Akhir-akhir ini, bayang-bayang sering datang menjengukku. Kesan pertama kehadirannya sama seperti saat aku mulai menelan bulatan-bulatan kecil dari botol kaca bertahun-tahun yang lalu. Asing. Kami hanya diam berjam-jam lamanya tanpa bicara. Saat aku mencuri-curi pandang, bayang-bayang sedang menatap lurus. Aku berdehem, agar ia menyadari kehadiranku. Ia menoleh padaku. Begitulah awal kami mulai berbincang.
Setelah bercakap-cakap tentang banyak hal, aku merasa nyaman dengan kehadirannya. Bayang-bayang bercerita tentang hutan, laut, badai, dan halilintar. Aku mengisahkan kesukaanku pada cahaya mentari pagi atau tentang seekor lalat yang mati karena tepukanku yang jitu. Bayang-bayang tak pernah mempermasalahkan hal-hal konyol yang kuceritakan. Ia akan mendengarkan celotehku hingga tuntas sambil tersenyum. Sesekali menahan tawa. Aku menduga, sebenarnya ia lebih sering merasa geli.
Malam semakin gerimis. Kenangan itu terus bersembunyi di pelupuk mataku. Aku mengucapkan kalimat itu pada bayang-bayang sembari menyelipkan ibu jari dan telunjuk. Melipat jari tengah, manis, dan kelingking. Memainkan kelimanya bergantian sembari mengepalkan atau mengembangkan telapak tangan. Kupu-kupu, kelinci, anjing dan kura-kura bergerak-gerak pada tembok abu-abu seperti pertunjukan boneka tangan.
“Buanglah kenangan itu ke dasar palung hatimu, agar kau tak bisa menemukannya,” saran bayang-bayang.
“Rasa sakitnya takkan hilang,” bantahku keras, “kau tak memiliki kenangan sehingga kau tak tahu rasanya.”
“Dan aku sungguh membencinya,” gelak bayang-bayang, “aku iri denganmu, kau memiliki masa lalu dan masa depan...”
“Tapi yang kumiliki hanyalah masa kini,” potongku, mengulangi kalimat yang telah ia katakan padaku. Aku perlu mengingatkannya. Ia selalu lupa tentang diriku yang sebenarnya. “Aku rela menghapus masa lalu dan masa depan demi masa kini. Kau tahu betapa memuakkan menelan bulatan-bulatan kecil memuakkan itu?”
“Kau hanya perlu bersabar...”
“Bersabar?” Aku merentangkan tangan lalu berputar-putar. “Lihat sekelilingmu! Tembok abu-abu ini mengurungku lebih dari separuh usiaku. Cuma kau yang menemaniku. Hanya kau.”
“Karena itu, ceritakanlah segalanya agar kau lega.”
“Kau tak jemu?” tanyaku mulai ragu. Mungkin selama ini ia hanya kasihan dan berniat menghibur gadis menyedihkan sepertiku.