Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan Bicara pada Bayang-bayang

13 Agustus 2016   18:35 Diperbarui: 13 Agustus 2016   19:12 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: identityrevolutionproject.wordpress.com

Akhir-akhir ini, bayang-bayang sering datang menjengukku. Kesan pertama kehadirannya sama seperti saat aku mulai menelan bulatan-bulatan kecil dari botol kaca bertahun-tahun yang lalu. Asing. Kami hanya diam berjam-jam lamanya tanpa bicara. Saat aku mencuri-curi pandang, bayang-bayang sedang menatap lurus. Aku berdehem, agar ia menyadari kehadiranku. Ia menoleh padaku. Begitulah awal kami mulai berbincang.

Setelah bercakap-cakap tentang banyak hal, aku merasa nyaman dengan kehadirannya. Bayang-bayang bercerita tentang hutan, laut, badai, dan halilintar. Aku mengisahkan kesukaanku pada cahaya mentari pagi atau tentang seekor lalat yang mati karena tepukanku yang jitu. Bayang-bayang tak pernah mempermasalahkan hal-hal konyol yang kuceritakan. Ia akan mendengarkan celotehku hingga tuntas sambil tersenyum. Sesekali menahan tawa. Aku menduga, sebenarnya ia lebih sering merasa geli.

Malam semakin gerimis. Kenangan itu terus bersembunyi di pelupuk mataku. Aku mengucapkan kalimat itu pada bayang-bayang sembari menyelipkan ibu jari dan telunjuk. Melipat jari tengah, manis, dan kelingking. Memainkan kelimanya bergantian sembari mengepalkan atau mengembangkan telapak tangan. Kupu-kupu, kelinci, anjing dan kura-kura bergerak-gerak pada tembok abu-abu seperti pertunjukan boneka tangan.

“Buanglah kenangan itu ke dasar palung hatimu, agar kau tak bisa menemukannya,” saran bayang-bayang.

“Rasa sakitnya takkan hilang,” bantahku keras, “kau tak memiliki kenangan sehingga kau tak tahu rasanya.”

“Dan aku sungguh membencinya,” gelak bayang-bayang, “aku iri denganmu, kau memiliki masa lalu dan masa depan...”

“Tapi yang kumiliki hanyalah masa kini,” potongku, mengulangi kalimat yang telah ia katakan padaku. Aku perlu mengingatkannya. Ia selalu lupa tentang diriku yang sebenarnya. “Aku rela menghapus masa lalu dan masa depan demi masa kini. Kau tahu betapa memuakkan menelan bulatan-bulatan kecil memuakkan itu?”

“Kau hanya perlu bersabar...”

“Bersabar?” Aku merentangkan tangan lalu berputar-putar. “Lihat sekelilingmu! Tembok abu-abu ini mengurungku lebih dari separuh usiaku. Cuma kau yang menemaniku. Hanya kau.”

“Karena itu, ceritakanlah segalanya agar kau lega.”

“Kau tak jemu?” tanyaku mulai ragu. Mungkin selama ini ia hanya kasihan dan berniat menghibur gadis menyedihkan sepertiku.

“Takkan pernah.”

Aku merasa girang. Ini mulai menyenangkan. Aku mulai berpikir, apa yang akan kuceritakan? Ah, tidak. Kali ini, aku yang akan mendengarkannya.

“Kau saja yang bercerita. Apa saja.” Aku berdiri di depannya, berharap akan mendengar sesuatu yang menarik.

“Baiklah. Aku akan berbicara tentang seseorang. Kau.”

“Aku?” sepasang mataku membelalak, “kau sedang mengusiliku, kan?”

“Kalau ingin tahu, dengarkan saja. Jangan berisik.”

Hatiku berdebar-debar. Rasanya sama seperti saat aku mendapat kejutan segenggam permen aneka rasa. “Cepatlah, ceritakan,” desakku tak sabar.

“Kau gadis menarik. Sepasang matamu itu lentera. Sayang sekali, lentera itu telah lama padam.” Bayang-bayang berhenti sejenak, lalu berbisik penuh tekanan, “Kita akan menyalakan lentera itu jika kau mau.”

Aku tergelak. “Apa yang sedang kau bicarakan?”

“Ini serius. Mari, kita pergi dari sini. Ke dunia luar. Kau berani?”

“Hari ini kau benar-benar aneh,” aku masih tertawa, “ada apa denganmu?”

“Aku ingin membawamu melihat hutan, laut, badai, dan halilintar. Kau bisa menikmati cahaya mentari pagi sepuasnya dan berbaring di rerumputan. Ayolah!”

Tawaku diam. Bayang-bayang sungguh-sungguh dengan ucapannya.

“Jangan ragu. Apalagi yang kau pikirkan?”

“Bagaimana dengan bulatan-bulatan kecil itu?”

“Kau bisa hidup tanpa itu. Ayo, ikutlah denganku.” Bayang-bayang mengulurkan kedua tangannya.

Sesuatu mendorongku untuk percaya. Keraguanku lenyap. Aku menyambut uluran bayang-bayang. Kami mulai memanjati tembok abu-abu. Gerakan lincah bayang-bayang, gemuruh kencang di dadaku, dan kata-katanya membuat pelarian ini terasa semakin mendebarkan. Kami hampir berhasil, jika saja cahaya menyilaukan itu tidak mengepung kami.

“Berhenti Karindra! Kami tak ingin menyakitimu!” Suara langkah berlarian. Mereka merenggut tubuhku dari bayang-bayang.

“Jangan...!!! Jangan pisahkan aku dari bayang-bayang!” pekikku.

“Kau lupa menelannya, Karindra.” Botol kaca. Bulatan-bulatan kecil di telapak tangan. Aku dipaksa menelan beberapa. Memuakkan.

“Aku cuma ingin bersama bayang-bayang,” bisikku letih. Sepasang mataku nanar mencari bayang-bayang yang menghilang di sepanjang tembok abu-abu.

“Jangan bicara pada bayang-bayang, Karindra. Jangan pernah.”

Tubuhku melemah. Perlahan mataku mulai terkatup.

Pergilah, jangan sampai mereka menemukanmu.

***

Bayang-bayang tak pernah lagi datang menjengukku. Janjinya menyalakan lentera di mataku selalu terngiang. Kenangan itu terus bersembunyi di pelupuk mataku. Semakin lama kian menyesakkan. Meluap. Lalu membanjiri pipiku ketika aku memandangi tembok abu-abu pada suatu malam gerimis.

***

Tepian DanauMu, 13 Agustus 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun