Selain putusan berdasarkan kemungkinan bentuk-bentuk logisnya, Kant dalam Critique of Pure Reason (A7/B11–B26/A13) & (A7/B11–B19), juga mengklasifikasikan putusan berdasarkan hubungan keterkandungan (enthalten) antara subjek dengan predikat, baik secara pengetahuan (epistemik) maupun secara maknawi (semantik). Berikut adalah pembagiannya;
- Putusan Analitik–A Priori: Putusan yang secara semantik, makna predikat telah terkandung di dalam subjek (analytic) sehingga pengetahuan yang diperoleh dari putusan ini tidak bergantung pada pengalaman (a priori). Menurut Kant putusan ini hanya menghasilkan tautologi yang berasal dari hukum identitas logika (A = A).
Co. Setiap tubuh memiliki keluasan
Co. 7 + 5 = 12, 12 = 12
Co. Bujangan itu belum menikah
- Putusan Sintetik–A Posteriori: Putusan yang secara semantik, makna predikat tidak terkandung di dalam subjek (synthetic) sehingga pengetahuan yang diperoleh dari putusan ini bergantung pada pengalaman (a posteriori). Menurut Kant putusan ini tidak akan mencapai derajat niscaya.
Co. Setiap tubuh memiliki berat
Co. Cuaca besok hari adalah hujan
- Putusan Analitik–A Posteriori: Putusan yang mustahil menurut Kant. Karena tidak mungkin ada putusan yang diperoleh dari pengalaman (a posteriori) namun secara intuitif tidak dapat menambah pengetahuan baru (analytic). Meskipun demikian menurut Stephen Palmquist (salah satu komentator Filsafat Kant), putusan ini dapat mungkin berdasarkan teori semantik modal “Keniscayaan A Posteriori” dari seorang filsuf-logikawan Amerika Serikat bernama Saul Kripke (1940–2022). Kripke mencetuskan teori rigid designator untuk menandai nama-nama diri (proper names) yang sekaligus mencakup semua deskripsinya dalam seluruh dunia-mungkin.
Co. Air adalah molekul Dihidrogen Monoksida (H2O)
Bentuk Proposisi: Air adalah molekul Dihidrogen Monoksida (H2O) itu benar di seluruh dunia yang mungkin.
Co. Pernapasan mengeluarkan molekul Karbon Dioksida (CO2)
Bentuk Proposisi: Pernapasan mengeluarkan molekul Karbon Dioksida (CO2) itu benar di seluruh dunia yang mungkin.
- Putusan Sintetik–A Priori: Putusan yang secara semantik makna predikatnya tidak terkandung di dalam subjek (synthetic) sehingga dapat menambah informasi baru bagi subjek, namun pengetahuan yang diperoleh dari putusan ini mendahului pengalaman (a priori). Inilah bentuk putusan yang sering digunakan dalam Ilmu Alam (natural science) dan Matematika. Menurut Kant, nilai-kebenaran dari jenis putusan ini dapat menentukan keabsahan Metafisika sebagai ilmu.
Co. 7 + 5 = 12 [Quantity: Unity]
Co. 12 ≠ ‘7’, ‘+’, ‘5’ [Quantity: Plurality]
Co. Dua belas adalah bilangan genap [Quantity: Totality]
Co. Rumah itu indah [Quality: Reality]
Co. Rumah itu tidak indah [Quality: Negation]
Co. Rumah itu bukanlah hunian [Quality: Limitation]
Co. Segitiga memiliki tiga sudut [Quiddity]
Co. Setiap peristiwa memiliki penyebab [Causality]
Co. Bangunan itu bukan rumah atau warung atau kantor atau dll [Community]
Co. Adalah mungkin bahwa besok hujan [Possibility–Impossibility]
Co. Adalah fakta bahwa Monas di Jakarta [Existence–non Existence]
Co. Adalah niscaya bahwa manusia akan mati [Necessary–Contingent]
Puncak dari penyelidikan Kant terhadap pengetahuan objektif (Transcendental Logic: Analytic) adalah mengenai “Skematisme (Schematismus)”, yaitu bagaimana kategori-kategori Intelek (Verstand) yang tersusun dalam struktur kognitif transendental ini, dapat berhubungan dengan atau diterapkan pada forma intuitif a priori (ruang-waktu) yang menentukan persepsi indrawi (Sinneswahrnehmung) sehingga hasilnya dalam bentuk putusan dapat bermakna secara logis. Menurut Kant dalam Critique of Pure Reason (B179/A140), skemata itu sendiri pada dasarnya hanyalah bagian dari fakultas imajinasi (Einbildungskraft: to image/takhayyul), jika tidak berhubungan dengan konten material yang telah melalui forma intuitif a priori (Ruang-waktu) dalam pencerapan indrawi.
Misalnya mengasosiasikan kategori-kategori Intelek (Verstand) seperti konsep “sebab” (Ursache/al-‘Illah) dari kategori relasi-kausalitas dengan konsep “tunggal” (Einheit/al-Wahdah) dari kategori kuantitas, atau seperti konsep “ada” (Dasein/al-Wujûd) dari kategori modalitas yang diasosiasikan dengan konsep “niscaya” (Notwendigkeit/al-Wâjib) dari kategori modalitas, dll terhadap suatu objek tanpa hubungannya dengan intuisi “Ruang-waktu” dalam pencerapan indrawi (Sinnlichkeit) hanyalah akan menjadi imajinasi (einbildung/takhayyul) bagi Kant. Sebagaimana tidak menempatkan gagasan sederhana (simple ideas) yang diperoleh secara intuitif melalui forma a priori ruang-waktu, ke dalam salah satu dari duabelas kategori intelek hanya akan menghasilkan putusan yang tautologis (analytic-a priori). Hal ini sekaligus juga mengingatkan kita pada pengaruh Filsafat Skeptis dari David Hume (1711–1776) yang diakui Kant sendiri telah menyadarkannya dari dogmatisme kaum rasionalis.
Tiap keduabelasan kategori intelek memiliki skema-nya masing-masing dalam bentuk putusan Sintetik-a priori (termasuk forma a priori ruang-waktu). Karakter sintetik diperoleh dari waktu sebagai intuisi murni, sementara karakter a priori diperoleh dari kategori intelek (Verstand) sebagai konsepsi murni. Oleh karena itu bagi Kant, skemata adalah aturan-aturan berbasis waktu yang memungkinkan kategori abstrak menjadi konkret dalam persepsi. Misalnya hubungan antara konsep sebab dengan konsep akibat dalam kategori Kausalitas dapat menjadi konkret melalui waktu. Begitupun dengan kategori Kuiditas bahwa konsep sifat (Accident) yang inheren di dalam konsep zat (Substance) secara subsis (bukan eksis) itu dapat pula menjadi konkret melalui waktu, dan lain sebagainya. Demikianlah bagaimana kategori intelek dengan objek eksternal dipertemukan beririsan dalam “ketentuan-waktu-transendental” sehingga pertemuan itu dapat disebut sebagai “Skematisasi” yang menentukan keilmiahan dari putusan Sintetik-a priori (Critique of Pure Reason, B178/A139). Karena menurut Kant, segala sesuatu yang dialami tidak dapat luput daripada waktu.
Menurut penulis, barangkali yang dimaksud Kant sebagai skemata adalah bentuk pengejawantahan kembali dari skema dalam kategori-pikiran kepada skema dalam kategori-putusan berupa formula;
- Skema dalam kategori-pikiran “Totalitas” yang diejawantahkan kembali pada skema dalam kategori-putusan “Universal” sehingga membentuk putusan Sintetik-a priori berupa formula, “segala sesuatu adalah” [∀xS]
- Skema dalam kategori-pikiran “Pluralitas” yang diejawantahkan kembali pada skema dalam kategori-putusan “Partikular” sehingga membentuk putusan Sintetik-a priori berupa formula, “sebagian sesuatu adalah” [∃xS]
- Skema dalam kategori-pikiran “Unitas” yang diejawantahkan kembali pada skema dalam kategori-putusan “Singular” sehingga membentuk putusan Sintetik-a priori berupa formula, “nama adalah” [∃!xS]
- Skema dalam kategori-pikiran “Realitas” yang diejawantahkan kembali pada skema dalam kategori-putusan “Afirmatif” sehingga membentuk putusan Sintetik-a priori berupa formula, “adalah sesuatu” [P]
- Skema dalam kategori-pikiran “Negasi” yang diejawantahkan kembali pada skema dalam kategori-putusan “Negatif” sehingga membentuk putusan Sintetik-a priori berupa formula, “bukanlah sesuatu” [¬P]
- Skema dalam kategori-pikiran “Limitasi” yang diejawantahkan kembali pada skema dalam kategori-putusan “Infinitas” sehingga membentuk putusan Sintetik-a priori berupa formula, “adalah nama” [A = B]
- Skema dalam kategori-pikiran “Kuiditas (substansi-aksidensi)” yang diejawantahkan kembali pada skema dalam kategori-putusan “Kategoris (subjek-predikat)” sehingga dapat membentuk putusan Sintetik-a priori berupa formula, “spesies adalah genus dan diferensial” [(∃g (Sg) ∧ ∀d (Sd)) → g = d]
- Skema dalam kategori-pikiran “Kausalitas (sebab-akibat)” yang diejawantahkan kembali pada skema dalam kategori-putusan “Hipotetis (anteseden-konsekuen)” sehingga membentuk putusan Sintetik-a priori berupa formula, jika “sesuatu memiliki sebab” maka “sesuatu memiliki akibat” [A → A]
- Skema dalam kategori-pikiran “Komunitas (aktor-pasien)” yang diejawantahkan kembali pada skema dalam kategori-putusan “Disjungtif (atau)” sehingga membentuk putusan Sintetik-a priori berupa formula, “diri atau liyan” [A ∨ ¬A]
- Skema dalam kategori-pikiran “Mungkin-Mustahil” yang diejawantahkan kembali pada skema dalam kategori-putusan “Problematik” sehingga membentuk putusan Sintetik-a priori berupa formula, “adalah mungkin bahwa sesuatu itu” [◇A]
- Skema dalam kategori-pikiran “Ada-Tiada” yang diejawantahkan kembali pada skema dalam kategori-putusan “Asertorik” sehingga membentuk putusan Sintetik-a priori berupa formula, “adalah fakta bahwa sesuatu itu” [⊨ A]
- Skema dalam kategori-pikiran “Niscaya-Kebetulan” yang diejawantahkan kembali pada skema dalam kategori-putusan “Apodiktik” sehingga membentuk putusan Sintetik-a priori berupa formula, “adalah niscaya bahwa sesuatu itu” [□A]
Prosedur berikutnya, “sesuatu” sebagai variabel logis atau “nama” sebagai konstanta logis yang terdapat di dalam putusan Sintetik-a priori dapat dipertukarkan (substitution) dengan data (konten material) yang diterima dari intuisi (ruang-waktu) sebagai argumen atau subjeknya. Ini seperti mencari pembenaran atas suatu pengetahuan dari asas bersama yang telah disediakan oleh kognisi bawaan (well formed formula). Dari sini terlihat bahwa tendensi Kant terhadap Rasionalisme yang mendasarkan keabsahan pengetahuan pada ide bawaan (innate ideas) dan pengaruh tidak langsung dari Epistemologi Kant terhadap Atomisme Logis yang nantinya mendasarkan filsafat pada analisis semantik dalam logika simbolik.
Nilai-kebenaran yang terkandung dalam formula putusan Sintetik-a priori seperti yang telah dicontohkan sebelumnya menentukan bagaimana Metafisika sebagai filsafat pertama (Prote Philosophia) itu mungkin. Jika skema disyaratkan terhubung dengan forma a priori ruang-waktu yang menyediakan konten material dalam pencerapan indrawi dari dunia eksternal, maka skema harus dibedakan dari sekedar “imajinasi (Einbildungskraft)” dengan “kognisi (Erkenntniskraft)” yang dapat memberikan daya logis/konseptual (Begriffe) pada putusan (Urteilskraft) untuk melakukan penyimpulan logis. Dengan demikian pernyataan metafisik dapat menjadi mungkin jika nilai-kebenaran-nya dapat diturunkan secara logis dari kategori intelek dalam bentuk putusan Sintetik-a priori yang diterapkan pada data-empiris sebagai subjek atau argumennya.
Demikianlah penyelidikan Kant dalam Transcendental Analytic yang berupaya menyelidiki syarat-syarat a priori dari pengalaman objektif. Dalam penyelidikan ini, Kant menemukan kategori intelek (Verstand) berdasarkan kemungkinan dapat diturunkannya dari bentuk-bentuk logis proposisi. Kategori intelek itu sendiri sebagai skema dalam bentuk putusan Sintetik-a priori, apabila tidak berhubungan dengan intuisi ruang-waktu yang memungkinkan pencerapan indrawi hanya akan menghasilkan pernyataan yang imajinatif. Sementara intuisi ruang-waktu itu sendiri akan menjadi samar jika tidak dipahami dalam konsep keserentakan dan keberturutan yang diperoleh secara eksternal. Karena itu dalam penyelidikan ini, kita menemukan bahwa pengetahuan terjadi secara aktif melalui skemata yang menghubungkan kategori intelek (konsepsi) dengan forma a priori ruang-waktu (intuisi). Penyelidikan ini sekaligus juga menunjukkan penyangkalan Kant terhadap pernyataan bahwa Idealisme Transendental malah terjebak ke dalam Idealisme itu sendiri, yaitu bahwa tanpa disadari penyelidikan ini justru menjadikan objektivitas pengetahuan bergantung pada kesadaran subjek (self-consciousness) yang disebut-sebut Kant sebagai syarat a priori itu.
Kant menyangkal gugatan Solipsisme (Skeptisisme Dunia Eksternal) demikian itu dengan menunjukkan bahwa representasi mental yang tersimpan di dalam intuisi batiniah (des Inneren Sinnes) bergantung pada konten material yang diterima dari intuisi lahiriah (des äusseren Sinnes). Seperti yang telah dikutip sebelumnya juga bahwa pikiran (mental) tanpa isi (material) itu kosong (formless), sebagaimana intuisi (kognisi langsung) tanpa konsepsi (kognisi taklangsung) itu buta (blind). Karena itu struktur kognitif transendental tidaklah menyeleksi kelayakan bagi konten material, melainkan hanya menyediakan wadah bagi representasi formal (putusan) sejauh dapat memastikan hubungan antara representasi mental yang diperoleh secara internal (pikiran) dengan konten material yang diperoleh secara eksternal (acuan), sehingga bentuk-bentuk pengetahuan (subjektif dan objektif) dapat menjadi mungkin untuk dibedakan. Singkatnya keterbatasan representasi mental -lah yang dapat menyederhanakan konten material menurut batas-batas a priori yang ditemukan di dalam representasi formal. Karena representasi mental itu sendiri perlu diejawantahkan kembali dalam bentuk putusan logis untuk menghasilkan pengetahuan yang terjustifikasi secara objektif (representasi formal). Demikianlah hubungan antara representasi formal (putusan), representasi mental (pikiran), dengan konten material (acuan) dapat dipandang secara seimbang.
Selain itu dalam Critique of Pure Reason (B275), Kant juga menyangkal pandangan “Idealisme Empiris” seperti dua pandangan filsuf berikut; filsuf Prancis bernama René Descartes (1596–1650) yang disebutnya sebagai “Idealisme Problematik” dan filsuf Irlandia bernama George Berkeley (1685–1753) yang disebutnya pula sebagai “Idealisme Dogmatik”. Dalam idealisme problematik, status ontologis dari seluruh objek diragukan sepenuhnya kecuali pernyataan empiris “Aku ada” sehingga mustahil pernyataan sederhana seperti itu dapat membuktikan segala hal yang telah diragukan sebelumnya. Sedangkan dalam idealisme dogmatik, status ontologis dari ruang hanya dianggap sebagai entitas imajiner hanya karena tidak terjangkau oleh persepsi batin. Oleh karena itu Kant mengajukan pandangan “Idealisme Transendental” yang tidak meragukan dan tidak pula reduktif terhadap fenomena mental melainkan menyelidiki secara kritis struktur kognitif a priori (mendahului pengalaman) yang tersedia bagi pengetahuan.
Dalam penyelidikan selanjutnya akan menjadi jelas bahwa pengetahuan sebagai suatu kesatuan yang utuh itu tidak dapat dinalar secara logis (melampaui common sense) sehingga objektivitas pengetahuan hanya bergantung pada penyimpulan logis berdasarkan syarat-syarat a priori yang telah ditemukan di dalam struktur kognitif transendental. Penyelidikan yang terakhir ini sekaligus juga menunjukkan sisi lain dari Idealisme Transendental, yaitu Realisme Empiris.