Mohon tunggu...
Alkindus
Alkindus Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Wargadunia

∀x (x ∈ ∅ ⇔ x ≠ x)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filsafat Kant: Idealisme atau Kritisisme?

19 November 2024   13:47 Diperbarui: 19 November 2024   17:17 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kritisisme diandaikannya seperti pembalikan paradigma yang dicontohkan oleh Revolusi Kopernikan bahwa subjek tidak hanya didikte oleh objek tetapi subjek juga terlibat dengan objek di dalam realitas. Kant memang memaksudkan penyelidikannya atas batas-batas a priori dari pengetahuan supaya tidak terjebak dalam dogmatisme kaum rasionalis dan tidak pula mengambil tempat dalam skeptisisme kaum empirisis. Sebagian besar judul karyanya -pun diberi istilah “kritik”. Karena itu dalam Kritisisme Kantian, struktur kognitif transendental yang telah diuraikan sebelumnya itu bukan hanya cerminan pasif dari realitas; baik fungsinya secara a priori (mendahului pengalaman) seperti kaum rasionalis maupun fungsinya secara a posteriori (membutuhkan pengalaman) seperti kaum empirisis, melainkan struktur kognitif transendental itu juga ikut serta secara aktif dalam membangun realitas.

Selain itu pendirian Filsafat Kant sebagai Kritisisme ini dapat diperkuat dengan memperhatikan pengaruhnya dalam sejarah filsafat terhadap tradisi filsafat berikutnya. Misalnya di satu sisi, penyelidikannya dalam Transcendental Dialectic, mempengaruhi tradisi filsafat Idealisme Jerman yang meradikalisasi aku-transendental (ich transzendentale) menjadi dapat diketahui sebagai objek pengetahuan atas keseluruhan realitas berupa roh-absolut (der absolute Geist). Sementara di sisi lain, penyelidikannya dalam Transcendental Aesthetic dan Analytic secara tidak langsung mempengaruhi tradisi filsafat Atomisme Logis dalam upayanya mengatasi masalah logika dan bahasa yang dihasilkan dari cara berfilsafatnya Idealisme Jerman.

Demikianlah seringkali sisi lain dari Idealisme Transendental ini disepelekan begitu saja karena penekanan Filsafat Kant yang begitu besar kepada Idealisme Transendental. Barangkali penyelidikannya dalam Idealisme Transendental berupaya untuk menyisihkan segala bentuk konsep-konsep ideal ke dalam ranah transendental (syarat) sehingga yang tersisa hanyalah konsep-konsep real dalam ranah empiris (objek).

3. Kesimpulan

Kunci terpenting dalam memahami artikel ini adalah dengan mengikuti pembedaan Kant di dalam struktur kognitif transendental secara konsisten antara “persepsi subjektif” (sensasi) dengan “persepsi objektif” (kognisi), dan antara “kognisi langsung” (intuisi) dengan “kognisi taklangsung” (konsepsi). Dalam kognisi langsung (intuisi), terdapat dua forma a priori; ruang (intuisi lahir) dan waktu (intuisi batin), sedangkan dalam kognisi taklangsung (konsepsi) terdapat duabelas kategori intelek yang ditemukan berdasarkan kemungkinan dapat diturunkannya dari bentuk-bentuk logis putusan.

Hubungan antara persepsi subjektif (sensasi) dengan forma a priori ruang-waktu (intuisi) seperti hubungan antara materi dengan forma; sensasi dengan lima kualitas indrawi-nya (warna, suara, aroma, rasa, raba) sebagai materi, ruang dengan konsep keserentakannya sebagai forma lahir, dan waktu dengan konsep keberturutannya sebagai forma batin. Selain itu forma a priori ruang-waktu (intuisi) dengan duabelas kategori intelek (konsepsi) dapat dihubungkan melalui skemata dalam bentuk putusan Sintetik-a priori. Sementara skemata itu sendiri hanyalah imajinasi jika tidak berkaitan dengan intuisi ruang-waktu. Karena itu pikiran tanpa isi itu kosong sebagaimana intuisi tanpa konsepsi itu buta.

Pada akhirnya pengetahuan sebagai suatu kesatuan itu tidak dapat dicerna; baik secara empiris maupun secara rasional. Dalam Rasio Murni, kita menemukan tiga entitas yang mewakili pengetahuan sebagai suatu kesatuan gejala mental, material, dan moral (jiwa, alam, dan tuhan). Upaya menerapkan salah satu dari duabelas kategori intelek (konsepsi) terhadap ketiga entitas tersebut dapat menyebabkan ilusi transendental (paralogisme, antinomi, ideal) yang tidak disadari. Sementara ilusi transendental itu sendiri ditemukan oleh Rasio Murni ketika mengkritik dirinya sendiri dalam upayanya untuk menemukan “aku-transendental” yang dapat memungkinkan seluruh bagian dari struktur kognitif transendental. Karena itu dengan dimungkinkannya struktur kognitif transendental oleh aku-transendental, maka pengetahuan dalam Kritisisme Kantian bukan hanya cerminan pasif dari realitas melainkan juga ikut serta dalam membangun realitas.

Demikianlah uraian ini akan ditutup dengan kutipan dari Critique of Pure Reason (B166), “Tidak ada objek yang dapat kita ‘pikirkan’ selain melalui kategori-kategori intelek itu; tidak ada objek yang dapat kita ‘ketahui’ selain melalui intuisi-intuisi (ruang-waktu) yang sesuai (correspond) dengan konsep-konsepnya (keserentakan-keberturutan). Sekarang intuisi-intuisi kita dapat diakses secara indrawi dan objek dari bentuk kognisi langsung ini, dapat terberi sejauh ia bersifat empiris. Sementara kognisi yang empiris itu disebut sebagai pengalaman. Karena Itu tidak ada pengetahuan yang mungkin secara a priori, kecuali pengetahuan mengenai objek yang mungkin dialami”.

Bacaan Lanjutan

¹ Fitzerald Kennedy Sitorus. Kembali ke Kant: Metafisika, Sains, dan Proyek Filsafat Transendental. Jurnal Dekonstruksi, Vol. 10, No. 03, Tahun 2024.

² Henry E. Allison. Kant’s Transcendental Idealism an Interpretation and Defence. Michigan: Yale University Press, 1983.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun