“Perlu kupesankan secangkir teh hangat? Itu akan lebih baik untukmu.”
“Tak usah,” gelengnya cepat, “aku takkan lama.”
“Memangnya kau mau pergi ke mana?” tanyaku harap-harap cemas. Sepertinya, dia akan meninggalkanku kembali sendirian.
“Kembali ke bangku itu. Menunggu.”
“Ini hujan deras. Kau bisa menunggu bersamaku di sini,” cegahku.
“Kau tak mengerti. Orang yang kutunggu sungguh istimewa. Payung merah adalah petunjuk baginya.”
Mataku tertuju ke sudut pintu masuk. Payung merah yang dibawa gadis itu terlipat rapi dan mengalirkan tetes-tetes air ke lantai. “Aku sungguh tak mengerti.”
“Kau tak perlu mengerti.” Gadis itu menunduk lalu menghirup espresso-nya dengan nikmat. “Lezat. Terima kasih, tapi aku harus pergi sekarang.” Gadis itu berdiri dan menuju pintu, membuka payung yang terlipat, dan berjalan menembus hujan yang belum juga reda.
Ada sederet kata yang tercekat di tenggorokanku. Kata-kata itu semakin tertahan manakala seorang gadis melangkah riang memasuki kafe ini dan menuju meja tempatku menunggu. Gadis yang kutunggu akhirnya tiba. Dia menghampiriku lalu minta maaf atas keterlambatannya. Tapi pandanganku hanya tertuju pada payung merah di luar sana. Selangkah sebelum gadis itu mencapai bangku itu, suara letusan menggema di udara.
Tubuh gadis berpayung itu tersungkur. Payung merah miliknya melayang rendah di udara, lalu terhempas di genangan air. Aliran merah menggenang, bercampur dengan air hujan. Orang-orang berhamburan panik. Sepasang mataku terpaku pada seseorang. Sosok lelaki yang menyelipkan sesuatu dalam pakaiannya lalu menghilang cepat di antara lorong-lorong kota.
Kau harus tahu, seumur hidupku aku takkan melupakan tatapan itu. Mata sayu yang menatapku lalu terpejam selamanya dalam pelukanku. Orang istimewa yang dinantinya tak lain adalah pembawa kematian.