“Dia lagi, dia lagi! Mengapa kamu tak pindah divisi saja?” serang bibir dipoles lipstik merah muda itu. “Kamu terlalu penurut. Sesekali kamu harus berani!” Perempuan itu meradang dengan kepasrahanku. Kalimat terakhirnya jelas-jelas menunjuk hidungku sebagai seorang pengecut.
Amarahku sedikit bergolak. Tapi aku tak mau merusak momen ini. Aku harus menahan diri. Sebisa mungkin. Sebagai seorang perempuan yang karirnya melesat, mungkin sulit baginya untuk memahamiku. Bertahun-tahun bekerja, masih saja betah berada di kursi yang sama. Nihil promosi tapi masih setia manggut-manggut.
“Sudahlah, nanti kucoba saranmu pindah divisi. Aku janji,” bujukku. Berharap hatinya mencair dan suasana berubah hangat.
Perempuan itu menatapku lama. “Kuharap, janjimu kali ini tak sia-sia seperti sebelumnya,” ucapnya datar.
“Tidak akan. Aku janji,” kataku. Kuraih pundaknya dengan lengan kiri. Rambut terurai itu tergerai di bahuku. “Selamat ulang tahun pernikahan, Sayang,” bisikku. Kami berangkulan mesra. Janji yang bergaung di pikiranku kuhalau agar segera enyah. Setidaknya, untuk sementara.
***
“Pak Andi, saya yakin Anda bisa menyimpan rahasia ini,” suara berat itu menekanku. “Anda tidak akan mengecewakan saya, bukan?” Pertanyaan itu lagi-lagi menggema di telingaku. Membuat dinding-dinding ruangan ini terlihat memuakkan.
Kami berdua sedang menatap monitor di meja si bos besar. Sederet angka-angka tertera di sana. Tentu saja melebihi seharusnya. Batinku mulai gelisah. Tapi biasanya ini takkan berlangsung lama. Selalu kubiarkan si bos besar menjadi pemenangnya dengan satu anggukan dan aku berakhir menjadi pecundang yang tersiksa dalam mimpi buruk berkepanjangan.
Melihat kebisuanku, seringai iblis hadir di wajah lelaki tambun itu. Ia berdehem lalu melibas keraguanku dengan kalimat pamungkas, “Ingat, promosi masih menanti Anda...”
Hentikan sandiwara basimu! Nyaris saja kalimat itu meloncat keluar mulutku. Sudah ratusan kali kudengar janji kosong itu. Janji yang diucapkan hanya agar aku mengikuti keserakahannya. Juga ambisi-ambisinya. Membuatku menjadi manusia dungu yang hanya bisa mengangguk dan berkata ya. Tapi... semua kemarahan itu terkunci di sekat leherku. Berhenti di sana.
“Bagaimana?” Pertanyaan itu kini bernada memaksa. “Pak Andi tetap dapat bagian seperti yang sudah-sudah. Tenang saja.”