Kisah Satu
Ia kehilangan kenangan dalam suatu banjir. Buku-buku, mainan masa kanak-kanak, puluhan surat, dan segala yang tersimpan dalam kaleng biskuit berbentuk bundar. Sejak itu pula, ia berjuang hidup untuk menciptakan kenangan baru. Ia gagal sekali, dua kali, bahkan berkali-kali. Ketabahan terus mengujinya dan seolah tak sedikit pun memberinya celah.
Lalu, dalam hatinya muncul ceruk yang kian hari semakin dalam. Ia berjuang menutup ceruk itu dengan ribuan kalimat yang sama: aku baik-baik saja. Namun, ia tak pernah bisa menghindari dirinya sendiri. Ia tahu, suatu hari nanti mungkin ia akan bersembunyi dalam ceruk itu.
Ia mengadu kepada langit, matahari, dan rembulan. Ia pergi ke pantai, gunung, bukit, dan berbaring di rerumputan. Namun, tiada tempat dan tuju yang mampu memberikan kelegaan. Ia berharap ceruk itu lenyap seiring niatnya, tapi segala upaya tak jua mengabulkan harapannya.
Sepotong kenangan yang tersimpan rapat dalam kaleng biskuit itu kini telah lenyap, satu-satunya yang tersisa dari perpaduan semburat jingga senja dan senyum hangat dalam pertemuan terakhir. Setiap kali ia memandang sepotong kenangan itu, sebuah pertanyaan selalu menggema dalam benaknya: apa warna langit di kotamu?
Empat belas tahun telah berlalu. Lenyapnya sepotong kenangan itu menghadirkan kesadaran bahwa senyum itu akan sirna perlahan dari ingatannya dan ia akan kehilangan pertanyaan itu untuk selamanya.
Hening. Ia menatap ke luar jendela. Rembulan di luar jendela tampak kesepian. Ia mengurung sepi miliknya dalam pejam yang lama. Kenangan tentang kanak-kanak yang bercengkerama di pengungsian melintas. Bibir mereka mengukir senyum meskipun sorot mata mereka sarat dengan derita. Ia ada di sana, bersama seseorang yang kemudian menjelma menjadi sepotong kenangan. Hari itu, senja yang bertakhta di langit menjadi saksi pertemuan terakhir.
Ceruk itu terlalu dalam. Ia tak bisa lagi menghindarinya. Dalam pejam, ia memasuki ceruk itu untuk bersembunyi. Tak ada lagi pertanyaan. Tiada lagi kenangan. Hening.
Kisah Dua
Setiap pagi, ketika membuka jendela, ia akan mengenang seseorang. Semenit, dua menit, hingga lima menit, ia menutup mata dan senja kala itu melintas dalam ingatannya. Kenangan ucapan selamat tinggal itu masih membekas dalam hatinya.
Saat membuka mata kembali, ranting-ranting pepohonan yang bergoyang-goyang pelan seolah menghiburnya. Ia tersenyum pahit dan bertanya-tanya, mengapa perih dari empat belas tahun yang lalu masih selalu hadir dalam paginya?
Ketika pintu kamar terbuka, anjing kesayangannya mengggoyang-goyangkan ekor untuk mengucapkan selamat pagi. Saat melihat bulu lembut hewan itu, ia teringat gulungan benang wol milik seseorang. Ia tersentak saat bunyi salak terdengar. Anjing itu menuntut perhatian penuh darinya. Ia mengelus kepala anjing itu sekali, lalu bergegas menuju ruang makan.
Sewaktu melihat kedatangannya, saudara-saudaranya menyapa dengan hangat. Sambil sarapan bersama, mereka berbincang tentang hidup sehari-hari. Ia tertawa dan tersenyum dalam percakapan itu, seperti yang orang-orang tahu tentang dirinya. Tak ada kesan murung yang ia tampakkan.
Usai sarapan, ia melanjutkan rutinitas hidupnya. Berkeliling, menyapa orang-orang dan melayani mereka. Semua hal ia kerjakan sebaik-baiknya. Ketika petang mulai turun demi mengawali kehadiran senja, ia menengadahkan wajah dan sebuah pertanyaan dari seseorang menggema dalam benaknya: apa warna langit di kotamu?
Kenangan tentang kanak-kanak yang bercengkerama di pengungsian melintas. Bibir mereka mengukir senyum meskipun sorot mata mereka sarat dengan derita. Ia ada di sana, bersama seseorang yang kemudian menjelma menjadi sepotong kenangan. Hari itu, senja yang bertakhta di langit menjadi saksi pertemuan terakhir.
Perih merambat di ruang kecil dalam hatinya. Hening. Ia berhenti memikirkan apa pun. Ketika ia memejamkan mata, senja perlahan menghampiri, lalu memeluknya.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H