Kekuatan lainnya dari cerpen ini adalah penguasaan historis S. Aji yang terlihat dalam narasi panjang sejarah bentang archipelago yang secara runut mengisahkan sebelum kota atau masa lalu, hingga menjadi kota masa kini yang entah milik siapa.
Bentang archipelago telah bersolek menjadi hutan beton komersil. Imbasnya, monumen dua tradisi laut dan bukit (nelayan dan petani) harus tergeser. Pergeseran itu tentu berdampak pada mata pencarian penduduknya, di mana dikisahkan bahwa tokoh utama dan ibu menjajakan pot bunga setelah sang ibu berhenti sebagai buruh angkut di pasar karena secara fisik sudah tidak mampu lagi. Pilihan itu didasarkan keinginan untuk tidak hidup "mengemis".
30 keluarga yang tersisa di bentang archipelago berusaha keras melawan hari dengan pilihan mereka: bertahan. Tetapi ayah tokoh utama malah memilih untuk pergi, meski sang istri berusaha mencegahnya. Tragisnya, kepergian itu adalah kepergian yang akhirnya berujung maut.
Cerpen ini mengingatkan kita, bahwa kepergian tidak selalu merupakan jalan keluar. Terutama bila itu kepergian yang sia-sia. Meski harus berhadap-hadapan dengan zaman, adakalanya pilihan terbaik adalah bertahan.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H