“Selera kopimu boleh juga,” cetusku menguji.
Bibir merah menyala itu tersenyum menggoda. “Aku kedinginan di luar sana. Sudah 3 jam.”
“Harusnya kau masuk ke kafe ini dari tadi. Menunggu seseorang?”
“Mungkin menunggumu,” kedipnya manja.
Sekarang gilirannya mengujiku. Tak apa, hatiku melonjak kegirangan. Isyarat bagus. “Maafkan, aku. Seharusnya dari tadi aku mengajakmu masuk.”
“Tak apa, aku memang menyukai hujan.”
“Karena seseorang?”
“Rupanya kau benar-benar penasaran,” gadis itu merapikan rambut dengan ujung jemari, “kau benar, aku sedang menunggu seseorang.”
“Seorang pemuda?”
“Apa pentingnya?” dia balas bertanya, “orangnya belum muncul.”
Aku tertawa kecil. Benar juga yang dikatakannya. Pramusaji meletakkan pesanan di atas meja. Gadis itu menggenggam cangkir espresso-nya erat-erat. Jemarinya gemetar. Kedinginan. Mata lentiknya terlihat sayu. Aku merasa iba.