Kawan ibu yang saya temui riasannya mirip dengan ibu. Baik alis, bedak, maupun gincunya. Sepasang matanya lebih tajam dari elang. Tatapannya menelanjangi sekujur tubuh saya.Â
Saya sempat berpikir, ia akan menemukan kutil yang sedang mekar di sela jemari kaki saya atau melihat tanda lahir kecil di siku tangan kiri saya. Sebuah pulpen berada dalam genggamannya. Sambil bicara, perempuan itu berulangkali memencet pulpen. Klik. Saya merasa seperti sedang diinterogasi.
"Jadi kamu anak gadisnya Laela?" Klik. Perempuan itu menyebutkan nama gadis ibuku.
Saya mengangguk gugup.
"Sudah pernah bekerja?" Klik. Sepasang matanya mendelik penuh selidik.
"Belum pernah, Bu..."
"Tidak masalah. Kamu boleh kerja di sini. Tapi ingat!" Klik. "Kerja yang baik! Jangan bikin malu saya. Mengerti?" Klik.
"Baik, Bu..."
Hari-hari berpeluh pun dimulai. Pagi-pagi sekali saya sudah meninggalkan rumah. Ketika hari lewat petang, saya tiba di rumah dengan seragam kotor. Setiap pintu rumah terbuka, bau asap rokok memenuhi seisi rumah. Jejak lelaki. Saya tak pernah peduli juga tak ingin tahu. Selesai berganti baju, saya merebahkan diri di kasur tipis lalu memejamkan mata. Letih. Ibu tak memedulikan saya. Perempuan itu asyik berbincang sambil cekikikan dengan seseorang di ponselnya. Selain di awal bulan-saat saya gajian-ibu memang tak pernah menyambut kepulangan saya. Lembaran-lembaran rupiah memang lebih menarik perhatiannya.
Saya pernah mengajak ibu pindah ke daerah yang lebih dekat dengan pabrik. Tapi ibu menolak mentah-mentah. Entah apa alasannya. Sejak saya mulai bekerja, ibu bersikap lebih baik. Ia tak pernah membentak atau marah-marah seperti dulu. Sesekali, saya menemukan makanan terhidang di atas meja. Saya bersyukur atas semua itu. Hingga suatu hari, ibu menyampaikan niatnya untuk menikah lagi.
"Ibu sudah menemukan lelaki yang tepat." Ibu mengawali maksudnya  lima menit setelah saya tiba di rumah. "Ibu akan menikah. Lelaki itu akan tinggal bersama kita di sini."