B. Transcendental Dialectic
Setelah membedah struktur kognitif transendental, Kant melanjutkan penyelidikannya ke tahap yang lebih abstrak daripada kategori-kategori transendental di dalam Intelek (Verstand). Penyelidikan ini tiba pada apa yang disebut Kant sebagai Rasio Murni (reinen Vernunft). Pada tahap ini Kant menemukan titik tolak yang memungkinkan segala bentuk pengetahuan sehingga penyelidikannya dapat disebut sebagai Transcendental Dialectic.
Di satu sisi, titik tolak ini dapat mengatasi segala kontradiksi (dialektis) namun di sisi lain, titik tolak ini tidak dapat dijangkau secara logis atau dapat disebut melampaui pengetahuan aksiomatis (badahiyyât). Titik tolak ini merupakan objek kajian dari Metafisika Tradisional (Khusus) yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga entitas dengan tiga bagian penyelidikan yang berbeda (Critique of Pure Reason, B392/A335);
- Paralogisme Rasio Murni (Der Paralogismus der reinen Vernunft) menyelidiki tuntutan akan pengetahuan tentang segala gejala mental yang dipersatukan dalam entitas, yang disebut “jiwa” (psychologia rationalis). Dalam Critique of Pure Reason (A341/B399), Kant menerangkan bahwa jika paralogisme logis adalah kekeliruan formal dalam silogisme, maka paralogisme transendental adalah kekeliruan formal yang mengakar pada hakikat dari nalar manusia sehingga membawa kita kepada ilusi transendental yang tak terhindarkan. Karena itu dalam penyelidikan ini, Kant menunjukkan bentuk-bentuk penyimpulan yang menyesatkan tentang keberadaan “jiwa pada dirinya sendiri” sebagai suatu substansialitas, simplisitas, personalitas, dan idealitas (realitas unik yang terpisah dari materi), yang hanya dibuktikan dengan gejala mental parsial dari kata ganti atau sudut pandang orang pertama (“Aku berpikir”).
Kant menjelaskan bahwa metafisika jiwa (psychologia rationalis) dihasilkan oleh tuntutan akan “kesatuan absolut” (tanpa syarat) dari subjek berpikir itu sendiri (A334/B391). Inilah tujuan dari usaha kaum rasionalis dalam metafisika jiwa yaitu untuk menetapkan “keabadian jiwa”. Meskipun demikian menurut Kant, formulasi yang mencoba membuktikan keberadaan jiwa secara eksternal seperti Descartes (Cogito); “aku berpikir, maka aku ada” (je pense, donc je suis), telah menjebak Rasio Murni ke dalam ilusi transendental berupa paralogisme transendental (kekeliruan formal dalam syarat a priori). Hal ini terjadi karena kategori “ada” (Dasein) yang diturunkan Descartes dari gejala mental “berpikir” merupakan kategori intelek (Verstand) yang biasanya diterapkan dalam pengalaman objektif (Erfahrung).
Sementara itu bagi Kant, jiwa bukanlah objek eksternal yang memerlukan pembuktian eksistensial melainkan syarat a priori atas pengetahuan sebagai suatu kesatuan dari seluruh gejala mental. Karena itu dalam Critique of Pure Reason (B406/A348), Kant merumuskan semacam konsep yang menyatakan “aku-transendental” (ich transzendentale) sebagai syarat a priori yang mencakupi seluruh representasinya dalam Kesadaran-diri-empiris [Cogito: sensasi & kognisi (intuisi & konsepsi)]. Aku-transendental ini disyaratkan supaya dapat memungkinkan struktur kognitif transendental itu sendiri yang menyusun segala bentuk fungsi pengetahuan termasuk Rasio Murni (reinen Vernunft). Dengan demikian konsepsi Kant ini dapat kita reformulasi kembali dalam idiom yang serupa tetapi tidak sama dengan Descartes; “aku berpikir, maka aku transendental” (ich denke, also bin ich transzendentale). Dari sini terlihat bahwa penyelidikan Kant terhadap metafisika jiwa (psychologia rationalis) hingga pemecahan filosofis-nya tentang aku-transendental (ich transzendentale) di kemudian hari menjadi cikal bakal dari Idealisme Jerman.
- Antinomi Rasio Murni (Die Antinomie der reinen Vernunft) menyelidiki tuntutan akan pengetahuan tentang segala gejala material yang dipersatukan dalam entitas, yang disebut “alam” (cosmologia rationalis). Dalam Critique of Pure Reason (A407/B434), Kant menjelaskan Antinomi sebagai ilusi transendental dalam Rasio Murni yang muncul dari argumen dialektis (tesis–antitesis) tentang keberadaan “alam pada dirinya sendiri” sehingga menyebabkan konflik pada hukum rasio murni (antinomy). Dalam konflik ini, baik tesis maupun antitesis memiliki tingkat kebenaran yang sederajat (kontradiktif). Konflik hukum rasio murni yang berkaitan dengan argumen tentang keberadaan alam ini terbagi menjadi empat bagian;
- Ruang-waktu (Keberujungan-Ketakberujungan Alam Semesta)
Tesis: Dunia memiliki permulaan dalam waktu dan juga terbatas dalam ruang.
Antitesis: Dunia tidak memiliki permulaan dalam waktu dan tidak terbatas dalam ruang.
- Atomisme (Keterbagian-Ketakterbagian Substansi)
Tesis: Seluruh substansi yang tersusun di dunia dibangun dari bagian-bagian yang sederhana, dan tidak ada sesuatu pun di mana pun kecuali yang sederhana atau yang tersusun dari yang sederhana.
Antitesis: Tidak ada susunan sesuatu di dalam dunia yang dibangun dari bagian-bagian sederhana, dan tidak ada sesuatu yang sederhana di dunia ini.
- Determinisme (Kausalitas-Spontanitas Peristiwa)
Tesis: Kausalitas dalam keselarasannya dengan hukum alam bukanlah satu-satunya bentuk ketergantungan yang dapat mempertemukan satu hal dengan hal yang lain. Untuk menjelaskan hal ini, adalah niscaya untuk mengasumsikan bahwa ada juga bentuk kausalitas yang lain, yaitu Spontanitas.
Antitesis: Tidak ada Spontanitas, segala sesuatu di dalam dunia hanya mengambil tempat dalam keselarasannya dengan hukum alam.
- Keniscayaan (Keberadaan Absolut-Relatif)
Tesis: Di dunia ini, baik sebagai bagiannya maupun sebagai penyebabnya, ada suatu keberadaan niscaya yang mutlak.
Antitesis: Keberadaan niscaya yang mutlak tidak ada di dalam dunia ini sebagai bagiannya, dan tidak ada pula di luar dunia sebagai penyebabnya.
Keduanya (tesis atau antitesis) bisa jadi benar. Tesisnya bisa jadi benar untuk sesuatu pada dirinya sendiri (an sich). Antitesisnya bisa jadi benar pula untuk sesuatu sebagaimana tampaknya (für mich). Hal ini tampak seperti kaum rasionalis yang datang untuk mempertahankan tesis dari masing-masing antinomi, sementara kaum empirisis berkembang dengan argumen yang lebih baik dalam mendukung antitesis dari masing-masing antinomi.
Menurut Kant, metafisika alam (cosmologia rationalis) dihasilkan dari tuntutan akan “kesatuan absolut” (tanpa syarat) dari rentetan penampakan material yang terkondisikan (A334/B391). Sementara itu pengetahuan kita tentang alam semesta terbatas kepada kemungkinan kita dapat menangkap konsep keserentakan (Geometri) dan keberturutan (Aritmetika) melalui intuisi ruang-waktu yang tersedia. Karena itu kita tidak dapat menggunakan pengandaian rasional yang melampaui intuisi ruang-waktu dalam membicarakan keberadaan alam semesta. Pengandaian rasional tentang alam semesta yang melampaui intuisi ruang-waktu akan membuat kita berhadapan dengan ilusi transendental berupa antinomi (tesis-antitesis) yang tak terelakkan. Dengan demikian jika argumen pembuktian keberadaan “jiwa” dan “tuhan” secara empiris dapat disebut sebagai pseudo-rasional, maka argumen pembuktian keberadaan “alam semesta” secara rasional dapat disebut sebagai pseudo-empiris.
- Rasio Murni Ideal (Das Ideal der reinen Vernunft) menyelidiki tuntutan akan pengetahuan tentang kemungkinan segala hal yang dapat dipikirkan secara utuh-menyeluruh sehingga dapat dipersatukan dalam entitas yang disebut “tuhan” (theologia rationalis). Dalam penyelidikan ini Kant mendalami secara kritis argumen-argumen para filsuf Skolastik tentang keberadaan tuhan, baik itu argumen ontologis (dalîl al-hudûts), kosmologis (dalîl al-ikhtirâ‘), maupun argumen teleologis (dalîl al-‘inâyah). Dalam penyelidikannya Kant menemukan bahwa ketiga argumen tersebut telah membuat Rasio Murni (reinen Vernunft) terjebak ke dalam ilusi transendental demi terlibat pada argumen yang menyimpulkan bahwa “wujud maha nyata” (ens realissimum) itu dapat dibayangkan.
Wujud Maha Nyata (ens realissimum) adalah asal usul filosofis dari segala gagasan tentang keberadaan “tuhan pada dirinya sendiri”. Objek yang dipersonifikasi ini dipostulatkan Rasio Murni (reinen Vernunft) sebagai subjek absolut yang dapat mengharmonikan seluruh predikatnya yang mungkin saling bertentangan atau subjek absolut atas jumlah keseluruhan dari realitas yang mungkin bagian-bagiannya dapat saling bertentangan (Critique of Pure Reason, A577/B605). Demikianlah status “tuhan” dalam theologia transcendentalis, bukanlah realitas eksternal yang membutuhkan pembuktian eksistensial melainkan “idea transendental” yang dibutuhkan oleh Rasio Murni (reinen Vernunft) untuk menciptakan sebuah kesatuan total dari pengetahuan sehingga Rasio Murni dapat ikut serta dalam keseluruhan realitas (omnitudo realitatis).
Ketiga entitas yang menjadi objek kajian Metafisika Khusus (metaphysica specialis) tersebut (jiwa, alam, dan tuhan) termasuk ke dalam apa yang disebut Kant sebagai Nomena (das ding an sich) atau “sesuatu pada dirinya sendiri” yang dibedakannya dari Fenomena (das ding für mich) atau “sesuatu yang nampak padaku”. Nomena bukan hanya melampaui pencerapan indrawi, melainkan juga melampaui skemata beserta keduabelasan kategori intelek-nya yang dapat memungkinkan pemahaman objektif. Karena itu nomena tidaklah dapat didekati baik secara subjektif (persepsi) maupun objektif (observasi).
Demikianlah penyelidikan Kant di dalam Transcendental Dialectic menunjukkan bagaimana Rasio Murni (reinen Vernunft) seharusnya tidak digunakan. Menurut Kant, fakultas rasional dapat terjangkit ilusi dialektis seperti seseorang yang mencoba mengetahui apapun yang tidak akan pernah dapat diketahui. Karena itu mencoba menerapkan pembuktian apapun terhadap ketiga entitas tersebut tanpa mempertimbangkan masalah dari Rasio Murni, secara tidak sadar telah menjebak kita ke dalam ilusi transendental (paralogisme, antinomi, ideal).
Sementara ilusi transendental itu sendiri ditemukan dari kritik Rasio Murni terhadap dirinya sendiri dalam upayanya mencari titik tertinggi dari syarat a priori atas struktur kognitif transendental berupa aku-transendental (ich transzendentale). Karena itu duabelas kategori Intelek (Verstand) yang telah diselidiki sebelumnya di dalam Transcendental Analytic tidak dapat diabstraksikan lagi ke tingkat yang lebih umum untuk menghakimi secara logis, aku-transendental itu sendiri yang merupakan syarat a priori dari struktur kognitif transendental yang memungkinkan duabelas kategori intelek (Verstand).
Demikianlah korelasi antara aku-transendental, struktur kognitif transendental, dan duabelas kategori intelek. Ketiganya saling mungkin-memungkinkan satu sama lain sebagai syarat a priori yang dimulai dari aku-transendental sampai kepada forma intuitif a priori ruang-waktu. Pada akhirnya pemisahan antara penyelidikan Kant dalam Transcendental Analytic sebagai “the logic of truth” dengan penyelidikannya dalam Transcendental Dialectic sebagai “the logic of illusion” mengantarkan kita pada sisi lain daripada Idealisme Transendental yaitu Realisme Empiris.
2. Realisme Empiris dan Kritisisme
Realisme Empiris adalah tujuan sekaligus konsekuensi logis dari penyelidikan Kant atas syarat-syarat a priori pengetahuan di dalam Idealisme Transendental. Realisme Empiris menunjukkan objek-objek dari pengetahuan objektif (observasi) dan pengetahuan subjektif (persepsi) yang telah disyaratkan Idealisme Transendental, seperti objek yang nampak pada pengamatan: “sesuatu bagi diriku sendiri” (das ding für mich); gejala mental (susah–senang), gejala material (gerak–diam), dan gejala moral (adil–zalim).
Pada akhirnya baik Idealisme Transendental sebagai “syarat pengetahuan” maupun Realisme Empiris sebagai “objek pengetahuan” mewujudkan suatu kesatuan pandangan Filsafat Kant yang disebut “Kritisisme”. Pengertian kritisisme di sini sebagaimana yang dipahami Kant dengan istilah “kritik” yang berasal dari bahasa Yunani (krínein), yang berarti menguji, menilai, memutuskan. Pengertian ini dimaksudkan sebagai kemampuan Rasio Murni (reinen Vernunft) untuk mengetahui, terutama jangkauan dan batas-batasnya diuji, dinilai, dan diputuskan.