Sewaktu melihat kedatangannya, saudara-saudaranya menyapa dengan hangat. Sambil sarapan bersama, mereka berbincang tentang hidup sehari-hari. Ia tertawa dan tersenyum dalam percakapan itu, seperti yang orang-orang tahu tentang dirinya. Tak ada kesan murung yang ia tampakkan.
Usai sarapan, ia melanjutkan rutinitas hidupnya. Berkeliling, menyapa orang-orang dan melayani mereka. Semua hal ia kerjakan sebaik-baiknya. Ketika petang mulai turun demi mengawali kehadiran senja, ia menengadahkan wajah dan sebuah pertanyaan dari seseorang menggema dalam benaknya: apa warna langit di kotamu?
Kenangan tentang kanak-kanak yang bercengkerama di pengungsian melintas. Bibir mereka mengukir senyum meskipun sorot mata mereka sarat dengan derita. Ia ada di sana, bersama seseorang yang kemudian menjelma menjadi sepotong kenangan. Hari itu, senja yang bertakhta di langit menjadi saksi pertemuan terakhir.
Perih merambat di ruang kecil dalam hatinya. Hening. Ia berhenti memikirkan apa pun. Ketika ia memejamkan mata, senja perlahan menghampiri, lalu memeluknya.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H