Meski diwarnai dengan pro dan kontra, lahirnya Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi jelas merupakan langkah maju untuk mencegah kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi.Â
Hadirnya Permendikbudristek PPKS ini diharapkan dapat meningkatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan seksual yang terjadi di satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi.
Akhir-akhir ini, kasus-kasus kekerasan seksual dalam kampus memang kerap mewarnai media. Survei yang dilakukan Kementerian Pendidikan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) tahun 2020, ternyata 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus (kompas.com, 12/11/2021). Hal inilah yang melatarbelakangi lahirnya Permendikbudristek PPKS yang ditetapkan pada tanggal 31 Agustus 2021 yang lalu.
Kekerasan seksual merupakan kekerasan yang merendahkan derajat martabat seseorang dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).Â
Dalam Pasal 28G ayat (2) UUD NKRI Tahun 1945 telah disebutkan, "Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain."Â
Hal ini sejalan dengan Pasal 33 ayat (1) UU HAM yang berbunyi, "Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya."
Bila merujuk pada KUHP, hanya ditemukan istilah perbuatan cabul yang diatur dalam Pasal 289 sampai Pasal 296 KUHP.Â
Menurut R. Soesilo, istilah "perbuatan cabul" merujuk pada Pasal 289 KUHP yang berbunyi, "Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul, dihukum karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana selama-selamanya sembilan tahun".
Unsur tindak pidana ini terdiri atas: (1) barang siapa; (2) dengan kekerasan atau ancaman kekerasan; (3) memaksa seseorang; (4) untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.Â
Dengan demikian, perbuatan ini jelas merupakan perbuatan tidak dikehendaki oleh si penerima perbuatan. Hal ini sudah sesuai dengan frasa "tanpa persetujuan korban" pada Pasal 5 ayat (2) Permendikbudristek PPKS yang dipermasalahkan oleh sejumlah pihak.Â
Pada hakikatnya, peraturan ini memang diperuntukkan untuk kekerasan seksual dalam lingkup perguruan tinggi, sedangkan perzinahan telah diatur dalam KUHP.
Salah satu lembaga yang mengapresiasi terbitnya Permendikbudristek PPKS ini adalah Komnas Perempuan.Â
Dalam siaran persnya pada tanggal 29 Oktober 2021 lalu, dikatakan bahwa Permendikbud 30/2021 adalah upaya untuk mewujudkan kampus yang aman, sehat, dan nyaman dari berbagai bentuk kekerasan berbasis gender terutama kekerasan seksual untuk melahirkan sumber daya manusia Indonesia yang unggul, manusiawi, dan berkarakter.
Bila ditilik lebih lanjut, Permendikbudristek PPKS memang memuat sejumlah pasal yang mendukung pencegahan terhadap kekerasan seksual di perguruan tinggi.Â
Dalam Pasal 4 disebutkan bahwa sasaran pencegahan dan penanganan dalam peraturan ini meliputi mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, warga kampus, dan masyarakat umum yang berinteraksi dengan mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan dalam pelaksanaan Tridharma.
Perguruan tinggi, tenaga kependidikan dan mahasiswa adalah pihak-pihak yang diwajibkan melakukan pencegahan kekerasan seksual dalam peraturan ini. Sejumlah pembatasan diatur untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.Â
Salah satunya adalah dengan membatasi pertemuan mahasiswa dengan pendidik dan tenaga kependidikan secara individu di luar area dan jam operasional kampus tanpa persetujuan kepala/ketua program studi atau ketua jurusan.
Pertemuan untuk kepentingan lain selain proses pembelajaran juga dilarang tanpa adanya persetujuan kepala/ketua program studi atau ketua jurusan.Â
Pencegahan sebagaimana diatur dalam Bab II peraturan ini memang diperlukan untuk menghindari terjadinya kekerasan seksual karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender.Â
Mengacu pada definisi kekerasan seksual dalam peraturan ini, kekerasan tersebut berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.
Pencegahan juga dilakukan melalui penguatan budaya komunitas mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan dalam bentuk komunikasi, informasi dan edukasi. Â
Hal ini dilaksanakan paling sedikit pada kegiatan: (a) pengenalan kehidupan kampus bagi mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan; (b) organisasi kemahasiswaan; dan/atau (c) jaringan komunikasi informal mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan.
Hadirnya Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual merupakan adalah langkah maju dalam peraturan ini.Â
Keberadaan Satgas akan memudahkan korban untuk melaporkan kekerasan seksual yang mereka alami.
Dalam peraturan ini, pelaporan tersebut dapat dilakukan melalui telepon, pesan singkat elektronik, surat elektronik, atau laman resmi milik perguruan tinggi.
Sebagai pedoman bagi perguruan tinggi untuk menyusun kebijakan dan mengambil tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang terkait dengan pelaksanaan Tridharma di dalam atau di luar kampus. Hadirnya Permendikbudristek PPKS diharapkan dapat mencegah terjadinya kasus-kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H