Saat membaca paragraf demi paragraf cerpen ini, pembaca akan menemukan jejalan kebingungan, ketidakyakinan, dan ketidakpahaman sang tokoh utama (aku). Adakalanya "aku" melupakan sesuatu hal, lalu di lain waktu, "aku" frustrasi dan memaki dirinya. Hal-hal inilah yang membuat sisi humor dari cerpen ini semakin mencuat.
Penulis menutup cerpen ini dengan kejutan. Setting cerita yang bermula di Taman Elias, ternyata berakhir di situ pula. Tokoh aku berhasil mengingat larik sajak yang dilupakannya yang tak lain adalah karya Andi Wi (penulis cerpen ini).
Saya merasa harus memasukkan puisi naratif karya Mim Yudiarto ini ke dalam 5 (lima) karya fiksi paling istimewa sepanjang tahun 2017 ini. Alasannya sederhana: puisi yang sarat keresahan ini merupakan cermin laku manusia sehari-harinya. Bahwa siapa saja bisa berbuat baik. Tetapi, sebaik-baiknya berbuat baik, suatu ketika, bisa saja kita sedang atau pernah tersesat.
Aku tersadar tiba-tiba. Guyuran air itu menikam begitu dalam di dada. Tak boleh ada sedikit pun jeda dalam memperhatikan dunia. Setiap detik itu sangat berharga.
Air bisa menyadarkan orang yang sedang terlelap. Lalu bagaimana bila "air" itu akhirnya menikam perasaan kita begitu dalam? Hal itu mungkin terjadi jika kita mencermati apa yang terjadi di sekeliling kita. Lebih peka terhadap masalah-masalah sosial atau kemanusiaan. Karena kita adalah makhluk sosial yang dibutuhkan juga membutuhkan sesama manusia.
Lalu, setelah berbuat baik, apakah kita sudah menjadi pemilik hakiki kehidupan? Tidak semudah itu. Karena mungkin kita akan menemukan persimpangan dan keliru memilih jalan. Tersesat. Untuk itulah Tuhan ada, agar kita dimudahkan untuk menemukan jalan pulang.
Santaplah cerpen ini dan bayangkan anda sedang bersiap untuk menikmati menu makan malam lengkap: appetizer, main course dan ditutup dengan dessert. Penggambaran setting menjadi salah satu kekuatan cerpen ini: "Sebuah bentang archipelago, pesisir, pasir memanjang dengan gelombang yang setia, membawa udara asin pecah di paka-paka ombak. Senja yang selalu merah di garis batas cakrawala. Pada mulanya."