“Aku ingin membawamu melihat hutan, laut, badai, dan halilintar. Kau bisa menikmati cahaya mentari pagi sepuasnya dan berbaring di rerumputan. Ayolah!”
Tawaku diam. Bayang-bayang sungguh-sungguh dengan ucapannya.
“Jangan ragu. Apalagi yang kau pikirkan?”
“Bagaimana dengan bulatan-bulatan kecil itu?”
“Kau bisa hidup tanpa itu. Ayo, ikutlah denganku.” Bayang-bayang mengulurkan kedua tangannya.
Sesuatu mendorongku untuk percaya. Keraguanku lenyap. Aku menyambut uluran bayang-bayang. Kami mulai memanjati tembok abu-abu. Gerakan lincah bayang-bayang, gemuruh kencang di dadaku, dan kata-katanya membuat pelarian ini terasa semakin mendebarkan. Kami hampir berhasil, jika saja cahaya menyilaukan itu tidak mengepung kami.
“Berhenti Karindra! Kami tak ingin menyakitimu!” Suara langkah berlarian. Mereka merenggut tubuhku dari bayang-bayang.
“Jangan...!!! Jangan pisahkan aku dari bayang-bayang!” pekikku.
“Kau lupa menelannya, Karindra.” Botol kaca. Bulatan-bulatan kecil di telapak tangan. Aku dipaksa menelan beberapa. Memuakkan.
“Aku cuma ingin bersama bayang-bayang,” bisikku letih. Sepasang mataku nanar mencari bayang-bayang yang menghilang di sepanjang tembok abu-abu.
“Jangan bicara pada bayang-bayang, Karindra. Jangan pernah.”