Setiap kali saya melewati jalan sepi ini, langkah saya akan terhenti pada sebuah mural di dinding abu-abu yang berada di sisi kiri jalan. Hal itu seperti suatu keharusan yang terelakkan. Semacam perasaan terikat hadir ketika saya memandangi mural perempuan cantik yang sedang tersenyum sambil menggenggam cangkir itu.Â
Senyum itu menyemangati saya di pagi hari, sebelum saya harus menunggu datangnya bis, berdesak-desakan, dan menempuh menit-menit macet menuju pabrik tempat saya bekerja.
Sebenarnya, bukan mural itu saja yang menghiasi dinding abu-abu sepanjang belasan meter itu. Masih ada yang lainnya. Hanya saja, kabarnya mural perempuan cantik itu merupakan karya seniman tersohor yang kebetulan sedang melintas. Entah mengapa, saya lebih tertarik dengan isi cangkir dan alasan mengapa perempuan itu menggenggam cangkir erat-erat dengan kedua telapak tangannya.Â
Awalnya, saya menduga cangkir itu berisi kopi, teh atau cokelat panas. Perempuan itu pasti tersenyum bahagia karena jemarinya menjadi hangat. Tapi di lain waktu, saya menyingkirkan dugaan itu. Tak ada kepulan pada lukisan itu.Â
Perempuan itu takkan mampu menggenggam cangkirnya seerat itu bila isinya benar-benar panas, bukan? Saya menyimpulkan, cangkir itu pastilah berisi minuman hangat. Hangat, bukan panas. Isinya mungkin minuman kesukaan yang membuat perempuan itu tersenyum.
Sudah setahun saya menetap di daerah ini. Tepatnya ketika ibu memutuskan meninggalkan suami ketiganya, seorang lelaki pemabuk pecandu alkohol dan sumpah serapah.Â
Saya selalu heran, mengapa ibu memercayai lelaki seperti itu. Sama herannya saat melihat sepasang alis ibu yang nampak sehitam arang dan gincunya yang lebih menyala dari cabe merah di pasar. Tetapi saya tak dapat berbuat banyak dengan keheranan itu, karena menurut pengalaman saya, keingintahuan cuma akan mendatangkan malapetaka.
"Anak lancang! Berani kau mencampuri urusanku!" teriak ibu dengan kemarahan berkobar.
Plak. Pipi kiri saya memerah setelahnya. Waktu itu saya menerimanya gara-gara keberatan atas pernikahan ibu untuk ketiga kalinya. Sejak itu pula, saya memilih menerima apa pun yang menjadi kemauan ibu. Pasrah. Pun ketika ibu menyuruh saya berhenti sekolah dan melamar kerja di sebuah pabrik.
"Kau tinggal bawa lamaran. Temui kawanku di sana," suruh ibu singkat sambil menebalkan lapisan bedaknya. Cermin retak di kamar sempit kami memantulkan bentuk wajahnya yang bulat.
Saya diam saja. Tak mengangguk apalagi menjawab. Kalimat ibu serupa titah. Jadi, sebaiknya laksanakan saja. Tidak ada jalan lain. Mungkin bila saya menghasilkan uang, ibu akan bersikap lebih baik dan tak perlu bersama lelaki lain yang lebih keliru. Cuma itu harapan saya.
Kawan ibu yang saya temui riasannya mirip dengan ibu. Baik alis, bedak, maupun gincunya. Sepasang matanya lebih tajam dari elang. Tatapannya menelanjangi sekujur tubuh saya.Â
Saya sempat berpikir, ia akan menemukan kutil yang sedang mekar di sela jemari kaki saya atau melihat tanda lahir kecil di siku tangan kiri saya. Sebuah pulpen berada dalam genggamannya. Sambil bicara, perempuan itu berulangkali memencet pulpen. Klik. Saya merasa seperti sedang diinterogasi.
"Jadi kamu anak gadisnya Laela?" Klik. Perempuan itu menyebutkan nama gadis ibuku.
Saya mengangguk gugup.
"Sudah pernah bekerja?" Klik. Sepasang matanya mendelik penuh selidik.
"Belum pernah, Bu..."
"Tidak masalah. Kamu boleh kerja di sini. Tapi ingat!" Klik. "Kerja yang baik! Jangan bikin malu saya. Mengerti?" Klik.
"Baik, Bu..."
Hari-hari berpeluh pun dimulai. Pagi-pagi sekali saya sudah meninggalkan rumah. Ketika hari lewat petang, saya tiba di rumah dengan seragam kotor. Setiap pintu rumah terbuka, bau asap rokok memenuhi seisi rumah. Jejak lelaki. Saya tak pernah peduli juga tak ingin tahu. Selesai berganti baju, saya merebahkan diri di kasur tipis lalu memejamkan mata. Letih. Ibu tak memedulikan saya. Perempuan itu asyik berbincang sambil cekikikan dengan seseorang di ponselnya. Selain di awal bulan-saat saya gajian-ibu memang tak pernah menyambut kepulangan saya. Lembaran-lembaran rupiah memang lebih menarik perhatiannya.
Saya pernah mengajak ibu pindah ke daerah yang lebih dekat dengan pabrik. Tapi ibu menolak mentah-mentah. Entah apa alasannya. Sejak saya mulai bekerja, ibu bersikap lebih baik. Ia tak pernah membentak atau marah-marah seperti dulu. Sesekali, saya menemukan makanan terhidang di atas meja. Saya bersyukur atas semua itu. Hingga suatu hari, ibu menyampaikan niatnya untuk menikah lagi.
"Ibu sudah menemukan lelaki yang tepat." Ibu mengawali maksudnya  lima menit setelah saya tiba di rumah. "Ibu akan menikah. Lelaki itu akan tinggal bersama kita di sini."
Saya seperti tersengat lebah. Lagi? "Bu, boleh saya bicara?" Saya tak dapat menahan diri untuk tidak menanggapi niatnya.
"Kamu tak setuju?" Nada suara ibu mulai naik.
"Rumah ini sempit. Untuk kita berdua saja sudah..."
"Kita bisa pindah. Lelaki itu punya pekerjaan," bantah ibu.
"Ini sudah keempat kalinya. Bagaimana kalau ternyata lelaki itu..."
"Kamu meragukan pilihan Ibu? Jangan mentang-mentang kamu sudah bekerja, kamu bisa berkata seenaknya!" Ibu mulai berang.
"Bukan begitu, Bu... Saya cuma khawatir." Saya memelankan suara. Jangan sampai ibu menghadiahkan tamparan di pipi saya.
"Sudahlah! Kamu harus terima keputusan Ibu! Titik!" Ibu beranjak meninggalkan saya.
Saya terdiam. Berjam-jam lamanya. Lalu, pelan-pelan saya membuka pintu depan dan meninggalkan rumah tanpa alas kaki. Langkah saya terasa ringan saat menyusuri jalanan sepi. Saya ingin malam ini tak berakhir, agar hari di mana saya harus menyaksikan pernikahan ibu takkan pernah tiba. Pikiran konyol itu membuat saya tertawa keras-keras.
Tanpa saya sadari, saya telah berada di depan mural perempuan cantik. Perempuan itu masih tersenyum bahagia seperti hari-hari kemarin. Ia sungguh beruntung, karena tak perlu merasakan derita yang saya alami.Â
Saya meraba cangkir dalam genggaman perempuan itu, berharap agar kehangatan mengaliri jemari saya. Tapi harapan itu dijawab oleh dinginnya tembok yang bisu. Saya menyandarkan tubuh pada tembok abu-abu dan memejamkan mata beberapa saat. Hingga saya merasakan sebuah tangan membekap mulut saya.
"Jangan melawan." Suara dalam penuh hasrat terdengar di telinga saya. Â Ujung benda tajam menggores leher saya. Nyeri. Saya tak dapat melihat wajah orang itu karena berada tepat di belakang saya.Â
Saya menoleh ke kanan dan ke kiri. Tapi, tak seorang pun berada di sekitar kami. Perlawanan saya tak ada artinya. Orang itu terlalu kuat. Ia mendorong saya untuk terus berjalan. Saya benar-benar dalam bahaya. Saat melirik ke arah dinding, perempuan itu tampak bersedih. Â Â Â Â
Orang itu membawa saya memasuki sebuah tikungan sempit. Air mata saya mengalir deras. Saya ingin meneriakkan kata ibu, tapi mulut saya terbungkam. Jika bisa pun, belum tentu ibu mendengar atau memedulikan saya. Ketika orang itu mulai mengimpit tubuh saya, saya merasa inilah akhir kehidupan saya.
Dunia saya benar-benar runtuh. Tubuh saya teronggok tak berdaya. Orang itu meninggalkan saya layaknya sampah tanpa sepatah kata. Saya memunguti pakaian saya yang berserakan dengan tangan gemetar.
Saya cuma berpikir untuk meninggalkan tempat itu. Segera. Langkah saya tersaruk-saruk di bawah lampu jalan remang-remang. Samar-samar, saya melihat seseorang sedang berdiri menunggu saya. Dalam jarak beberapa langkah, barulah saya menyadari. Itu sosok perempuan mural.
"Kamu???" Saya heran bukan kepalang. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?
"Ya, ini saya. Maafkan saya karena tak mampu menolongmu," bisiknya sedih. "Saya benar-benar menyesal..."
Tetesan-tetesan bening mengaliri pipi saya. Saya tersedu-sedu. Perempuan itu merengkuh saya dalam pelukannya. Hangat. Saya tak menyangka bahwa sebuah pelukan akan sehangat itu.
"Minumlah ini. Kamu akan merasa lebih baik." Perempuan itu menyodorkan cangkir dalam genggamannya.
Tangisan saya terhenti. Saya hirup cairan dalam cangkir itu perlahan. Cokelat hangat. Akhirnya, saya mengetahui rahasia isi cangkir perempuan itu. Rasanya sungguh nikmat. Rasa ngilu di tubuh saya berangsur-angsur sirna. Begitu pun kepahitan dalam hati saya. Semuanya memudar seiring kehangatan cokelat yang mengaliri tubuh saya. Â Â Â Â Â
"Bagaimana?"
"Ini minuman ajaib," bisik saya takjub.
Perempuan itu tersenyum. "Kamu boleh meminumnya setiap hari bila mau. Ikutlah dengan saya."
"Ikut denganmu?"
"Ya," angguk perempuan itu. "Tinggalkan semua deritamu. Kamu mau?"
Tawaran yang sungguh menggiurkan. Mengapa tidak? Bukankah saya akan berbahagia?
"Saya mau."
Perempuan itu  tersenyum. Saya membalas senyumannya. Perempuan itu  menuntun saya memasuki dinding abu-abu. Jalan kembali sepi.
***
Pagi baru dimulai. Orang-orang mulai berjalan melewati dinding abu-abu. Seorang perempuan cantik berhenti dan mengamati mural di dinding.
"Mural yang bagus," puji perempuan itu sambil mengamati mural dua orang perempuan yang sedang  menggenggam secangkir kopi bersama-sama.
Tak lama kemudian, gerimis turun tiba-tiba. Perempuan itu berlari-lari kecil menuju halte bis terdekat. Saya tersenyum.
***
Tepian DanauMu, 10Â Mei 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H