Saya seperti tersengat lebah. Lagi? "Bu, boleh saya bicara?" Saya tak dapat menahan diri untuk tidak menanggapi niatnya.
"Kamu tak setuju?" Nada suara ibu mulai naik.
"Rumah ini sempit. Untuk kita berdua saja sudah..."
"Kita bisa pindah. Lelaki itu punya pekerjaan," bantah ibu.
"Ini sudah keempat kalinya. Bagaimana kalau ternyata lelaki itu..."
"Kamu meragukan pilihan Ibu? Jangan mentang-mentang kamu sudah bekerja, kamu bisa berkata seenaknya!" Ibu mulai berang.
"Bukan begitu, Bu... Saya cuma khawatir." Saya memelankan suara. Jangan sampai ibu menghadiahkan tamparan di pipi saya.
"Sudahlah! Kamu harus terima keputusan Ibu! Titik!" Ibu beranjak meninggalkan saya.
Saya terdiam. Berjam-jam lamanya. Lalu, pelan-pelan saya membuka pintu depan dan meninggalkan rumah tanpa alas kaki. Langkah saya terasa ringan saat menyusuri jalanan sepi. Saya ingin malam ini tak berakhir, agar hari di mana saya harus menyaksikan pernikahan ibu takkan pernah tiba. Pikiran konyol itu membuat saya tertawa keras-keras.
Tanpa saya sadari, saya telah berada di depan mural perempuan cantik. Perempuan itu masih tersenyum bahagia seperti hari-hari kemarin. Ia sungguh beruntung, karena tak perlu merasakan derita yang saya alami.Â
Saya meraba cangkir dalam genggaman perempuan itu, berharap agar kehangatan mengaliri jemari saya. Tapi harapan itu dijawab oleh dinginnya tembok yang bisu. Saya menyandarkan tubuh pada tembok abu-abu dan memejamkan mata beberapa saat. Hingga saya merasakan sebuah tangan membekap mulut saya.