Mohon tunggu...
Fitrur Rahman Albab
Fitrur Rahman Albab Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia

Belajar untuk menulis, Menulis untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Menggugat Kerentanan Pekerja "Gig Economy"

6 Agustus 2023   10:53 Diperbarui: 6 Agustus 2023   17:55 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat ini tentu kita sudah tidak asing lagi dengan jasa pengiriman barang. Kita dapat dengan mudah melakukan penyaluran barang ke lokasi yang kita tuju dengan bantuan jasa kurir. Bahkan saat pandemi Covid-19 kurir memiliki peran yang sangat vital saat pemerintah membatasi pergerakan masyarakat.

Tapi, kemudahan layanan yang kita nikmati ini harus dihadapkan pada realitas kesejahteraan para kurir yang berbanding terbalik dengan kenyamanan yang kita rasakan. Kita tentu masih ingat fenomena keluh kesah para kurir yang beredar melalui video yang diunggah di Tiktok dan Twitter.

Dalam video yang telah beredar, terdapat cerita mengenai seorang kurir jasa pengiriman yang mengungkapkan keluh kesahnya tentang tugas mengirimkan sejumlah besar paket.

Video tersebut telah ditonton sebanyak 1,8 juta kali dan menampilkan kurir dari salah satu perusahaan jasa pengiriman yang membawa tumpukan paket di bagian belakang motornya.

Berdasarkan berita yang dirilis KOMPAS.id pada video itu juga disertai tulisan "Uda ya Ka pesan paketnya, masa ga kasihan liat kami pulang subuh terus".

Tulisan lainnya adalah "Dear Customer, jika ingin melihat kami tetap bisa mengantar paketmu ke depannya tolong agak pengertian".

Di samping video tersebut, terdapat beberapa video lain di platform TikTok yang menunjukkan para kurir yang merasa kewalahan dengan lonjakan jumlah paket yang harus mereka kirim menjelang perayaan Lebaran.

Di antara video tersebut bahkan ada yang meminta konsumen menyetop check out (menyelesaikan transaksi) hasil belanja mereka di salah satu e-commerce nasional.

Belum lagi kasus penusukan kurir oleh konsumen yang terjadi di Banyuasin, Sumatera Selatan pada Sabtu (28/01/2023), kemudian kasus penodongan pistol oleh konsumen yang dialami kurir di Bogor pada Rabu (03/05/2021), dan juga masih banyak kasus kekerasan baik berupa fisik dan verbal yang dialami para kurir yang mayoritas dipicu oleh kesalahpahaman konsumen terutama terkait sistem cash on delivery atau COD.

Dengan maraknya kejadian tersebut menyebabkan beberapa aksi protes para kurir di tanah air yang menuntut Kementerian Ketenagakerjaan (kemnaker) Ida Fauziyah untuk memberikan perlindungan terhadap kurir yang kerap kali mendapatkan ancaman dan kekerasan dan juga jam kerja yang bisa mencapai 18 jam per hari namun tidak dibarengi dengan upah yang layak.

Bahkan, para kurir kerap mengalami pemangkasan upah meskipun marketplace atau perusahaan jasa pengiriman tempat kurir itu bermitra mencatatkan peningkatan pendapatan yang signifikan.

Realitas kurir ini hanya sebagian kecil dari fenomena gig economy atau ekonomi gig yang saat ini sedang marak berkembang. Ekonomi gig adalah sebuah istilah yang menggambarkan konsep tentang pekerjaan jangka pendek yang menawarkan fleksibilitas dalam hal jam kerja. Di Indonesia kita mengenal pekerjaan dengan karakteristik tersebut dengan sebutan freelance yang mayoritas berpusat di sektor informal.

Era ini memungkinkan para pekerja mempunyai waktu yang lebih luang untuk mengeksplorasi banyak hal dan dipercaya dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.

Tapi kenyataannya, gig economy menjadi jebakan bagi banyak pekerja. Pekerja lepas berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya, menerima upah yang lebih rendah dan kontrak yang tidak stabil tanpa prospek keamanan finansial, stabilitas pekerjaan, apalagi kemajuan karir.

Permasalahan pekerja lepas ini tidak hanya soal upah, tapi juga soal status pekerja. Misalnya, pada perusahaan berbasis jasa transportasi online, para kurir atau driver bekerja dengan status kemitraan. Artinya, perjanjian kerja dilakukan atas dasar kerja sama antara dua belah pihak. Dengan demikian, peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan tidak akan berlaku karena tidak ada hubungan kerja yang terjalin, tapi kemitraan.

Bila kita rujuk UU NO. 20/2008 tentang UMKM misalnya, sistem kemitraan seharusnya dijalankan dengan dasar prinsip saling memerlukan, saling mempercayai, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Tapi, hubungan kemitraan di era ekonomi gig sering kali hanya menguntungkan korporasi.

Kesepakatan kemitraan hanya dibuat oleh salah satu pihak yang bermitra, yakni korporasi. Seringkali, para pekerja lepas atau mitra dalam hal ini misalnya driver, kurir tidak punya, apalagi diberi, kesempatan untuk merumuskan kesepakatan dalam bermitra dan hanya diminta menyetujui.

Relasi kuasa yang timpang ini antara pemberi kerja dan pekerja menciptakan peluang terjadinya praktek kerja yang eksploitatif. Sebagian besar pekerja lepas dibayar di bawah UMP atau Upah Minimum Provinsi dan lebih dari 70% pekerja tidak mendapat bayaran lebih ketika mereka bekerja lembur.

Ketika terjadi kecelakaan kerja, mereka pun harus menanggungnya sendiri. Pola bisnis ini semakin dinormalisasi karena ketidakpastian dalam kontrak kerja yang membuat pekerja berada dalam posisi yang sangat kurang menguntungkan.

Fenomena inilah yang diperkenalkan oleh Guy Standing dalam bukunya 'The Precariat' yang merupakan gabungan dari dua terminologi, yaitu precarious (rentan) dan proletariat atau kelas pekerja. 

Jadi, prekariat artinya adalah kelas pekerja yang rentan. Istilah atau kaum prekariat ini menggambarkan sebuah kelas massa yang dicirikan oleh tenaga kerja yang tidak stabil, pendapatannya rendah dan tidak dapat diprediksi, dan mereka kehilangan hak-hak pekerja, bahkan hingga hilangnya hak sebagai warga negara.

Kelas atau kaum prekariat ini sangat bergantung pada upah uang, tanpa tunjangan non-upah, seperti pensiun, liburan berbayar, tunjangan PHK, apalagi jaminan Kesehatan. 

Mereka yang termasuk dalam kelas prekariat ini tidak memiliki identitas pekerjaan yang aman; tidak ada narasi pekerjaan yang bisa menjadi personalitas untuk hidup mereka. 

Meskipun ada beberapa yang senang dengan pekerjaan prekariat, seperti mahasiswa, backpacker, dan orang tua dengan pensiun yang memadai, banyak juga yang terpaksa mengambil pekerjaan prekariat karena tidak ada alternatif lain. Pekerja gig seringkali termasuk dalam kategori prekariat karena berhadapan dengan rendahnya keadilan dan kesejahteraan.

Jika melihat kondisi tersebut, lantas bagaimana mestinya kita melihat gig economy ini? Apakah ini peluang, atau justru ancaman? Apa resiko yang mungkin timbul dari perubahan yang cepat dalam dunia kerja ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun