Mohon tunggu...
Fitriyani
Fitriyani Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Sejarah dan Peradaban Islam UIN jakarta

Falling in love with what you do~

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sekulerisasi Setengah Hati: Partai Politik Indonesia (Resensi Buku)

3 Desember 2020   21:35 Diperbarui: 4 Desember 2020   11:21 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kredit sampul buku: Penerbit Dian Rakyat, 2010

Keterangan Buku

Judul              : Sekularisasi Setengah Hati: Politik Islam Indonesia dalam Periode Formatif

Penulis          : Irsyad Zamjani

Penyunting : M. Zaki Mubarok

Penerbitan  : Penerbit Dian Rakyat, 2010

Halaman      : xxxiv + 263 halaman

Mengapa Partai Politik Islam Tidak Berkembang?

Indonesia adalah negara dimana masyarakatnya mayoritas memeluk agama Islam.  Namun partai politik islam dinilai kurang maksimal dalam menjalankan perannya. 

Muncul hipotesa mengapa hal ini bisa terjadi. Sebagian sejarawan mengaitkan ini dengan masuknya islam ke Nusantara yang dibawa oleh para pedagang Gujarat, sehingga idealisme politik islam yang bercorak Timur Tengah tidak laku di masyarakat. 

Sebagian berpendapat bahwa ini dikarenakan kalangan islam yang selalu terlambat dalam memanfaatkan momentum. Irsyad Zamjani, mencoba menawarkan hipotesa lain soal mengapa partai politik islam gagal. 

Dalam buku “Sekularisasi Setengah Hati: Politik Islam Indonesia dalam Periode Formatif”, Irsyad Zamjani mengajukan hipotesa mengenai adanya proses Sekularisasi yang terjadi pada partai politik islam sebagai penyebab kegagalan.

Untuk membuktikan hipotesisnya, Zamjani coba mengupas periode demokrasi liberal yang berlangsung pasca-proklamasi karena dinilai periode tersebut adalah periode awal dan penting mengenai kiprah partai politik islam. 

Di akhir bukunya, Zamjani juga melihat lebih jauh ke era kini (pasca-orde baru) untuk melihat apakah proses sekularisasi tetap berlangsung pada partai politik islam.

Sekularisasi dalam Sejarah Indonesia

Politik etis yang diterapkan Kolonial Belanda memunculkan elit baru yang memberi corak dalam perlawanan melawan penjajah. Pada awalnya memang corak islam yang memegang kendali dengan adanya Sarekat Islam. 

Namun kemudian, kalangan islam mulai tergeser oleh elite baru yang dihasilkan politik etis. Pendidikan barat oleh Belanda melahirkan elite yang berpaham nasionalis, sosialis maupun komunis. Politik etis juga berpengaruh dalam kalangan islam, yakni munculnya islam modernis.

Adanya elite-elite baru ini ditandai dengan munculnya organisasi-organisasi perjuangan seperti Budi Utomo, Indische Partij, PNI, PKI, dll. Pendidikan ala barat ini juga nantinya dijadikan model Pendidikan di Indonesia dengan berbagai penyesuaian. Karenanya, institusi ini menjadi pesaing bagi institusi Pendidikan islam tradisional seperti pesantren. 

Dari kalangan islam sendiri, muncul organisasi untuk mentransformasi identitas politik-kultural dan ideologis baru. Islam modernis membentuk Muhamadiyyah, Sarekat Islam, Persatuan Islam (1920), Persyarikatan Ulama (1911), Jam’iyat Khair (1905), dll. Dan di kalangan tradisional membentuk NU (1926).

Sekularisasi Partai Politik Islam Era Demokrasi Liberal

Setelah Proklamasi, Kalangan islam memiliki pemahaman yang modern mengenai negara dan bagaimana aspirasi kalangan islam dijalankan lewat jalur resmi negara. Kalangan islam tidak memilih jalur kekerasan melawan negara dan lebih memilih berpartisipasi pada sistem demokrasi liberal. Peluang pembentukan partai pasca-kemerdekaan digunakan kalangan islam dan sepakat untuk mendirikan Masyumi. 

Sayangnya, pemerintahan era demokrasi liberal tidak berasal dari legitimasi suara rakyat karena belum adanya pemilu, sehingga penentuan komposisi pemerintahan berdasarkan kondisi-situasi yang berkembang saat itu.

Kemudian Naiknya Natsir menggantikan Soekiman menjadi ketua Masyumi, menandai perubahan pada tubuh Masyumi. Peran kalangan ulama makin terpinggirkan dalam penyelenggaraan partai dan pengambilan keputusan, digantikan kalangan modernis yang lebih awam agama namun dengan kemampuan organisatoris lebih baik. 

Pergeseran otoritas ini menandakan adanya proses sekularisasi, baik disadari maupun tidak. Puncak perubahan ini adalah keluarnya NU dari Masyumi. Bila keluarnya PSII belum memberikan pukulan telak, karena PSII secara jumlah jaun lebih kecil, namun keluarnya NU merupakan pukulan telak. 

Persaingan antara Masyumi dan NU terus berlanjut bahkan hingga pemilu. Persaingan antara kubu modernis yang diwakili Masyumi dengan kubu tradisionalis yang diwakili NU, bahkan menggantikan pada tingkat tertentu persaingan dengan kubu nasionalis maupun komunis. 

Persaingan ini pula menandakan adanya sekularisasi pada identitas kelompok, kelanjutan dari proses yang sudah berlangsung jauh sebelum kemerdekaan, yaitu saat pembentukan organisasi-organisasi islam dahulu.

Sekularisasi Partai Politik Islam Pasca Orde Baru

Kelanjutan sekularisasi terjadi pasca-orde baru, ketika partai-partai dibiarkan tumbuh, persis seperti era demorkasi liberal. Beberapa partai politik islam yang lahir pasca-orde baru berasal dari pergumulan ideologi era orde lama, yaitu NU, Muhammadiyah, Masyumi, dan Perti. 

Dari sekian banyak partai politik islam dari varian ini yang tersisa hanyalah PBB (Masyumi), PKB (NU) dan PAN (Muhammadiyah). Varian lain adalah warisan era orde baru, yaitu PPP. Varian berikutnya adalah partai dari generasi baru, diwakili PKS.

Proses sekularisasi terlihat dari PKB dan PAN yang memilih landasan nasionalis maupun kebangsaan sebagai dasar partai, dibanding islam. Sedangkan PPP memilih kembali berlandaskan islam dan memakai lambang ka’bah sebagai lambang partai. Sayangnya, setelah warga NU banyak yang beralih ke PKB, kekuatan PPP kian kendor.   

Sedangkan sebagai partai dari varian baru, PKS memilih berlandaskan islam. Di awal kehadirannya, PKS mampu menjelma menjadi harapan baru, namun tak lama. Setelah masuk menjadi bagian dari pemerintah, kiprah PKS berangsur mundur.

Perkembangnya suara partai islam pasca-reformasi dilihat merupakan akibat adanya pergeseran dari islam politik mengarah ke islam popular. 

Partai islam yang dapat merubah kecenderungan mengemas isu-isu ideologis menjadi isu-isu yang lebih popular menyentuh kebutuhan publik, lebih mendapatkan dukungan. Proses ini pun, oleh Zamjani disebut sebagai pertanda adanya proses sekularisasi.

Sekularisasi Setengah Hati

Proses sekularisasi yang dimulai dari akibat kebijakan politik etis dan berlangsung hingga era kini, ternyata tidak bisa menggeser sepenuhnya ideologi islam yang sudah jauh mengakar dalam masyarakat islam, sehingga sekularisasi yang ada hanyalah sekularisasi setengah hati.

Sekularisasi setengah hati ini mengakibatkan beberapa hal. Liberalisasi politik tidak sempat dikompromikan dengan segregasi ideologis yang telah terbangun cukup lama. 

Hasilnya adalah instabilitas pemerintahan dan konflik elite yang berkepanjangan. Elitisme juga tidak mampu berpadu dengan populisme. Hasilnya, transaksi-transaksi politik di tingkat elite tidak mampu mendamaikan komunalisme di level akar rumput. 

Selain itu, idealisme juga tidak mampu berjalan beriringan dengan pragmatisme. Hasilnya, kendatipun beberapa politisi partai islam mampu tampil menjadi kepala pemerintahan, cetak biru politik islam tidak juga bisa dirumuskan apalagi direalisasikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun