kant adalah di satu sisi dapat disebut sebagai “Idealisme Transendental” yang menyelidiki kemungkinan atau syarat-syarat yang dapat memungkinkan pengetahuan, dan di sisi lain dapat disebut sebagai “Realisme Empiris” yang merupakan hasil dari penyelidikannya terhadap syarat-syarat a priori pengetahuan. Proyek filsafat ini merupakan respon terhadap perselisihan filosofis antara rasionalisme yang mendasarkan kebenaran pengetahuan kepada ide bawaan (innate ideas), dengan empirisisme yang selalu menyangkal kaum rasionalis bahwa ide bawaan yang selalu diagung-agungkannya itu hanyalah proyeksi mental (imajinasi atau complex ideas) yang harus dilacak kenyataannya dalam gagasan sederhana (simple ideas) dari kesan-kesan sederhana (simple impressions). Karena itu Kant menyebut kaum rasionalis sebagai kaum yang dogmatis, sementara kaum empirisis sebagai kaum yang skeptis.
Uraian ini melibatkan improvisasi penulis dalam hal pengertian dan permisalan untuk mendekati apa yang dimaksud Kant dengan syarat a priori pengetahuan dan sebagainya. Barangkali tidak ada kesepakatan mutlak di antara para sarjana Kantian mengenai apa yang dimaksudkan Kant dalam karya-karya-nya. Karena itu untuk menghindari perselisihan yang tidak perlu, pandangan sarjana Kantian tidaklah dimasukkan ke dalam uraian ini. Berikut adalah uraiannya;
I. Idealisme Transendental
Dalam Idealisme Transendental Kant menyelidiki syarat-syarat yang mungkin bagi pengetahuan. Penyelidikan ini dilakukan dengan membedah representasi (Vorstellung) yang tersusun secara a priori di dalam struktur kognitif. Kant menyebut seluruh struktur kognitif ini sebagai Transcendental (bukan transcendence) yang tidak terlalu melibatkan objek dalam penyelidikannya melainkan “syarat a priori” atas objek secara umum. Karena itu perlu dipertegas bahwa struktur kognitif yang dibedah oleh Kant tidaklah disebut transenden (sesuatu/objek yang melampaui pengalaman indrawi) melainkan “transendental” (syarat a priori atas objek pengetahuan). Kant membagi penyelidikannya ini ke dalam dua bagian yang salah satunya dibagi lagi ke dalam dua bagian;
- Transcendental Aesthetic: penyelidikan terhadap syarat-syarat yang memungkinkan pencerapan subjektif (Sinnlichkeit).
- Transcendental Logic: penyelidikan terhadap syarat-syarat yang memungkinkan pengalaman objektif (Erfahrung). Penyelidikan ini menentukan kelayakan objek-objek pengetahuan atas batas-batas a priori yang telah ditemukan sehingga dapat dibagi menjadi dua bagian penyelidikan;
- Transcendental Analytic: penyelidikan terhadap kategori Intelek (Verstand) yang terkondisikan sehingga memungkinkan segala hal yang dapat dipikirkan (logic of truth).
- Transcendental Dialectic: penyelidikan terhadap pengetahuan tak terkondisikan sebagai suatu kesatuan yang dituntut oleh Rasio Murni (reinen Vernunft). Penyelidikan terakhir ini bertujuan untuk menunjukkan ilusi yang dapat terbentuk ketika mencoba menerapkan penalaran terhadap objek yang melampaui batas-batas pengalaman objektif (logic of illusion).
1. Transcendental Aesthetic
Pembedahan Kant terhadap representasi pikiran (Vorstellung) dalam Critique of Pure Reason (A320/B377), dapat kita gunakan untuk mendekati penyelidikan Kant atas syarat-syarat a priori yang memungkinkan pencerapan subjektif atau sensibilitas (Sinnlichkeit). Kant sendiri dalam Critique of Pure Reason (A21/B36) mendefinisikan Transcendental Aesthetic sebagai ilmu tentang seluruh prinsip-prinsip a priori dari sensibilitas. Oleh karena itu Kant menguraikan sensibilitas menjadi dua jenis persepsi (Wahrnehmung);
- Sensasi (Empfindung): Persepsi Subjektif yang memuat lima kualitas indrawi (warna, suara, aroma, rasa, raba). Kelima kualitas indrawi ini membutuhkan ruang dan waktu sebagai forma (bentuk)-nya.
- Kognisi (Erkenntnis): Persepsi Objektif yang dapat dipecah ke dalam dua bagian;
- Intuisi (Anschauung): “Kognisi Langsung”
- Konsepsi (Begriff): “Kognisi tidak Langsung”
Fokus Kant dalam Transcendental Aesthetic adalah penyelidikannya terhadap Intuisi (Anschauung) sebagai “kognisi langsung” yang di dalamnya terdapat dua forma intuitif a priori yang memungkinkan pencerapan subjektif (Sinnlichkeit). Berikut adalah uraian singkat Kant yang diringkas dalam Critique of Pure Reason (A26/B42–B44/A28) & (B49/A33–A41/B58);
- Ruang (Raum): adalah Indra/Intuisi Lahiriah [des äusseren Sinnes (aisthesis): tadrîk mina al-khârij] yang dapat memberikan forma lahir (geometris) bagi lima kualitas indrawi/sensasi (Empfindung), yakni penglihatan (warna), pendengaran (suara), penciuman (aroma), pengecapan (rasa), dan penyentuhan (raba). Hubungan antara sensasi dengan ruang seperti hubungan antara materi dengan bentuk (forma), yaitu bahwa sensasi adalah materi dari segala hal yang tampak, sedangkan ruang adalah bentuk dari segala hal yang eksternal. Ruang bukanlah konsepsi yang diabstraksikan dari relasi antar objek melainkan bentuk intuitif dari semua penampakan indra luar yang memungkinkan intuisi lahiriah. Kant menjelaskan bahwa perbedaan dalam ruang tidaklah merepresentasikan keberturutan suatu peristiwa melainkan keserentakan (Zugleichsein) antar peristiwa.
- Waktu (Zeit): adalah Indra/Intuisi Batiniah [des Inneren Sinnes (dianoia): tadrîk mina al-dâkhil] yang dapat memberikan forma batin (aritmetis) pada intuisi a priori ruang beserta konten materialnya berupa lima kualitas sensasi (Empfindung). Waktu bukanlah intuisi a priori yang berkembang dari intuisi a priori ruang sehingga masing-masing memiliki perannya dalam pencerapan indrawi. Jika dapat dikatakan bahwa semua kemungkinan penampakan luar ditentukan secara a priori dalam hubungannya dengan ruang, maka penampakan secara umum yakni semua objek indrawi ditentukan secara a priori dalam hubungannya dengan waktu. Bagi Kant, perbedaan dalam waktu tidaklah merepresentasikan keserentakan suatu peristiwa melainkan keberturutan (Aufeinanderfolgen) antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain.
Kant mengandaikan konsep ruang dalam putusan sintetik yang berhubungan dengan Geometri, misalkan seperti konsep “dua garis lurus” (satu dimensi) yang tanpa intuisi bawaan tidak akan sampai kepada konsep “ruang” (tiga dimensi) sehingga hanya dengan konsep “dua” dan “lurus”, tidak akan mungkin menurunkan konsep ruang. Begitupun dengan konsep waktu, diandaikannya dalam putusan sintetik yang berhubungan dengan Aritmetika bahwa tidak mungkin konsep “dulu” (telah berlalu), “kini” (sedang berlangsung), dan “nanti” (akan datang) dapat saling terhubung satu sama lain tanpa intuisi bawaan berupa waktu yang mendasarinya. Lanjut Kant, lalu apa jenis intuisi bawaan ini? intuisi a posteriori (membutuhkan pengalaman) atau intuisi a priori (mendahului pengalaman)? Jika intuisi a posteriori, maka tidak ada proposisi valid universal yang dapat diturunkan darinya. Karena itu menurut Kant, ruang dan waktu bukanlah objek yang secara mutlak terpisah dari struktur kognitif kita, melainkan bagian dari struktur kognitif sebagai syarat yang memungkinkan pencerapan indrawi (Sinnlichkeit).
Jika ruang dan waktu tidak bergantung pada kerangka kognitif yang mendahului pengalaman, maka konsep seperti keserentakan (simultaneity) dan keberturutan (successivity) tidak akan mungkin bagi persepsi subjektif (sensation). Tanpa konsep keberturutan dan keserentakan yang dapat mengakar secara a priori sampai ke dalam struktur kognitif transendental, keilmuan Aritmetika dan Geometri dapat diragukan keabsahannya. Konsepsi Kant tentang ruang dan waktu sebagai forma intuitif a priori dari pencerapan indrawi ini secara tidak langsung mempengaruhi perkembangan keilmuan di bidang Fisika yang dicetuskan oleh fisikawan berkebangsaan Yahudi-Jerman bernama Albert Einstein (1879–1955) – (Relativitas: fenomena fisika yang berbeda menentukan konfigurasi forma intuitif a priori ruang-waktu yang terjadi pada struktur kognitif pengamat) – yang telah dibahas dalam artikel sebelumnya.
Pandangan yang mengandaikan ruang dan waktu secara eksternal dan terpisah dari kemampuan kognitif kita sebagai sesuatu pada dirinya sendiri termasuk dalam “Realisme Transendental”–pandangan yang tidak mendapatkan tempat dalam penyelidikan transendental Kantian. Meskipun intuisi a priori ruang mendapatkan forma batin dari intuisi a priori waktu dalam struktur kognitif transendental, namun representasi mental yang tercermin di dalam indra batin (des Inneren Sinnes) bergantung pada konten material yang diperoleh dari indra lahir (des äusseren Sinnes). Artinya konsep keserentakan (Zugleichsein) dan konsep keberturutan (Aufeinanderfolgen) sebagai konten material yang dicerna secara intuitif itu hanya memenuhi representasi formal-nya yang tersedia di dalam forma intuitif a priori berupa ruang-waktu.
Demikianlah pengetahuan dalam pencerapan indrawi terjadi secara pasif melalui intuisi ruang-waktu yang tersedia secara a priori (mendahului pengalaman). Penyelidikan selanjutnya terhadap konsepsi (Begriff) sebagai “kognisi tidak langsung” dibahas di dalam penyelidikan transendental selanjutnya yaitu Transcendental Logic: Analytic.
2. Transcendental Logic
Transcendental Logic merupakan penyelidikan Kant terhadap bagaimana pengalaman objektif (Erfahrung) itu mungkin. Dalam penyelidikan ini, Kant mencari batas-batas a priori pengetahuan objektif dengan menguraikan konsepsi (Begriff) sebagai “kognisi tidak langsung” ke dalam kategori-kategori Intelek (Verstand) yang memungkinkan permulaan mekanisme penyimpulan di dalam logika. Dengan kata lain Transcendental Logic adalah suatu ilmu yang akan menentukan asal usul, domain, dan validitas objektif dari konsepsi sebagai “kognisi tak langsung” (Critique of Pure Reason, A57/B82). Penyelidikan ini dibagi menjadi dua bagian; Transcendental Analytic: menyelidiki kategori intelek yang menentukan cara kerja logika (term–proposisi–inferensi), dan Transcendental Dialectic: menyelidiki pengetahuan sebagai suatu kesatuan yang utuh (melampaui penalaran umum) sehingga upaya penalaran untuk menerapkan pengertian apapun akan menjebak kita ke dalam ilusi transendental. Pada akhirnya penyelidikan ini mengantarkan Kant pada pemisahan antara Fenomena sebagai “sesuatu yang nampak padaku” (das ding für mich) sehingga dapat dicerna secara rasional, dengan Nomena sebagai “sesuatu pada dirinya sendiri” (das ding an sich) yang melampaui pengetahuan rasional.
A. Transcendental Analytic
Transcendental Analytic merupakan penyelidikan Kant terhadap bagaimana penalaran logis itu mungkin untuk pengetahuan objektif. Dalam penyelidikan ini, Kant menguraikan konsepsi (Begriff) sebagai “kognisi tidak langsung” ke dalam empat kategori Intelek (Verstand) yang masing-masing terpisah secara maknawi (synthetic) dan mendahului pengalaman (a priori) sehingga tidak dapat diabstraksikan lagi ke tingkat yang lebih umum.
Kant dalam Critique of Pure Reason (A70/B95) & (A80/B106), membagi empat kategori intelek yang masing-masing memuat tiga sub-kategori itu ke dalam dua lingkup; Kategori Putusan atau “Kapasitas Putusan” (Vermögen zu Urteilen) dan Kategori Pikiran atau “Kapasitas Pikiran” (Vermögen zu Denken). Sementara pikiran (Denken) itu sendiri adalah proses kognitif melalui konsep (das Erkenntnis durch Begriffe), dan Putusan (Urteilen) itu sendiri adalah pengetahuan tak langsung terhadap suatu objek (die mittelbare Erkenntniss eines Gegenstandes) atau representasi dari representasi atas objek (die Vorstellung einer Vorstellung desselben). Oleh karena itu menurut Kant dalam Critique of Pure Reason (A69/B94), kemampuan untuk memutuskan suatu penilaian (Urteilskraft: to judge/tashdîq) pada gilirannya adalah suatu kemampuan untuk menggagaskan kerangka nilai dalam memutuskan suatu penilaian (Erkenntniskraft: to think/tashawwur).
Sementara itu dalam Critique of Pure Reason (B75/A51–B76/A52), Kant juga telah menyebutkan bahwa pikiran (Gedanken) tanpa isi (Inhalt) itu kosong sebagaimana intuisi (Anschauungen) tanpa konsepsi (Begriffe) itu buta. Karena itu adalah niscaya bahwa untuk membuat konsepsi (kognisi tidak langsung) dapat diakses secara intuitif (mencerap objek secara langsung dalam forma intuitif a priori ruang-waktu), sebagaimana membuat intuisi (kognisi langsung) dapat dipahami secara konseptual (menempatkan objek ke dalam kategori-kategori intelek).
Jika pikiran adalah representasi atas objek berupa gejala mental, maka putusan adalah representasi dari representasi atas objek sebagai ranah formal yang memastikan hubungan antara gejala mental dengan objek materialnya. Sebetulnya belum begitu jelas pembedaan antara representasi mental (das Denken) dengan representasi formal (der Gedanke) dalam epistemologi Kantian. Pembedaan ini baru mendapatkan penekanan serius dari seorang filsuf-matematikawan Jerman bernama Gottlob Frege (1848–1925) yang juga menerima pengaruh dari epistemologi Kantian untuk menghindari psikologisme (Psychologismus) dalam mengembangkan logika baru berupa sistem penyimpulan deduktif yang lebih teliti terhadap makna bahasa (Begriffsschrift).
Wawasan Kant dalam mengorganisir kategori-kategori Intelek (Verstand) berikut ini berbasis pada metode Aristotelian. Karena itu hubungan antara Kategori Putusan dengan Kategori Pikiran adalah demikian, Kategori Pikiran diturunkan berdasarkan kemungkinan bentuk-bentuk logis dari Kategori Putusan melalui Deduksi Metafisik (die Metaphysische Deduktion). Berikut adalah asal usul dari keduabelas kategori intelek yang diturunkan berdasarkan kemungkinan bentuk-bentuk logis proposisi melalui Deduksi Metafisik;
- Kategori Putusan (Vermögen zu Urteilen):
- Kuantitas (Quantität): Universal (Allgemeine), Partikular (Besondere), Singular (Einzelne)
- Kualitas (Qualität): Afirmatif (Bejahende), Negatif (Verneinende), Infinitas (Unendliche)
- Relasi (Relation): Kategoris (Kategorische), Hipotetis (Hypothetische), Disjungtif (Disjunctive)
- Modalitas (Modalität): Problematik (Problematische), Asertorik (Assertorische), Apodiktik (Apodiktische)
- Kategori Pikiran (Vermögen zu Denken):
- Kuantitas (Quantität): Tunggal (Einheit), Jamak (Vielheit), Totalitas (Allheit)
- Kualitas (Qualität): Realitas (Realität), Negasi (Negation), Limitasi (Limitation)
- Relasi (Relation): Kuiditas (Quiddität: Substantia et Accidentia), Kausalitas (Kausalität: Ursache und Wirkung), Komunitas (Gemeinschaft: Handelnden und Leidenden)
- Modalitas (Modalität): Mungkin–Mustahil (Möglichkeit–Unmöglichkeit), Ada–Tiada (Dasein–Nichtsein), Niscaya–Kebetulan (Notwendigkeit–Zufälligkeit)
Deduksi Metafisik (die Metaphysische Deduktion) berperan dalam memastikan status a priori dari kategori Intelek (Verstand) yang diturunkan berdasarkan kemungkinan bentuk-bentuk logis proposisi. Sementara Deduksi Transendental (die Transzendentale Deduktion) bertujuan untuk menunjukkan bahwa kategori-kategori Intelek (Verstand) yang telah diturunkan melalui Deduksi Metafisik adalah seluruh kondisi yang memungkinkan pengalaman objektif (Erfahrung). Kedua bentuk Deduksi ini masih merupakan bagian dari penyelidikan Kant atas asal-usul ditemukannya kategori Intelek dalam struktur kognitif transendental.
Selain putusan berdasarkan kemungkinan bentuk-bentuk logisnya, Kant dalam Critique of Pure Reason (A7/B11–B26/A13) & (A7/B11–B19), juga mengklasifikasikan putusan berdasarkan hubungan keterkandungan (enthalten) antara subjek dengan predikat, baik secara pengetahuan (epistemik) maupun secara maknawi (semantik). Berikut adalah pembagiannya;
- Putusan Analitik–A Priori: Putusan yang secara semantik, makna predikat telah terkandung di dalam subjek (analytic) sehingga pengetahuan yang diperoleh dari putusan ini tidak bergantung pada pengalaman (a priori). Menurut Kant putusan ini hanya menghasilkan tautologi yang berasal dari hukum identitas logika (A = A).
Co. Setiap tubuh memiliki keluasan
Co. 7 + 5 = 12, 12 = 12
Co. Bujangan itu belum menikah
- Putusan Sintetik–A Posteriori: Putusan yang secara semantik, makna predikat tidak terkandung di dalam subjek (synthetic) sehingga pengetahuan yang diperoleh dari putusan ini bergantung pada pengalaman (a posteriori). Menurut Kant putusan ini tidak akan mencapai derajat niscaya.
Co. Setiap tubuh memiliki berat
Co. Cuaca besok hari adalah hujan
- Putusan Analitik–A Posteriori: Putusan yang mustahil menurut Kant. Karena tidak mungkin ada putusan yang diperoleh dari pengalaman (a posteriori) namun secara intuitif tidak dapat menambah pengetahuan baru (analytic). Meskipun demikian menurut Stephen Palmquist (salah satu komentator Filsafat Kant), putusan ini dapat mungkin berdasarkan teori semantik modal “Keniscayaan A Posteriori” dari seorang filsuf-logikawan Amerika Serikat bernama Saul Kripke (1940–2022). Kripke mencetuskan teori rigid designator untuk menandai nama-nama diri (proper names) yang sekaligus mencakup semua deskripsinya dalam seluruh dunia-mungkin.
Co. Air adalah molekul Dihidrogen Monoksida (H2O)
Bentuk Proposisi: Air adalah molekul Dihidrogen Monoksida (H2O) itu benar di seluruh dunia yang mungkin.
Co. Pernapasan mengeluarkan molekul Karbon Dioksida (CO2)
Bentuk Proposisi: Pernapasan mengeluarkan molekul Karbon Dioksida (CO2) itu benar di seluruh dunia yang mungkin.
- Putusan Sintetik–A Priori: Putusan yang secara semantik makna predikatnya tidak terkandung di dalam subjek (synthetic) sehingga dapat menambah informasi baru bagi subjek, namun pengetahuan yang diperoleh dari putusan ini mendahului pengalaman (a priori). Inilah bentuk putusan yang sering digunakan dalam Ilmu Alam (natural science) dan Matematika. Menurut Kant, nilai-kebenaran dari jenis putusan ini dapat menentukan keabsahan Metafisika sebagai ilmu.
Co. 7 + 5 = 12 [Quantity: Unity]
Co. 12 ≠ ‘7’, ‘+’, ‘5’ [Quantity: Plurality]
Co. Dua belas adalah bilangan genap [Quantity: Totality]
Co. Rumah itu indah [Quality: Reality]
Co. Rumah itu tidak indah [Quality: Negation]
Co. Rumah itu bukanlah hunian [Quality: Limitation]
Co. Segitiga memiliki tiga sudut [Quiddity]
Co. Setiap peristiwa memiliki penyebab [Causality]
Co. Bangunan itu bukan rumah atau warung atau kantor atau dll [Community]
Co. Adalah mungkin bahwa besok hujan [Possibility–Impossibility]
Co. Adalah fakta bahwa Monas di Jakarta [Existence–non Existence]
Co. Adalah niscaya bahwa manusia akan mati [Necessary–Contingent]
Puncak dari penyelidikan Kant terhadap pengetahuan objektif (Transcendental Logic: Analytic) adalah mengenai “Skematisme (Schematismus)”, yaitu bagaimana kategori-kategori Intelek (Verstand) yang tersusun dalam struktur kognitif transendental ini, dapat berhubungan dengan atau diterapkan pada forma intuitif a priori (ruang-waktu) yang menentukan persepsi indrawi (Sinneswahrnehmung) sehingga hasilnya dalam bentuk putusan dapat bermakna secara logis. Menurut Kant dalam Critique of Pure Reason (B179/A140), skemata itu sendiri pada dasarnya hanyalah bagian dari fakultas imajinasi (Einbildungskraft: to image/takhayyul), jika tidak berhubungan dengan konten material yang telah melalui forma intuitif a priori (Ruang-waktu) dalam pencerapan indrawi.
Misalnya mengasosiasikan kategori-kategori Intelek (Verstand) seperti konsep “sebab” (Ursache/al-‘Illah) dari kategori relasi-kausalitas dengan konsep “tunggal” (Einheit/al-Wahdah) dari kategori kuantitas, atau seperti konsep “ada” (Dasein/al-Wujûd) dari kategori modalitas yang diasosiasikan dengan konsep “niscaya” (Notwendigkeit/al-Wâjib) dari kategori modalitas, dll terhadap suatu objek tanpa hubungannya dengan intuisi “Ruang-waktu” dalam pencerapan indrawi (Sinnlichkeit) hanyalah akan menjadi imajinasi (einbildung/takhayyul) bagi Kant. Sebagaimana tidak menempatkan gagasan sederhana (simple ideas) yang diperoleh secara intuitif melalui forma a priori ruang-waktu, ke dalam salah satu dari duabelas kategori intelek hanya akan menghasilkan putusan yang tautologis (analytic-a priori). Hal ini sekaligus juga mengingatkan kita pada pengaruh Filsafat Skeptis dari David Hume (1711–1776) yang diakui Kant sendiri telah menyadarkannya dari dogmatisme kaum rasionalis.
Tiap keduabelasan kategori intelek memiliki skema-nya masing-masing dalam bentuk putusan Sintetik-a priori (termasuk forma a priori ruang-waktu). Karakter sintetik diperoleh dari waktu sebagai intuisi murni, sementara karakter a priori diperoleh dari kategori intelek (Verstand) sebagai konsepsi murni. Oleh karena itu bagi Kant, skemata adalah aturan-aturan berbasis waktu yang memungkinkan kategori abstrak menjadi konkret dalam persepsi. Misalnya hubungan antara konsep sebab dengan konsep akibat dalam kategori Kausalitas dapat menjadi konkret melalui waktu. Begitupun dengan kategori Kuiditas bahwa konsep sifat (Accident) yang inheren di dalam konsep zat (Substance) secara subsis (bukan eksis) itu dapat pula menjadi konkret melalui waktu, dan lain sebagainya. Demikianlah bagaimana kategori intelek dengan objek eksternal dipertemukan beririsan dalam “ketentuan-waktu-transendental” sehingga pertemuan itu dapat disebut sebagai “Skematisasi” yang menentukan keilmiahan dari putusan Sintetik-a priori (Critique of Pure Reason, B178/A139). Karena menurut Kant, segala sesuatu yang dialami tidak dapat luput daripada waktu.
Menurut penulis, barangkali yang dimaksud Kant sebagai skemata adalah bentuk pengejawantahan kembali dari skema dalam kategori-pikiran kepada skema dalam kategori-putusan berupa formula;
- Skema dalam kategori-pikiran “Totalitas” yang diejawantahkan kembali pada skema dalam kategori-putusan “Universal” sehingga membentuk putusan Sintetik-a priori berupa formula, “segala sesuatu adalah” [∀xS]
- Skema dalam kategori-pikiran “Pluralitas” yang diejawantahkan kembali pada skema dalam kategori-putusan “Partikular” sehingga membentuk putusan Sintetik-a priori berupa formula, “sebagian sesuatu adalah” [∃xS]
- Skema dalam kategori-pikiran “Unitas” yang diejawantahkan kembali pada skema dalam kategori-putusan “Singular” sehingga membentuk putusan Sintetik-a priori berupa formula, “nama adalah” [∃!xS]
- Skema dalam kategori-pikiran “Realitas” yang diejawantahkan kembali pada skema dalam kategori-putusan “Afirmatif” sehingga membentuk putusan Sintetik-a priori berupa formula, “adalah sesuatu” [P]
- Skema dalam kategori-pikiran “Negasi” yang diejawantahkan kembali pada skema dalam kategori-putusan “Negatif” sehingga membentuk putusan Sintetik-a priori berupa formula, “bukanlah sesuatu” [¬P]
- Skema dalam kategori-pikiran “Limitasi” yang diejawantahkan kembali pada skema dalam kategori-putusan “Infinitas” sehingga membentuk putusan Sintetik-a priori berupa formula, “adalah nama” [A = B]
- Skema dalam kategori-pikiran “Kuiditas (substansi-aksidensi)” yang diejawantahkan kembali pada skema dalam kategori-putusan “Kategoris (subjek-predikat)” sehingga dapat membentuk putusan Sintetik-a priori berupa formula, “spesies adalah genus dan diferensial” [(∃g (Sg) ∧ ∀d (Sd)) → g = d]
- Skema dalam kategori-pikiran “Kausalitas (sebab-akibat)” yang diejawantahkan kembali pada skema dalam kategori-putusan “Hipotetis (anteseden-konsekuen)” sehingga membentuk putusan Sintetik-a priori berupa formula, jika “sesuatu memiliki sebab” maka “sesuatu memiliki akibat” [A → A]
- Skema dalam kategori-pikiran “Komunitas (aktor-pasien)” yang diejawantahkan kembali pada skema dalam kategori-putusan “Disjungtif (atau)” sehingga membentuk putusan Sintetik-a priori berupa formula, “diri atau liyan” [A ∨ ¬A]
- Skema dalam kategori-pikiran “Mungkin-Mustahil” yang diejawantahkan kembali pada skema dalam kategori-putusan “Problematik” sehingga membentuk putusan Sintetik-a priori berupa formula, “adalah mungkin bahwa sesuatu itu” [◇A]
- Skema dalam kategori-pikiran “Ada-Tiada” yang diejawantahkan kembali pada skema dalam kategori-putusan “Asertorik” sehingga membentuk putusan Sintetik-a priori berupa formula, “adalah fakta bahwa sesuatu itu” [⊨ A]
- Skema dalam kategori-pikiran “Niscaya-Kebetulan” yang diejawantahkan kembali pada skema dalam kategori-putusan “Apodiktik” sehingga membentuk putusan Sintetik-a priori berupa formula, “adalah niscaya bahwa sesuatu itu” [□A]
Prosedur berikutnya, “sesuatu” sebagai variabel logis atau “nama” sebagai konstanta logis yang terdapat di dalam putusan Sintetik-a priori dapat dipertukarkan (substitution) dengan data (konten material) yang diterima dari intuisi (ruang-waktu) sebagai argumen atau subjeknya. Ini seperti mencari pembenaran atas suatu pengetahuan dari asas bersama yang telah disediakan oleh kognisi bawaan (well formed formula). Dari sini terlihat bahwa tendensi Kant terhadap Rasionalisme yang mendasarkan keabsahan pengetahuan pada ide bawaan (innate ideas) dan pengaruh tidak langsung dari Epistemologi Kant terhadap Atomisme Logis yang nantinya mendasarkan filsafat pada analisis semantik dalam logika simbolik.
Nilai-kebenaran yang terkandung dalam formula putusan Sintetik-a priori seperti yang telah dicontohkan sebelumnya menentukan bagaimana Metafisika sebagai filsafat pertama (Prote Philosophia) itu mungkin. Jika skema disyaratkan terhubung dengan forma a priori ruang-waktu yang menyediakan konten material dalam pencerapan indrawi dari dunia eksternal, maka skema harus dibedakan dari sekedar “imajinasi (Einbildungskraft)” dengan “kognisi (Erkenntniskraft)” yang dapat memberikan daya logis/konseptual (Begriffe) pada putusan (Urteilskraft) untuk melakukan penyimpulan logis. Dengan demikian pernyataan metafisik dapat menjadi mungkin jika nilai-kebenaran-nya dapat diturunkan secara logis dari kategori intelek dalam bentuk putusan Sintetik-a priori yang diterapkan pada data-empiris sebagai subjek atau argumennya.
Demikianlah penyelidikan Kant dalam Transcendental Analytic yang berupaya menyelidiki syarat-syarat a priori dari pengalaman objektif. Dalam penyelidikan ini, Kant menemukan kategori intelek (Verstand) berdasarkan kemungkinan dapat diturunkannya dari bentuk-bentuk logis proposisi. Kategori intelek itu sendiri sebagai skema dalam bentuk putusan Sintetik-a priori, apabila tidak berhubungan dengan intuisi ruang-waktu yang memungkinkan pencerapan indrawi hanya akan menghasilkan pernyataan yang imajinatif. Sementara intuisi ruang-waktu itu sendiri akan menjadi samar jika tidak dipahami dalam konsep keserentakan dan keberturutan yang diperoleh secara eksternal. Karena itu dalam penyelidikan ini, kita menemukan bahwa pengetahuan terjadi secara aktif melalui skemata yang menghubungkan kategori intelek (konsepsi) dengan forma a priori ruang-waktu (intuisi). Penyelidikan ini sekaligus juga menunjukkan penyangkalan Kant terhadap pernyataan bahwa Idealisme Transendental malah terjebak ke dalam Idealisme itu sendiri, yaitu bahwa tanpa disadari penyelidikan ini justru menjadikan objektivitas pengetahuan bergantung pada kesadaran subjek (self-consciousness) yang disebut-sebut Kant sebagai syarat a priori itu.
Kant menyangkal gugatan Solipsisme (Skeptisisme Dunia Eksternal) demikian itu dengan menunjukkan bahwa representasi mental yang tersimpan di dalam intuisi batiniah (des Inneren Sinnes) bergantung pada konten material yang diterima dari intuisi lahiriah (des äusseren Sinnes). Seperti yang telah dikutip sebelumnya juga bahwa pikiran (mental) tanpa isi (material) itu kosong (formless), sebagaimana intuisi (kognisi langsung) tanpa konsepsi (kognisi taklangsung) itu buta (blind). Karena itu struktur kognitif transendental tidaklah menyeleksi kelayakan bagi konten material, melainkan hanya menyediakan wadah bagi representasi formal (putusan) sejauh dapat memastikan hubungan antara representasi mental yang diperoleh secara internal (pikiran) dengan konten material yang diperoleh secara eksternal (acuan), sehingga bentuk-bentuk pengetahuan (subjektif dan objektif) dapat menjadi mungkin untuk dibedakan. Singkatnya keterbatasan representasi mental -lah yang dapat menyederhanakan konten material menurut batas-batas a priori yang ditemukan di dalam representasi formal. Karena representasi mental itu sendiri perlu diejawantahkan kembali dalam bentuk putusan logis untuk menghasilkan pengetahuan yang terjustifikasi secara objektif (representasi formal). Demikianlah hubungan antara representasi formal (putusan), representasi mental (pikiran), dengan konten material (acuan) dapat dipandang secara seimbang.
Selain itu dalam Critique of Pure Reason (B275), Kant juga menyangkal pandangan “Idealisme Empiris” seperti dua pandangan filsuf berikut; filsuf Prancis bernama René Descartes (1596–1650) yang disebutnya sebagai “Idealisme Problematik” dan filsuf Irlandia bernama George Berkeley (1685–1753) yang disebutnya pula sebagai “Idealisme Dogmatik”. Dalam idealisme problematik, status ontologis dari seluruh objek diragukan sepenuhnya kecuali pernyataan empiris “Aku ada” sehingga mustahil pernyataan sederhana seperti itu dapat membuktikan segala hal yang telah diragukan sebelumnya. Sedangkan dalam idealisme dogmatik, status ontologis dari ruang hanya dianggap sebagai entitas imajiner hanya karena tidak terjangkau oleh persepsi batin. Oleh karena itu Kant mengajukan pandangan “Idealisme Transendental” yang tidak meragukan dan tidak pula reduktif terhadap fenomena mental melainkan menyelidiki secara kritis struktur kognitif a priori (mendahului pengalaman) yang tersedia bagi pengetahuan.
Dalam penyelidikan selanjutnya akan menjadi jelas bahwa pengetahuan sebagai suatu kesatuan yang utuh itu tidak dapat dinalar secara logis (melampaui common sense) sehingga objektivitas pengetahuan hanya bergantung pada penyimpulan logis berdasarkan syarat-syarat a priori yang telah ditemukan di dalam struktur kognitif transendental. Penyelidikan yang terakhir ini sekaligus juga menunjukkan sisi lain dari Idealisme Transendental, yaitu Realisme Empiris.
B. Transcendental Dialectic
Setelah membedah struktur kognitif transendental, Kant melanjutkan penyelidikannya ke tahap yang lebih abstrak daripada kategori-kategori transendental di dalam Intelek (Verstand). Penyelidikan ini tiba pada apa yang disebut Kant sebagai Rasio Murni (reinen Vernunft). Pada tahap ini Kant menemukan titik tolak yang memungkinkan segala bentuk pengetahuan sehingga penyelidikannya dapat disebut sebagai Transcendental Dialectic.
Di satu sisi, titik tolak ini dapat mengatasi segala kontradiksi (dialektis) namun di sisi lain, titik tolak ini tidak dapat dijangkau secara logis atau dapat disebut melampaui pengetahuan aksiomatis (badahiyyât). Titik tolak ini merupakan objek kajian dari Metafisika Tradisional (Khusus) yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga entitas dengan tiga bagian penyelidikan yang berbeda (Critique of Pure Reason, B392/A335);
- Paralogisme Rasio Murni (Der Paralogismus der reinen Vernunft) menyelidiki tuntutan akan pengetahuan tentang segala gejala mental yang dipersatukan dalam entitas, yang disebut “jiwa” (psychologia rationalis). Dalam Critique of Pure Reason (A341/B399), Kant menerangkan bahwa jika paralogisme logis adalah kekeliruan formal dalam silogisme, maka paralogisme transendental adalah kekeliruan formal yang mengakar pada hakikat dari nalar manusia sehingga membawa kita kepada ilusi transendental yang tak terhindarkan. Karena itu dalam penyelidikan ini, Kant menunjukkan bentuk-bentuk penyimpulan yang menyesatkan tentang keberadaan “jiwa pada dirinya sendiri” sebagai suatu substansialitas, simplisitas, personalitas, dan idealitas (realitas unik yang terpisah dari materi), yang hanya dibuktikan dengan gejala mental parsial dari kata ganti atau sudut pandang orang pertama (“Aku berpikir”).
Kant menjelaskan bahwa metafisika jiwa (psychologia rationalis) dihasilkan oleh tuntutan akan “kesatuan absolut” (tanpa syarat) dari subjek berpikir itu sendiri (A334/B391). Inilah tujuan dari usaha kaum rasionalis dalam metafisika jiwa yaitu untuk menetapkan “keabadian jiwa”. Meskipun demikian menurut Kant, formulasi yang mencoba membuktikan keberadaan jiwa secara eksternal seperti Descartes (Cogito); “aku berpikir, maka aku ada” (je pense, donc je suis), telah menjebak Rasio Murni ke dalam ilusi transendental berupa paralogisme transendental (kekeliruan formal dalam syarat a priori). Hal ini terjadi karena kategori “ada” (Dasein) yang diturunkan Descartes dari gejala mental “berpikir” merupakan kategori intelek (Verstand) yang biasanya diterapkan dalam pengalaman objektif (Erfahrung).
Sementara itu bagi Kant, jiwa bukanlah objek eksternal yang memerlukan pembuktian eksistensial melainkan syarat a priori atas pengetahuan sebagai suatu kesatuan dari seluruh gejala mental. Karena itu dalam Critique of Pure Reason (B406/A348), Kant merumuskan semacam konsep yang menyatakan “aku-transendental” (ich transzendentale) sebagai syarat a priori yang mencakupi seluruh representasinya dalam Kesadaran-diri-empiris [Cogito: sensasi & kognisi (intuisi & konsepsi)]. Aku-transendental ini disyaratkan supaya dapat memungkinkan struktur kognitif transendental itu sendiri yang menyusun segala bentuk fungsi pengetahuan termasuk Rasio Murni (reinen Vernunft). Dengan demikian konsepsi Kant ini dapat kita reformulasi kembali dalam idiom yang serupa tetapi tidak sama dengan Descartes; “aku berpikir, maka aku transendental” (ich denke, also bin ich transzendentale). Dari sini terlihat bahwa penyelidikan Kant terhadap metafisika jiwa (psychologia rationalis) hingga pemecahan filosofis-nya tentang aku-transendental (ich transzendentale) di kemudian hari menjadi cikal bakal dari Idealisme Jerman.
- Antinomi Rasio Murni (Die Antinomie der reinen Vernunft) menyelidiki tuntutan akan pengetahuan tentang segala gejala material yang dipersatukan dalam entitas, yang disebut “alam” (cosmologia rationalis). Dalam Critique of Pure Reason (A407/B434), Kant menjelaskan Antinomi sebagai ilusi transendental dalam Rasio Murni yang muncul dari argumen dialektis (tesis–antitesis) tentang keberadaan “alam pada dirinya sendiri” sehingga menyebabkan konflik pada hukum rasio murni (antinomy). Dalam konflik ini, baik tesis maupun antitesis memiliki tingkat kebenaran yang sederajat (kontradiktif). Konflik hukum rasio murni yang berkaitan dengan argumen tentang keberadaan alam ini terbagi menjadi empat bagian;
- Ruang-waktu (Keberujungan-Ketakberujungan Alam Semesta)
Tesis: Dunia memiliki permulaan dalam waktu dan juga terbatas dalam ruang.
Antitesis: Dunia tidak memiliki permulaan dalam waktu dan tidak terbatas dalam ruang.
- Atomisme (Keterbagian-Ketakterbagian Substansi)
Tesis: Seluruh substansi yang tersusun di dunia dibangun dari bagian-bagian yang sederhana, dan tidak ada sesuatu pun di mana pun kecuali yang sederhana atau yang tersusun dari yang sederhana.
Antitesis: Tidak ada susunan sesuatu di dalam dunia yang dibangun dari bagian-bagian sederhana, dan tidak ada sesuatu yang sederhana di dunia ini.
- Determinisme (Kausalitas-Spontanitas Peristiwa)
Tesis: Kausalitas dalam keselarasannya dengan hukum alam bukanlah satu-satunya bentuk ketergantungan yang dapat mempertemukan satu hal dengan hal yang lain. Untuk menjelaskan hal ini, adalah niscaya untuk mengasumsikan bahwa ada juga bentuk kausalitas yang lain, yaitu Spontanitas.
Antitesis: Tidak ada Spontanitas, segala sesuatu di dalam dunia hanya mengambil tempat dalam keselarasannya dengan hukum alam.
- Keniscayaan (Keberadaan Absolut-Relatif)
Tesis: Di dunia ini, baik sebagai bagiannya maupun sebagai penyebabnya, ada suatu keberadaan niscaya yang mutlak.
Antitesis: Keberadaan niscaya yang mutlak tidak ada di dalam dunia ini sebagai bagiannya, dan tidak ada pula di luar dunia sebagai penyebabnya.
Keduanya (tesis atau antitesis) bisa jadi benar. Tesisnya bisa jadi benar untuk sesuatu pada dirinya sendiri (an sich). Antitesisnya bisa jadi benar pula untuk sesuatu sebagaimana tampaknya (für mich). Hal ini tampak seperti kaum rasionalis yang datang untuk mempertahankan tesis dari masing-masing antinomi, sementara kaum empirisis berkembang dengan argumen yang lebih baik dalam mendukung antitesis dari masing-masing antinomi.
Menurut Kant, metafisika alam (cosmologia rationalis) dihasilkan dari tuntutan akan “kesatuan absolut” (tanpa syarat) dari rentetan penampakan material yang terkondisikan (A334/B391). Sementara itu pengetahuan kita tentang alam semesta terbatas kepada kemungkinan kita dapat menangkap konsep keserentakan (Geometri) dan keberturutan (Aritmetika) melalui intuisi ruang-waktu yang tersedia. Karena itu kita tidak dapat menggunakan pengandaian rasional yang melampaui intuisi ruang-waktu dalam membicarakan keberadaan alam semesta. Pengandaian rasional tentang alam semesta yang melampaui intuisi ruang-waktu akan membuat kita berhadapan dengan ilusi transendental berupa antinomi (tesis-antitesis) yang tak terelakkan. Dengan demikian jika argumen pembuktian keberadaan “jiwa” dan “tuhan” secara empiris dapat disebut sebagai pseudo-rasional, maka argumen pembuktian keberadaan “alam semesta” secara rasional dapat disebut sebagai pseudo-empiris.
- Rasio Murni Ideal (Das Ideal der reinen Vernunft) menyelidiki tuntutan akan pengetahuan tentang kemungkinan segala hal yang dapat dipikirkan secara utuh-menyeluruh sehingga dapat dipersatukan dalam entitas yang disebut “tuhan” (theologia rationalis). Dalam penyelidikan ini Kant mendalami secara kritis argumen-argumen para filsuf Skolastik tentang keberadaan tuhan, baik itu argumen ontologis (dalîl al-hudûts), kosmologis (dalîl al-ikhtirâ‘), maupun argumen teleologis (dalîl al-‘inâyah). Dalam penyelidikannya Kant menemukan bahwa ketiga argumen tersebut telah membuat Rasio Murni (reinen Vernunft) terjebak ke dalam ilusi transendental demi terlibat pada argumen yang menyimpulkan bahwa “wujud maha nyata” (ens realissimum) itu dapat dibayangkan.
Wujud Maha Nyata (ens realissimum) adalah asal usul filosofis dari segala gagasan tentang keberadaan “tuhan pada dirinya sendiri”. Objek yang dipersonifikasi ini dipostulatkan Rasio Murni (reinen Vernunft) sebagai subjek absolut yang dapat mengharmonikan seluruh predikatnya yang mungkin saling bertentangan atau subjek absolut atas jumlah keseluruhan dari realitas yang mungkin bagian-bagiannya dapat saling bertentangan (Critique of Pure Reason, A577/B605). Demikianlah status “tuhan” dalam theologia transcendentalis, bukanlah realitas eksternal yang membutuhkan pembuktian eksistensial melainkan “idea transendental” yang dibutuhkan oleh Rasio Murni (reinen Vernunft) untuk menciptakan sebuah kesatuan total dari pengetahuan sehingga Rasio Murni dapat ikut serta dalam keseluruhan realitas (omnitudo realitatis).
Ketiga entitas yang menjadi objek kajian Metafisika Khusus (metaphysica specialis) tersebut (jiwa, alam, dan tuhan) termasuk ke dalam apa yang disebut Kant sebagai Nomena (das ding an sich) atau “sesuatu pada dirinya sendiri” yang dibedakannya dari Fenomena (das ding für mich) atau “sesuatu yang nampak padaku”. Nomena bukan hanya melampaui pencerapan indrawi, melainkan juga melampaui skemata beserta keduabelasan kategori intelek-nya yang dapat memungkinkan pemahaman objektif. Karena itu nomena tidaklah dapat didekati baik secara subjektif (persepsi) maupun objektif (observasi).
Demikianlah penyelidikan Kant di dalam Transcendental Dialectic menunjukkan bagaimana Rasio Murni (reinen Vernunft) seharusnya tidak digunakan. Menurut Kant, fakultas rasional dapat terjangkit ilusi dialektis seperti seseorang yang mencoba mengetahui apapun yang tidak akan pernah dapat diketahui. Karena itu mencoba menerapkan pembuktian apapun terhadap ketiga entitas tersebut tanpa mempertimbangkan masalah dari Rasio Murni, secara tidak sadar telah menjebak kita ke dalam ilusi transendental (paralogisme, antinomi, ideal).
Sementara ilusi transendental itu sendiri ditemukan dari kritik Rasio Murni terhadap dirinya sendiri dalam upayanya mencari titik tertinggi dari syarat a priori atas struktur kognitif transendental berupa aku-transendental (ich transzendentale). Karena itu duabelas kategori Intelek (Verstand) yang telah diselidiki sebelumnya di dalam Transcendental Analytic tidak dapat diabstraksikan lagi ke tingkat yang lebih umum untuk menghakimi secara logis, aku-transendental itu sendiri yang merupakan syarat a priori dari struktur kognitif transendental yang memungkinkan duabelas kategori intelek (Verstand).
Demikianlah korelasi antara aku-transendental, struktur kognitif transendental, dan duabelas kategori intelek. Ketiganya saling mungkin-memungkinkan satu sama lain sebagai syarat a priori yang dimulai dari aku-transendental sampai kepada forma intuitif a priori ruang-waktu. Pada akhirnya pemisahan antara penyelidikan Kant dalam Transcendental Analytic sebagai “the logic of truth” dengan penyelidikannya dalam Transcendental Dialectic sebagai “the logic of illusion” mengantarkan kita pada sisi lain daripada Idealisme Transendental yaitu Realisme Empiris.
2. Realisme Empiris dan Kritisisme
Realisme Empiris adalah tujuan sekaligus konsekuensi logis dari penyelidikan Kant atas syarat-syarat a priori pengetahuan di dalam Idealisme Transendental. Realisme Empiris menunjukkan objek-objek dari pengetahuan objektif (observasi) dan pengetahuan subjektif (persepsi) yang telah disyaratkan Idealisme Transendental, seperti objek yang nampak pada pengamatan: “sesuatu bagi diriku sendiri” (das ding für mich); gejala mental (susah–senang), gejala material (gerak–diam), dan gejala moral (adil–zalim).
Pada akhirnya baik Idealisme Transendental sebagai “syarat pengetahuan” maupun Realisme Empiris sebagai “objek pengetahuan” mewujudkan suatu kesatuan pandangan Filsafat Kant yang disebut “Kritisisme”. Pengertian kritisisme di sini sebagaimana yang dipahami Kant dengan istilah “kritik” yang berasal dari bahasa Yunani (krínein), yang berarti menguji, menilai, memutuskan. Pengertian ini dimaksudkan sebagai kemampuan Rasio Murni (reinen Vernunft) untuk mengetahui, terutama jangkauan dan batas-batasnya diuji, dinilai, dan diputuskan.
Kritisisme diandaikannya seperti pembalikan paradigma yang dicontohkan oleh Revolusi Kopernikan bahwa subjek tidak hanya didikte oleh objek tetapi subjek juga terlibat dengan objek di dalam realitas. Kant memang memaksudkan penyelidikannya atas batas-batas a priori dari pengetahuan supaya tidak terjebak dalam dogmatisme kaum rasionalis dan tidak pula mengambil tempat dalam skeptisisme kaum empirisis. Sebagian besar judul karyanya -pun diberi istilah “kritik”. Karena itu dalam Kritisisme Kantian, struktur kognitif transendental yang telah diuraikan sebelumnya itu bukan hanya cerminan pasif dari realitas; baik fungsinya secara a priori (mendahului pengalaman) seperti kaum rasionalis maupun fungsinya secara a posteriori (membutuhkan pengalaman) seperti kaum empirisis, melainkan struktur kognitif transendental itu juga ikut serta secara aktif dalam membangun realitas.
Selain itu pendirian Filsafat Kant sebagai Kritisisme ini dapat diperkuat dengan memperhatikan pengaruhnya dalam sejarah filsafat terhadap tradisi filsafat berikutnya. Misalnya di satu sisi, penyelidikannya dalam Transcendental Dialectic, mempengaruhi tradisi filsafat Idealisme Jerman yang meradikalisasi aku-transendental (ich transzendentale) menjadi dapat diketahui sebagai objek pengetahuan atas keseluruhan realitas berupa roh-absolut (der absolute Geist). Sementara di sisi lain, penyelidikannya dalam Transcendental Aesthetic dan Analytic secara tidak langsung mempengaruhi tradisi filsafat Atomisme Logis dalam upayanya mengatasi masalah logika dan bahasa yang dihasilkan dari cara berfilsafatnya Idealisme Jerman.
Demikianlah seringkali sisi lain dari Idealisme Transendental ini disepelekan begitu saja karena penekanan Filsafat Kant yang begitu besar kepada Idealisme Transendental. Barangkali penyelidikannya dalam Idealisme Transendental berupaya untuk menyisihkan segala bentuk konsep-konsep ideal ke dalam ranah transendental (syarat) sehingga yang tersisa hanyalah konsep-konsep real dalam ranah empiris (objek).
3. Kesimpulan
Kunci terpenting dalam memahami artikel ini adalah dengan mengikuti pembedaan Kant di dalam struktur kognitif transendental secara konsisten antara “persepsi subjektif” (sensasi) dengan “persepsi objektif” (kognisi), dan antara “kognisi langsung” (intuisi) dengan “kognisi taklangsung” (konsepsi). Dalam kognisi langsung (intuisi), terdapat dua forma a priori; ruang (intuisi lahir) dan waktu (intuisi batin), sedangkan dalam kognisi taklangsung (konsepsi) terdapat duabelas kategori intelek yang ditemukan berdasarkan kemungkinan dapat diturunkannya dari bentuk-bentuk logis putusan.
Hubungan antara persepsi subjektif (sensasi) dengan forma a priori ruang-waktu (intuisi) seperti hubungan antara materi dengan forma; sensasi dengan lima kualitas indrawi-nya (warna, suara, aroma, rasa, raba) sebagai materi, ruang dengan konsep keserentakannya sebagai forma lahir, dan waktu dengan konsep keberturutannya sebagai forma batin. Selain itu forma a priori ruang-waktu (intuisi) dengan duabelas kategori intelek (konsepsi) dapat dihubungkan melalui skemata dalam bentuk putusan Sintetik-a priori. Sementara skemata itu sendiri hanyalah imajinasi jika tidak berkaitan dengan intuisi ruang-waktu. Karena itu pikiran tanpa isi itu kosong sebagaimana intuisi tanpa konsepsi itu buta.
Pada akhirnya pengetahuan sebagai suatu kesatuan itu tidak dapat dicerna; baik secara empiris maupun secara rasional. Dalam Rasio Murni, kita menemukan tiga entitas yang mewakili pengetahuan sebagai suatu kesatuan gejala mental, material, dan moral (jiwa, alam, dan tuhan). Upaya menerapkan salah satu dari duabelas kategori intelek (konsepsi) terhadap ketiga entitas tersebut dapat menyebabkan ilusi transendental (paralogisme, antinomi, ideal) yang tidak disadari. Sementara ilusi transendental itu sendiri ditemukan oleh Rasio Murni ketika mengkritik dirinya sendiri dalam upayanya untuk menemukan “aku-transendental” yang dapat memungkinkan seluruh bagian dari struktur kognitif transendental. Karena itu dengan dimungkinkannya struktur kognitif transendental oleh aku-transendental, maka pengetahuan dalam Kritisisme Kantian bukan hanya cerminan pasif dari realitas melainkan juga ikut serta dalam membangun realitas.
Demikianlah uraian ini akan ditutup dengan kutipan dari Critique of Pure Reason (B166),
“Tidak ada objek yang dapat kita ‘pikirkan’ selain melalui kategori-kategori intelek itu; tidak ada objek yang dapat kita ‘ketahui’ selain melalui intuisi-intuisi (ruang-waktu) yang sesuai (correspond) dengan konsep-konsepnya (keserentakan-keberturutan). Sekarang intuisi-intuisi kita dapat diakses secara indrawi dan objek dari bentuk kognisi langsung ini, dapat terberi sejauh ia bersifat empiris. Sementara kognisi yang empiris itu disebut sebagai pengalaman. Karena itu tidak ada pengetahuan yang mungkin secara a priori, kecuali pengetahuan mengenai objek yang mungkin dialami”.
Bacaan Lanjutan
¹ Fitzerald Kennedy Sitorus. Kembali ke Kant: Metafisika, Sains, dan Proyek Filsafat Transendental. Jurnal Dekonstruksi, Vol. 10, No. 03, Tahun 2024.
² Henry E. Allison. Kant’s Transcendental Idealism an Interpretation and Defence. Michigan: Yale University Press, 1983.
³ Immanuel Kant. Kritik der reinen Vernunft. Leipzig: Der Philosophischen Bibliothek Band 37. Verlag von Felix Meiner, 1919.
⁴ Immanuel Kant. Critique of Pure Reason. London: Macmillan and Co., Translated by Norman Kemp Smith, 1929.
⁵ Immanuel Kant. Critique of Pure Reason. Cambridge: Cambridge University Press. Translated and Edited by Paul Guyer & Allen W. Wood, I998.
⁶ Immanuel Kant. Kritik Atas Akal Budi Murni. Yogyakarta: Penerbit Indoliterasi, terj. Supriyanto Abdullah, 2022.
⁷ Martinus Ariya Seta. Status Tuhan dalam Filsafat Teoretis Immanuel Kant. DISKURSUS, Volume 15, Nomor 1, April 2016.
⁸ Pieranna Garavaso and Nicla Vassallo. Frege on Thinking and Its Epistemic Significance. London: Lexington Books, 2015.
⁹ https://plato.stanford.edu/entries/kant-judgment/, yang diakses pada 29/10/24.
¹⁰ https://plato.stanford.edu/entries/kant-metaphysics/#SouRatPsy, yang diakses pada 29/10/24.
¹¹ https://antinomi.org/kemungkinan-putusan-takmungkin-putusan-analitis-a-posteriori/, yang diakses pada 29/10/24.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H