“Mungkin Bapak perlu menenangkan pikiran,” kataku prihatin.
“Kamu benar. Saya perlu melupakan semua kenangan buruk itu. Ngomong-ngomong, kamu mengingatkanku pada seseorang yang telah tiada. Putriku.”
“Bapak memiliki seorang putri?”
“Dulu. Sebelum ia meninggal terkena sebuah tembakan. Dia masih sangat kecil. Jika masih hidup, kira-kira seusiamu.” Rahang lelaki itu mengeras. Pandangannya dipenuhi kebencian. “Kawanan perampok itu sungguh keji. Putriku tertembak dan tewas seketika di depan mataku sendiri. Istriku kehilangan kewarasannya dan menjadi penghuni rumah sakit jiwa sejak saat itu.” Sepasang mata lelaki itu berkabut ketika mengakhiri kisahnya.
Hatiku sesak mendengar penuturan menyedihkan itu. Sekarang aku mengerti, mengapa sepasang mata lelaki itu selalu murung. Ia pasti sedih karena selalu terkenang putrinya itu. Hati orang tua mana yang takkan sedih bila nyawa putrinya direnggut dengan cara sekejam itu?
“Aduh!” Lelaki itu tiba-tiba menutup sepasang telinganya. Rautnya tersiksa.
“Ada apa?” tanyaku bingung.
“Telingaku…”
Aku kebingungan. Telinga lelaki itu pasti sedang berdengung hebat. Tapi aku tak tahu harus berbuat apa.
Lelaki itu berteriak sambil memegang kedua telinganya. “Pergi kalian! Pergi!” Lelaki itu berbisik padaku, “Mereka mendatangiku. Orang-orang yang kubunuh di masa lalu.”
“Bunuh? Bapak seorang pembunuh?” tanyaku ketakutan.