Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Perempuan Mural

10 Mei 2018   13:46 Diperbarui: 11 Mei 2018   22:10 3055
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi:clickandgo.com

"Jangan melawan." Suara dalam penuh hasrat terdengar di telinga saya.  Ujung benda tajam menggores leher saya. Nyeri. Saya tak dapat melihat wajah orang itu karena berada tepat di belakang saya. 

Saya menoleh ke kanan dan ke kiri. Tapi, tak seorang pun berada di sekitar kami. Perlawanan saya tak ada artinya. Orang itu terlalu kuat. Ia mendorong saya untuk terus berjalan. Saya benar-benar dalam bahaya. Saat melirik ke arah dinding, perempuan itu tampak bersedih.       

Orang itu membawa saya memasuki sebuah tikungan sempit. Air mata saya mengalir deras. Saya ingin meneriakkan kata ibu, tapi mulut saya terbungkam. Jika bisa pun, belum tentu ibu mendengar atau memedulikan saya. Ketika orang itu mulai mengimpit tubuh saya, saya merasa inilah akhir kehidupan saya.

Dunia saya benar-benar runtuh. Tubuh saya teronggok tak berdaya. Orang itu meninggalkan saya layaknya sampah tanpa sepatah kata. Saya memunguti pakaian saya yang berserakan dengan tangan gemetar.

Saya cuma berpikir untuk meninggalkan tempat itu. Segera. Langkah saya tersaruk-saruk di bawah lampu jalan remang-remang. Samar-samar, saya melihat seseorang sedang berdiri menunggu saya. Dalam jarak beberapa langkah, barulah saya menyadari. Itu sosok perempuan mural.

"Kamu???" Saya heran bukan kepalang. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?

"Ya, ini saya. Maafkan saya karena tak mampu menolongmu," bisiknya sedih. "Saya benar-benar menyesal..."

Tetesan-tetesan bening mengaliri pipi saya. Saya tersedu-sedu. Perempuan itu merengkuh saya dalam pelukannya. Hangat. Saya tak menyangka bahwa sebuah pelukan akan sehangat itu.

"Minumlah ini. Kamu akan merasa lebih baik." Perempuan itu menyodorkan cangkir dalam genggamannya.

Tangisan saya terhenti. Saya hirup cairan dalam cangkir itu perlahan. Cokelat hangat. Akhirnya, saya mengetahui rahasia isi cangkir perempuan itu. Rasanya sungguh nikmat. Rasa ngilu di tubuh saya berangsur-angsur sirna. Begitu pun kepahitan dalam hati saya. Semuanya memudar seiring kehangatan cokelat yang mengaliri tubuh saya.         

"Bagaimana?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun