Bahkan, para kurir kerap mengalami pemangkasan upah meskipun marketplace atau perusahaan jasa pengiriman tempat kurir itu bermitra mencatatkan peningkatan pendapatan yang signifikan.
Realitas kurir ini hanya sebagian kecil dari fenomena gig economy atau ekonomi gig yang saat ini sedang marak berkembang. Ekonomi gig adalah sebuah istilah yang menggambarkan konsep tentang pekerjaan jangka pendek yang menawarkan fleksibilitas dalam hal jam kerja. Di Indonesia kita mengenal pekerjaan dengan karakteristik tersebut dengan sebutan freelance yang mayoritas berpusat di sektor informal.
Era ini memungkinkan para pekerja mempunyai waktu yang lebih luang untuk mengeksplorasi banyak hal dan dipercaya dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.
Tapi kenyataannya, gig economy menjadi jebakan bagi banyak pekerja. Pekerja lepas berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya, menerima upah yang lebih rendah dan kontrak yang tidak stabil tanpa prospek keamanan finansial, stabilitas pekerjaan, apalagi kemajuan karir.
Permasalahan pekerja lepas ini tidak hanya soal upah, tapi juga soal status pekerja. Misalnya, pada perusahaan berbasis jasa transportasi online, para kurir atau driver bekerja dengan status kemitraan. Artinya, perjanjian kerja dilakukan atas dasar kerja sama antara dua belah pihak. Dengan demikian, peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan tidak akan berlaku karena tidak ada hubungan kerja yang terjalin, tapi kemitraan.
Bila kita rujuk UU NO. 20/2008 tentang UMKM misalnya, sistem kemitraan seharusnya dijalankan dengan dasar prinsip saling memerlukan, saling mempercayai, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Tapi, hubungan kemitraan di era ekonomi gig sering kali hanya menguntungkan korporasi.
Kesepakatan kemitraan hanya dibuat oleh salah satu pihak yang bermitra, yakni korporasi. Seringkali, para pekerja lepas atau mitra dalam hal ini misalnya driver, kurir tidak punya, apalagi diberi, kesempatan untuk merumuskan kesepakatan dalam bermitra dan hanya diminta menyetujui.
Relasi kuasa yang timpang ini antara pemberi kerja dan pekerja menciptakan peluang terjadinya praktek kerja yang eksploitatif. Sebagian besar pekerja lepas dibayar di bawah UMP atau Upah Minimum Provinsi dan lebih dari 70% pekerja tidak mendapat bayaran lebih ketika mereka bekerja lembur.
Ketika terjadi kecelakaan kerja, mereka pun harus menanggungnya sendiri. Pola bisnis ini semakin dinormalisasi karena ketidakpastian dalam kontrak kerja yang membuat pekerja berada dalam posisi yang sangat kurang menguntungkan.
Fenomena inilah yang diperkenalkan oleh Guy Standing dalam bukunya 'The Precariat' yang merupakan gabungan dari dua terminologi, yaitu precarious (rentan) dan proletariat atau kelas pekerja.Â
Jadi, prekariat artinya adalah kelas pekerja yang rentan. Istilah atau kaum prekariat ini menggambarkan sebuah kelas massa yang dicirikan oleh tenaga kerja yang tidak stabil, pendapatannya rendah dan tidak dapat diprediksi, dan mereka kehilangan hak-hak pekerja, bahkan hingga hilangnya hak sebagai warga negara.