Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Ibu Masih Saja Menangis

1 Januari 2019   16:36 Diperbarui: 2 Januari 2019   06:36 1719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak lama aku menyadari sesuatu. Iblis bertahta dalam diriku. Hampir separuh usiaku, iblis mengambil keputusan-keputusan penting dalam hidupku. Kadang-kadang, ia menghasutku. Jika kau berpikir bahwa iblis senantisa kejam, mungkin kau keliru. Karena akulah yang tak bisa hidup tanpa dirinya. Aku membutuhkan kehadirannya. Alasan itulah yang membuatku mengundang iblis dalam kehidupanku. Itu berarti, hadirnya iblis semata-mata adalah untuk memenuhi undanganku.

Tiga ratus enam puluh hari telah berlalu. Ini bulan pertama tahun ini. Tahun lalu adalah tahun penuh kemalangan bagiku. Kakak laki-lakiku meninggal dunia. Belum lagi pupus kesedihan di hatiku, istri kakak tertuaku minggat dari rumah. Entah apa alasannya. Yang kuingat hanyalah, perempuan itu suka sekali berbincang seharian di telepon. 

Mungkin baginya, orang-orang di sekelilingnya sangat membosankan, sehingga lebih nyaman baginya untuk bicara dengan orang-orang yang jauh darinya. Aku tak pernah benar-benar memahaminya, hingga ia tiba-tiba pergi tanpa sepatah kata permisi.

Orang yang paling bersedih di dunia adalah ibuku. Aku menyimpulkan demikian saat menyadari tubuh ibu kian kurus dari hari ke hari. Kemuramannya menghadirkan mendung dalam keluarga kami. Ibu menangis. Tadi, aku melihat ibu menangis. Hei, kau lihat tidak ibu sedang menangis di kamar? Kalimat-kalimat seperti itu berbalasan di antara kami berempat hampir setiap hari. 

Lama-kelamaan, melihat ibu menangis menjadi rutinitas yang tak dapat dihindari. Mungkin ibu harus menangis agar hatinya lega. Meski kelegaan itu tampaknya tak kunjung tiba. Ibu masih saja menangis hingga malam tahun baru tiba. Aku dan ketiga kakakku hanya bisa menyaksikan air mata terus menggenang di pelupuk mata ibu tanpa mampu melakukan apa-apa.

Menyaksikan semua kepiluan itu membuatku hatiku gundah. Padahal, aku telah memutuskan untuk tidak mengundang iblis di malam tahun baru. Sesekali, aku ingin memiliki hidupku sendiri tanpa kehadiran iblis. Ternyata, mewujudkan keinginan tidaklah semudah itu.

"Jadi, kau mengundangku?" Iblis menyeringai padaku. "Bukankah sebelumnya kau tak menginginkan kehadiranku malam ini?"

"Jangan mengejekku."

"Lantas, kau mau aku bagaimana?"

"Aku sudah tak tahan melihat tangis ibu."

"Ibumu menangisi nasib anak-anaknya. Hal yang harus dilakukan seorang ibu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun