"Kau berkata seolah-olah kau mengerti arti kasih."
Iblis tertawa keras. Membahana. Langit-langit rumah tampak bergetar.
"Inilah hal yang kusuka darimu. Kau sangat berterus terang."
Aku berpura-pura tak mengacuhkan kata-kata iblis. Mataku terpaku pada ibu yang masih saja menangis. Tiga kakak laki-lakiku duduk mematung di sekitar ibu. Mereka tahu, tak ada kata-kata yang bisa menghibur ibu pada malam tahun baru kali ini. Kami berempat, anak-anak ibu, benar-benar tidak berguna dalam situasi ini.
"Kau ingin balas dendam pada mereka?" pancing iblis.
"Aku tidak tahu caranya." Sepasang tanganku mengepal, mengingat kelakuan istri almarhum kakakku yang melanggar wasiat suaminya. Ia juga melukai hati ibuku dengan kata-kata dan sikapnya. Terkutuk.
"Tidak dengan salah satu pun dari mereka?" goda iblis.
"Seandainya aku bisa," kataku getir sambil mengenang kepergian istri kakak laki-laki tertuaku. Perempuan itu tak lebih dari benalu yang menumpang hidup lalu pergi seenaknya. Sejak awal, perempuan itu sudah bertingkah sesuka hatinya. Tak sehari pun kakak laki-laki tertuaku merasakan manisnya pernikahan. Namun, tak ada yang bisa kulakukan. Aku tak bisa ikut campur soal pilihan hati seseorang.
"Lalu, untuk apa kau mengundangku?" Iblis menunjukkan raut bosan. "Apakah kau cuma ingin berkeluh kesah?"
"Tolong, pikirkan cara agar ibuku tidak menangis lagi."
Iblis kembali bertawa. Kali ini lebih keras. Langit-langit rumah seperti akan runtuh.