Aku terdiam. Semasa kecil, bila saya bertanya di mana Ibu berada, Ayah akan membawaku ke sini. Kami berbaring di rerumputan, memandangi hamparan langit yang luas. Ayah mengatakan bahwa Ibu sedang tersenyum dan menatap kami dari langit. Setelah remaja barulah aku mengerti, Ibu pergi meninggalkan kami demi lelaki lain. Bukan berada di langit seperti yang dikatakan Ayah. Sejak itu pula aku membenci Ibu dan langit. Tak pernah terlintas keinginan untuk menemui perempuan itu, terlebih untuk melukis langit.
“Kapan-kapan saya cerita,” elakku halus.
“Baiklah kalau begitu. Boleh saya pergi sekarang? Saya harus pulang ke rumah.”
“Silakan, Pak. Terima kasih atas bantuannya.”
Lelaki itu mengangguk lalu berjalan lurus dan menghilang di kelokan. Aku kembali terbenam dalam lukisanku. Membaurkan warna-warna di atas kanvas hingga semburat jingga mulai turun menyapa.
***
Keesokan harinya, lelaki itu kembali berada di bawah rimbun pohon mahoni. Duduk terpekur seperti kemarin. Pakaiannya terlihat lebih bersih. Sepertinya, ia sudah pulang ke rumah. Kutinggalkan lukisan yang rencananya kuselesaikan hari ini lalu menghampirinya. Aku ingin tahu kabarnya hari ini.
“Sudah lama Bapak di sini?” tanyaku lalu duduk di sampingnya.
“Kamu.” Lelaki itu tersenyum. “Beberapa jam yang lalu. Bagaimana lukisanmu?”
“Hampir selesai. Bagaimana dengan telinga Bapak? Masih berdengung?”
“Sekali. Tadi malam. Tapi… bisikan-bisikan itu semakin kuat,” keluhnya padaku.