“Setelah kejadian itu saya memburu mereka. Mereka pantas mendapatkannya!” Sikap lelaki itu berubah. Wajahnya dipenuhi amarah.
Tanpa menunggu lebih lama, secepat mungkin aku bergerak menjauh. Terlambat. Lelaki itu mencengkeram pergelangan tanganku kuat-kuat.
“Enyahlah kau! Kau sudah mati di tanganku!” serunya. Sebelah tangannya yang lain meraih batang leherku dan mencekiknya kuat-kuat.
Aku berusaha melepaskan cekikan lelaki itu, namun sepasang tanganku tak berdaya. Kakiku menendang ke segala arah. Membuat lelaki itu semakin murka. Taring-taring mencuat dari mulutnya. Sepasang matanya memerah. Cengkeraman lelaki itu semakin erat dan membuat napasku tersengal. Ajalku sudah di depan mata.
Kepalaku menengadah. Bunga-bunga mahoni berputar ditiup semilir angin. Airma taku bergulir deras. Hamparan langit mengabur di kejauhan. Ayah menatapku dari langit sambil menangis.
***
Tepian Danau-Mu, 27 September 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H