Mohon tunggu...
Sigit Santoso
Sigit Santoso Mohon Tunggu... Administrasi - Peduli bangsa itu wajib

fair play, suka belajar dan berbagi pengalaman http://fixshine.wordpress.com https://www.facebook.com/coretansigit/

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Debat ke-4: Pilih yang Memberi Hasil atau Jual Retorika

31 Maret 2019   17:23 Diperbarui: 31 Maret 2019   17:36 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi dan Iriana dengan priviledge khusus memantau bantuan pengungsi Rakhine State (suara.com)

Ketika sesi pertama debat Prabowo langsung menggebrak dengan "curhat" diserang hoax bahwa kubunya banyak bersarang kaum anti pancasila (pendukung HTI yang telah dibubarkan). Jokowi santai menetralkan dengan perbandingan dirinya yang sudah 4,5 tahun diserang tudingan sebagai antek PKI.

Dengan ini bangunan serangan layu sebelum berkembang. Apalagi, lebih susah mengcounter isu khilafah. Karena posisinya memang saling mutualisme. HTI yang dibubarkan harus punya tempat berlabuh, sedangkan kubu Prabowo yang menurut survey manapun tak lebih dari 33% suara butuh massa yang bisa menggerakkan massa anti Jokowi.

Uniknya Prabowo menegasikan dirinya lahir dari rahim seorang nasrani, dan sudah bersumpah mati demi NKRI saat jadi tentara. Artinya, kalaupun massa HTI ke Prabowo hanyalah kepentingan sesaat. Bukan loyalitas yang menjamin kemenangan. Namun demi tegaknya NKRI,  kemana pun massa HTI tetap terjepit ruang geraknya makin sempit. Karena kalaupun Prabowo menang, Prabowo punya jalan koalisi besar dengan kubu Jokowi untuk tetap menekan mereka. Karena mereka hanya diberi ruang hidup saja.

Sehingga, meski rival Jokowi-Prabowo jelas lebih punya kepentingan besar daripada sekedar komitmen underground memberi tempat bernaung bagi massa HTI.

Selanjutnya soal bagaimana memanajemeni angkatan bersenjata. Memang harus diakui dalam retorika Prabowo yang bersuara keras, penampilan, dan gestur lebih meyakinkan. Gayanya yang membongkar minimnya anggaran dan lemahnya diplomasi, sepertinya membius audience.

Namun Jokowi, sepertinya mengerti sekali kekuatan lawan. Dan, adalah hal bodoh memamerkan betapa kekuatan militer Indonesia punya efek "menggetarkan" di sembarang forum. Hanya untuk terlihat keren di debat presiden ? itu terlalu kecil nilainya di bandingkan rahasia negara. Jokowi hanya santai menunjukkan pemerintahannya merealisasikan pembentukan Divisi ketiga komando armada di Indonesia Timur. Tentu tidak akan menjawab pertanyaan bagaimana jika Indonesia diserang invasi tiba-tiba.

Prabowo sepertinya sengaja dibiarkan menguasai panggung. Mungkin kalau main bola Jokowi bermain parkir bus ala Mourinho. 75% lapangan silakan dikuasai , masalahnya apakah bikin goal ? Yang ada blunder. Data Prabowo anggaran militer Indonesia kecil ini kacau balau apalagi dibandingkan dengan Singapura. Ya tidak apple to apple. GDP nya saja jauh beda, apalagi rasionya. Dan, 

mengutip Yeni Wahid,"...Ini kata siapa, bukan kata saya. ini katanya Global Firepower Index, sebuah lembaga yang menghitung kekuatan militer di semua negara. Indonesia ini dianggap sebagai kekuatan super power kalau dikatakan ukuran militernya Indonesia ranking 15 dunia. Asean nomor 1, dunia nomor 15, Singapura nomor 59,"

Sehingga sebanyak-banyaknya anggaran ya belum tentu efektif. Ketika kemudian Prabowo mengutip adagium "si vis pacem para bellum"( jika ingin damai siaplah perang ) yang sangat terkenal itu memang tidak salah. Hanya saja, apakah memang prioritas bangsa untuk itu ?

Jokowi mengcounter sederhana menurut kajian intelijen strategis, Indonesia tidak akan ada invasi dalam 20 tahun mendatang, Prabowo langsung menyalahkan pembantu-pembantu presiden bahkan akan memecatnya hanya berdasarkan pengalamannya berperang di Timor Timur.  

Sebenarnya juga agak ganjil, karena jika menilik sejarah. Kalau Indonesia tidak bernafsu pada Timor Timur ya tidak ada perang. Salah satu noda HAM perang Indonesia juga pada sejarah Timor Timur.  

Adagium itu cocok ketika Perang habis-habisan hampir terjadi saat Sukarno mengumandangkan Komando Dwikora merebut Papua Barat dari Belanda. 

Indonesia mempunyai armada perang terkuat dengan supply dari USSR untuk menghadapi Belanda. Kekuatan itulah yang menggetarkan sehingga memaksa JFK memanggil sekutunya Belanda agar mau berunding untuk pelepasan Irian Barat di tahun 1963. Namun pelajaran besarnya, membangun angkatan perang sebesar itu melemahkan Indonesia secara ekonomi, yang akhirnya memicu kejatuhan Sukarno sendiri.

Sehingga ironis, yang dilontarkan Prabowo adalah meminta anggaran besar untuk militer tapi tanpa utang. Bagaimana caranya ? Dijawab pilih dia sebagai presiden dulu. Memilih kucing dalam karung.

Sementara Jokowi sudah jauh memberi bukti bahwa soal politik bebas aktif, Indonesia membawa modal riil sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar. 

Presiden Jokowi membantu moril rakyat Afganishtan dengan kunjungan kenegaraan walaupun ditengah teror bom (liputan6.com)
Presiden Jokowi membantu moril rakyat Afganishtan dengan kunjungan kenegaraan walaupun ditengah teror bom (liputan6.com)

Indonesia bisa tegas mendukung kedaulatan Palestina, presidennya tetap gagah berani ke Afganishtan walaupun ditengah teror bom dimana-mana, dan terakhir disebut jelas bahwa Indonesialah yang ditunjuk PBB memantau dan diberi priviledge hadir dalam  penanganan pengungsi di Rakhine State.

Presiden Jokowi dan Iriana dengan priviledge khusus memantau bantuan pengungsi Rakhine State (suara.com)
Presiden Jokowi dan Iriana dengan priviledge khusus memantau bantuan pengungsi Rakhine State (suara.com)

Disebut hanya nice guy ? Bahkan untuk menjadi nice guy yang dipercaya seantero dunia dengan segala keterbatasan hanya Jokowi saat ini presidennya yang bisa.

Anggaran pertahanan minim bisa jadi, tapi apakah tak melihat data bahwa prosentasenya terus naik drastis dari tahun ke tahun ?

kurang dari 10 tahun anggaran kemenhan sudah naik dua kali lipat (katadata.co.id)
kurang dari 10 tahun anggaran kemenhan sudah naik dua kali lipat (katadata.co.id)

Di era modern, perang adalah jalan terakhir. Meskipun kekuatan militer menaikkan bargaining power. Namun kembali lagi kesejahteraan rakyat nomor satu. Apalagi, sudah hadir era teknologi digital. Apakah harus tertinggal juga hanya untuk terlihat gagah ?

Siapa yang lebih cepat meninggalkan yang lambat. Yang lambat tertinggal, susah tumbuh menjadi selalu tergantung dan tak bisa mandiri. Maka kuncinya pada prioritas pembangunan. Maka, Indonesia butuh Jokowi sekali periode lagi, karena hanya dia yang tahu bagaimana mewujudkan pembangunan berkelanjutan itu. Bukan sekedar gagah-gagahan dalam emosi retorika.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun