Lelaki itu duduk terpekur di pinggir jalan. Bersandar pada sebuah pohon dan beralaskan rerumputan. Sepintas lalu, tubuhnya seakan terselip di antara rimbun pohon mahoni yang berbaris rapi di sepanjang jalan. Aku meliriknya sesekali sambil memancangkan easel dan menaruh kanvas di atasnya. Setelah mengambil kotak berisi palet, kuas, pensil, dan peralatan melukis lainnya dari pick up tua peninggalan Ayah, aku mengenakan topi berpinggiran lebar lalu menebar pandang berkeliling. Mencari-cari pemandangan menarik untuk digoreskan di akhir pekan ini.
Selain hamparan langit, hampir tak ada yang belum kulukiskan di tempat ini. Jalan lurus yang berkelok di kejauhan, deretan pohon mahoni yang mengapitnya, hamparan rerumputan tempatku berdiri, burung-burung yang melintas, semuanya telah kutuangkan di atas kanvas. Pandanganku kembali tertuju pada lelaki itu. Saya ingin melukis sosoknya.
Jemariku bergerak menggoreskan pensil. Mematri lengkung tubuh lelaki itu sedikit tergesa. Sedikit condong ke depan, tubuh itu terkesan ringkih. Kepalanya mengarah lurus ke arah jalan. Kemurungan membayangi wajahnya. Meski tergolong layak, pakaian lelaki itu terlihat lusuh. Sepertinya lama tak tersentuh air. Aku menebak-nebak dalam hati sambil meneruskan sketsa.
Sesuatu yang ganjil menarik perhatianku. Aku berhenti sejenak. Lelaki itu menutup dan membuka sepasang telinganya dengan telapak tangan. Berulang-ulang. Seakan terganggu dengan bunyi sesuatu. Aneh. Suasana di sekeliling kami begitu hening. Pun tak ada siapa-siapa. Itulah salah satu alasan mengapa saya suka menghabiskan akhir pekan di sini untuk melukis di atas kanvas-kanvas kosong peninggalan Ayah yang tersimpan rapi di gudang.
Sedari kanak-kanak, aku sering menemani Ayah melukis. Bepergian bersamanya melukis ke banyak tempat hingga ke negeri-negeri jauh. Beliau dikenang sebagai pelukis besar. Meski terlahir sebagai putri Ayah, aku bukanlah pelukis profesional. Sebagian besar lukisanku cuma menghiasi dinding rumah. Sisanya terbungkus rapi dan kembali tersimpan di dalam gudang. Satu-dua ada yang diminta teman atau tetangga. Cuma-cuma. Tapi ada saja yang mengantarkan makanan atau bingkisan setelahnya. Melukis membuat kenangan tentang Ayah tetap hidup dalam ingatanku. Juga mengusir sepi sejak beliau wafat beberapa tahun silam.
Sketsa lelaki itu belum rampung saat lelaki itu beranjak berdiri. Aku harus mencegahnya. Kutinggalkan peralatan melukisku lalu berjalan ke arahnya. Sebenarnya, aku agak cemas. Jangan-jangan lelaki itu kurang waras lalu menyerangku. Lalu buru-buru kusingkirkan dugaan itu. Tak baik berprasangka yang tidak-tidak. Ketika aku akan tiba selangkah lagi di hadapannya, lelaki itu menoleh.
“Maaf...,” aku menyapanya takut-takut.
“Ada apa?” tanya lelaki itu datar.
Sekarang aku dapat melihat jelas rautnya. Kutaksir sekitar lima puluhan. Helaian perak menghiasi rambutnya. Kerutan menghiasi wajahnya yang tirus. Tatapan pilunya menularkan kesedihan padaku.
“Jika tidak keberatan, Bapak mau duduk sedikit lebih lama? Saya sedang melukis Bapak.”
Lelaki itu mengamatiku sekilas, “Kamu seorang pelukis?”